Site icon SumutPos

Djarot-Sihar untuk Sumatera Utara

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
PASLON_Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumut Djarot Saiful Hidayat- Sihar Sitorus.

Oleh : Anwar Saragih

(Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Darma Agung Medan)

 

23 oktober 2008, Harian Amerika Serikat (As) “The New York Times” membuat keputusan besar dengan “endorsing” (dukungan) ke calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Barrack Obama untuk menghadapi kandidat lain yang diusung Partai Republik, John McCain. Pada sebuah editorial, media ini menulis artikel yang berjudul “Barack Obama for President”. Lebih lanjut, endorsing kandidat oleh media pada sebuah kontestasi pemilu adalah bentuk sikap dan memastikan keberpihakan untuk mendukung secara terbuka salah satu calon.

Secara empirik, tradisi endorsing media-media di Amerika sudah dimulai sejak kemenangan Abraham Lincoln menjadi presiden lewat Partai Republik di Pilpres AS tahun 1860. Di belahan dunia lainnya, media Inggris, “The Economist” telah melakukan tradisi endorsing di setiap Pemilu Inggris sejak tahun 1955.  Di Indonesia, sebuah kebaruan dalam sikap media dalam endorsing. Ketika Harian “The Jakarta Post” melakukan endorsing kepada Joko Widodo pada Pilpres 2014. Pada sebuah editorialnya, media ini menulis sikap yang diberi judul “Endorsing Jokowi”, tepat 5 hari sebelum dilaksanakan pemungutan suara. (4/7/2014)

Berbeda dengan Harian The New York Times yang merilis argumen alasan mendukung Obama karena harapan akan perubahan di AS dengan ragam program terkait pemulihan ekonomi, kemanan nasional dan perbaikan kesehatan lewat program “Obamacare” yang dipercaya mampu memulihkan kepercayaan diri dan harga diri bangsa.

Pertimbangan The Jakarta Post  dalam mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla saat itu, justru lebih karena alasan moral untuk memperjuangkan pluralisme, hak asasi, dan reformasi. Juga pertimbangan akan peneguhan supremasi sipil  dan ketakutan kejahatan HAM pada masa lalu akan terulang.

Pada konteks pilkada, fenomena endorsing sebuah media untuk satu pasangan calon tentu menjadi pertimbangan menarik dimasukkan dalam proses demokratisasi di daerah. Alasannya sangat kuat, mengingat beberapa media baik cetak, digital maupun elektronik selama ini hanya secara implisit malu-malu mendukung salah satu pasangan calon dengan hanya memainkan framing tidak berimbang berita negatif atau positif kandidat.

Tidak hanya itu, keterikatan media dan tokoh-tokoh yang terafiliasi partai politik tertentu menyebabkan kapitalisasi di pemberitaan media itu sendiri. Indikatornya bisa dilihat dengan hitungan jumlah pemberitaan maupun frekuensi kampanye media salah satu paslon di sebuah pemilu. Baik pileg, pilpres maupun pilkada.

Persoalan di Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara merupakan satu dari 171 wilayah baik provinsi, kabupaten dan kota yang melaksanakan pilkada serentak pada 27 juni 2018 nanti. Saat ini, jika kita membaca utuh pemberitaan di media terkait Pilgubsu, agenda terkait substansi permasalahan Sumut tidak disajikan secara objektif melalui pemberitaan media.

Padahal kondisi Sumut saat ini sedang babak belur dari berbagai aspek. Baik dari konteks pelayanan birokrasi, kerusakan jalan, ketimpangan pembangunan antara wilayah Pantai Timur dan Pantai Barat Sumut, permasalahan pungli yang semakin merajalela.

Dampaknya indeks kedalaman kemiskinan Masyarakat Sumut semakin hari semakin rendah yang berdampak pada Indeks Kebahagiaan Masyarakat Sumut itu sendiri. Bayangkan saja, Sumut merupakan provinsi kedua paling tidak bahagia setelah provinsi Papua Barat di Indonesia. Artinya, ada mata rantai  persoalan yang panjang yang harus diputus terkait persoalan pemberantasan korupsi, kesenjangan pendapatan dan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Solusi dalam menyelesaikan persoalan ini tentu harus dibaca secara utuh dan  komprehensif terkait arah kebijakan yang sifatnya vertikal yang melibatkan kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan kabupaten/kota di Sumut.

Misalnya; saat ini pemerintah pusat telah membentuk Saber Pungli yang mempunyai tugas melaksanakan pemberantasan pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja, dan sarana prasarana, baik yang berada di kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah.

Tidak hanya itu, untuk menekan kesenjangan pemerintahan pusat telah melaksanakan kebijakan yang sifatnya affirmatif seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Keluarga Harapan (PKH).

Djarot-Sihar Untuk Sumatera Utara

Jika kita membedah semua visi misi pasangan Djarot-Sihar di Pilgubsu, bisa disimpulkan program pasangan ini paling nyata dalam mengentaskan kemiskinan. Selain kampanye Sumut Bersih dan Sumut Hebat yang dikumandangkan pasangan Djarot-Sihar. Program Kartu Sumut Sehat (KSS) dan Kartu Sumut Pintar (KSP) secara langsung sifatnya affirmatif bertujuan mengatasi kesenjangan sosial di Sumut.

Tidak hanya itu, pasangan Djarot-Sihar memiliki program-program unggulan yang akan mereka kerjakan di periode 2018-2023, jika diberi amanat oleh rakyat Sumut. Terutama masalah  penting terkait keadilan dan pemerataan di Sumut antara lain; perbaikan infrastruktur jalan hanya dalam waktu dua tahun, pembangunan sarana dan prasarana olah raga melalui Sumut Sport Center (SSC), revitalisasi pasar-pasar tradisional dan pengembangan sektor pariwisata yang dikhususkan di Kepulauan Nias.

Artinya pada titik ini, media harus melakukan pembedahan dan pemamaparan secara objektif dengan lampiran data yang kuat terhadap visi misi dan program para kandidat yang bertarung di Pilgubsu. Tujuannya bukan untuk pemaksaan media-media tersebut untuk melakukan endorsing ke salah satu kandidat layaknya The New York Times di Pilpres AS atau The Jakarta Post di Pilpres Indonesia.  Bila media-media tersebut masih belum siap dan masih “malu-malu kucing” terkait dukungan ke salah satu paslon yang berkompetisi.

Tapi yang pasti, Sumut saat ini butuh kerja nyata tanpa retorika omong kosong dalam mencapai kesejahteraan masyarakatnya. Komitmen nyata ini pula yang ada pada pasangan Djarot-Sihar dalam mengentaskan ragam persoalan yang membelenggu Sumut setidaknya dalam dua dekade terakhir. Sejak reformasi 1998 digulirkan 20 tahun yang lalu.

Pun saat kewenangan daerah dalam mengurus wilayahnya sendiri di dapatkan dalam bentuk otonomi daerah. Artinya baik media, masyarakat, akademisi, peneliti, LSM dan pemangku kepentingan lain harus melihat persoalan inis ebagai agenda besar yang sama-sama harus dituntaskan. Kesimpulannya pertarungan Djarot-Sihar di Pilgubsu tahun ini, tidak hanya untuk sebuah kompetisi dan distribusi kekuasaan semata. Tapi memastikan, dalam 5 tahun kedepan Sumut sebagai salah satu provinsi terbesar di Indonesia bisa jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. (*)

 

 

 

 

Exit mobile version