Site icon SumutPos

Kerap Sajikan Berita Tak Perhatikan Efek Traumatik

Dalam menyajikan berita, khususnya berita kekerasan pada anak atau kekerasan seksual yang dialami perempuan, harus menjunjung tinggi kode etik agar korban tidak terzolimi dengan berita yang disajikan.

WORKSHOP: Jurnalis perempuan di Medan saat mengikuti warkshop, kemarin.//Puput Julianti /sumut pos

Dari itulah, Dewan Pers mengundang puluhan jurnalis perempuan untuk dibekali paham kode etik tersebut, Kamis (23/5) di Hotel Garuda Medan.

Bicara soal kekerasan terhahap anak dan perempuan, memang cenrung meningkat di Indonesia. Masalah ini menjadi perhatian bagi semua institusi. Bahkan menurut data, tiga dari 100 anak Indonesia mengalami kekerasan. Sebagian besar atau 70,5 persen pelakunya adalah orang di sekitar rumah. Begitulah uraian  Anggota Dewan Pers, Uni Zulfiani Lubis dalam kegiatan Workshop Khusus Jurnalis Perempuan bertema “Peliputan Konflik, Bencana Alam, Anak dan Pedoman Pemberitaan Media Siber.

Menurut Pemimpin Redaksi Editor In Chief PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) ini, belakangan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak memang meningkat. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2012 masalah kekerasan Terhadap anak (KTA) ada sebanyak 3.871 sedangkan untuk kasus kekerasana seksual terhadap anak sepanjang tahun 2012 meningkat 20 persen hingga 30 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. “Jadi, bagaimana cara mereka (media) menyajikan sedemikian sehingga tidak menyebabkan korban dalam kekerasan atau dalam setiap kegiatan jurnalis ini mendapatkan kekerasan yang kedua kali. “Maksudnya, pertama dia (korban) dapatkan dari pelaku dan yang kedua dia dapatkan dari media itu sendiri. Karena media meliput tanpa memperhatikan efek traumatik yang mereka alami, baik dari narasumber perempuan atau anak-anak. Bahkan jurnalis perempuan malah mengacuhkan hal ini,” katanya.

Untuk itu, lanjutnya, penting buat media dan menerapkan dengan melihat kode etik jurnalistik pada saat meliput peristiwa tersebut. Intinya, jangan sampai menempatkan mereka menjadi korban yg kedua kali. “Kita tahu bahwa karena kultur yang ada di masyarakat Indonesia maka kesadaran  akan kesetaraan gender dan kehormatan terhadap seks  anak itu masih cukup rendah. Bukan hanya di kalangan masyarakat bahkan di kalangan pengelola negara (pemerintahan),” ujarnya.

Ternyata, lanjutnya, jurnalis perempuan justru tidak bisa berkontribusi untuk pengembangan kesadaran itu dan menabrak kode etik dengan memuat foto korban bahkan nama asli korbannya. “Kita tidak bisa mengharapkan orang-orang untuk bisa bangkit dan menjunjung kode etik ini. Saya berharap jurnalis perempuan mulai menjadi  influenser atau orang yang bisa mempengaruhi lingkungan sekitarnya maupun kantor dan di kegiatan kemasyarakatan. Itulah perlunya proteksi bagi hak anak dan perempuan,” pungkasnya.

Kata dia, banyak kasus-kasus yang menunjukkan bahwa ternyata pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah orang-orang terdekat atau keluarga. Nah, antisipasi terhadap keluarga bisa melalui tulisan-tulisannya wartawan.

“Kesadaran itu bisa dibangun dari keluarga dan medianya baik media cetak dan elektronik. Perlu diingat, melaporkan itu tidak hanya sekadar melaporkan, tapi juga bisa memberikan tips-tips menghindari kejahatan. Dalam kasus kekerasan pada anak, misalnya, media bisa berkontribusi untuk ikut mengingatkan kepada masyarakat bahwa pada dasarnya anak-anak dilindungi dengan melihat pasal UU No 23 tahun 2002,” terangnya.

Sebelumnya, pembicara awal yang tampil adalah Ninok Leksono yang mewakili Ketua Dewan Pers Bigadir Manan. Anggota Dewan Pers ini lebih menekankan soal profesionalisme wartawan.  Kata dia, workshop yang digelar Dewan Pers ini memang sangat tepat untuk eranya wartawan berkompeten, dan merupakan bagian dari literasi media. Tujuannya untuk meningkatkan profesionalisme kooperalitas wartawan. “Workshop ini menjadi bagian upaya meningkatkan  kompetensi wartawan. Kalau wartawannya sudah kompeten jadi masyarakat diuntungkan,” pungkasnya. (mag-12/mag-13/ila)

Exit mobile version