Site icon SumutPos

Ramadan Tahun Ini Jatuh di Musim Kemarau

Foto: Huffington Post
Ilustrasi-Ramadan.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Ramadan tahun ini bakal berlangsung di awal musim kemarau. Lebih dari 80 persen provinsi di Indonesia mengalami musim kemarau. Di sejumlah daerah, curah hujan akan sangat minim, masyarakat yang hendak berpuasa di Bulan Ramadan diminta mempersiapkan diri agar tidak tumbang.

Kepala BMKG Andi Eka Sakya menjelaskan, hampir 90 persen wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau saat Ramadan nanti. “Tapi bukan berarti tidak ada hujan sama sekali,” terangnya saat dikonfirmasi, Senin (24/4). Diperkirakan, sesekali tetap akan turun hujan di beberapa wilayah. Hanya saja, intensitasnya tidak deras.

Berdasarkan data BMKG, intensitas hujan paling minim diprakirakan terjadi di wilayah NTB, NTT, sebagian kecil Jawa Tengah, dan sebagian besar Jawa Timur. Keempat kawasan itu diprakirakan mendapat curah hujan di bawah 50 mm selama bulan Juni. Sementara, di wilayah tapal kuda Jatim, Jabar, Banten, dan sebagian besar Jateng diprakirakan mendapat curah hujan antara 50-100 mm.

Selebihnya, curah hujan diprakirakan berada pada level menengah, antara 100-300 mm. Pada bulan tersebut, musim hujan masih akan berlangsung di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan sebagian Papua bagian tengah. Curah hujan diprakirakan berada pada level tinggi, antara 300-500 mm.

Andi menjelaskan, suhu udara selama Ramadan nanti diprediksi tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. ’’Suhu rata-rata berkisar 29 sampai 34 derajat celcius,’’ lanjutnya.

Sementara itu, Kepala Bagian Humas BMKG Harry Tirto menjelaskan, potensi hujan selama Juni mendatang tidak bisa langsung diprediksi dari sekarang. Mengingat, secara umum pada bulan tersebut sudah masuk musim kemarau. ’’Nanti baru bisa terlihat tiga hari atau maksimal seminggu sebelumnya, menggunakan prakiraan cuaca harian,’’ terangnya.

Mengenai peningkatan suhu udara, Harry mengatakan bahwa patokannya adalah suhu tahun sebelumnya tidak bisa langsung disebut peningkatan suhu bila dibandingkan tahun lalu relatif sama. ’’Tapi kalau dari musim hujan ke musim kemarau, memang berbeda suhunya, sehingga terlihat meningkat,’’ lanjutnya.

Ramadan yang jatuh tepat di musim kemarau disebut Ahli Gizi Klinis dr Tirta Prawita Sari berpotensi menimbulkan dehidrasi pada tubuh. Menurutnya, jika tidak sedang musim kemarau pun, tubuh akan berekasi ketika berpuasa. Reaksi yang umumnya terjadi adalah dehidrasi di mana tubuh kekurangan cairan. Dr Wita menjelaskan, idealnya, tubuh memerlukan 2 liter air setiap harinya. Selama puasa, 2 liter air itu bisa dibagi menjadi porsi-porsi kecil.

”Per satu gelas saja. Saat berbuka, setelah salah magrib, setelah sikat gigi, setiap jeda tarawih, dan seterusnya sampai terpenuhi,” tuturnya.

Dia menambahkan, mengonsumsi air dalam jumlah besar yang lazim dilakukan orang saat berbuka puasa atau menjelang imsak adalah hal yang tidak disarankan. Menurutnya, perilaku tersebut akan memaksa ginjal bekerja keras karena harus menyaring banyak cairan dalam satu waktu. ”Tidak baik minum emosional saat haus. Kita kan bukan unta yang akan menyimpan cadangan air. Yang ada malah memberi beban ke ginjal,” terangnya. (byu/idr/and/jpg/adz)

Exit mobile version