Site icon SumutPos

Ada Penawaran Tanah Seluas 230 Hektare

Foto: Pardi/PM Warga Budaya Lingga membentang spanduk dan memasang pagar betis, sebagai bentuk penolakan di atas lahan daerah itu untuk tempat relokasi pengungsi Gunung Sinabung.
Foto: Pardi/PM
Warga Budaya Lingga membentang spanduk dan memasang pagar betis, sebagai bentuk penolakan di atas lahan daerah itu untuk tempat relokasi pengungsi Gunung Sinabung.

Permasalahan lahan untuk relokasi pengungsi Sinabung di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, semakin pelik. Namun, di balik itu mengundang empati dari warga Desa Manuk Mulia, Kecamatan Tigapanah, menawarkan tanah seluas 230 hektar (Ha) untuk pengganti lahan relokasi mandiri tahap kedua.

Pardi, Karo
Hal ini dinilai sangat logis. Dimana, rencana relokasi mandiri tahap kedua di Desa Budaya Lingga, kian menuai masalah demi masalah. Penolakan yang dilakukan warga desa setempat atas rencana pembangunan hunian tetap (huntap) bagi warga pengungsi erupsi Gunung Sinabung asal empat desa di lokasi tersebut, hingga kini masih menuai pro dan kontra, bahkan mendengung aroma perang,
Disamping itu, keterbatasan lahan serta pertumbuhan penduduk yang kian meningkat, menjadi kendala untuk mencari pengganti lahan relokasi tersebut. Sementara, tanah-tanah yang ada telah beralih fungsi menjadi bangunan pada umumnya, termasuk harga yang selangit menjadi faktor utama kendala relokasi.

“Ini yang melatar belakangi rasa empati muncul. Sebagai warga Karo, sudah sewajarnya kita saling peduli apalagi disaat sekarang daerah kita masih didera bencana erupsi Sinabung,” ujar Eddy Barus (40) warga Desa Manuk Mulia, selaku pemegang kuasa tanah seluas 230 Ha tersebut, di Kabanjahe, Minggu (24/7).

Menyinggung soal kecocokan lahan tersebut dijadikan sebagai lahan relokasi mandiri yang rencananya ditempati sebanyak 1.903 KK dari empat desa yakni Guru Kinayan, Berastepu, Kuta Tonggal dan Gamber. Eddy Barus menyerahkan hal itu kepada pengungsi dan pemerintah.

“Yang penting saya menawarkan lahan seluas 230 Ha,” kata Eddy.

Dari luas keseluruhan 230 Ha, seluas 10 Ha sudah siap dibangun pemukiman bagi pengungsi. Dari Kota Kabanjahe ke lokasi tersebut, kata dia, hanya memakan waktu 30 menit.

“Sebenarnya sudah ada pihak investor dari Medan yang menawar tanah saya. Tapi karena saya mendengar “ribut-ribut” soal lahan relokasi mandiri untuk pengungsi di Desa Lingga, akhirnya saya berempati dan menawarkan lahan seluas 230 hektar itu untuk relokasi mandiri. Keputusan itu saya berikan setelah berembuk dengan keluarga,” ungkapnya.

Menurutnya, setelah mengikuti semua pemberitaan di media massa, dirinya telah mengetahui tentang sedikit banyaknya informasi seputar rencana relokasi mandiri tersebut. Dikatakan, terkait warning dari Presiden RI Joko Widodo yang sudah memerintahkan agar permasalahan pengungsi Sinabung segera diselesaikan hingga akhir tahun 2016, maka ia menawarkan lahan tersebut.

“Sebab Presiden Jokowi tidak ingin lagi melihat ada pengungsi Sinabung yang masih berada di posko-posko pengungsian. Nah, ini kan menyangkut nama baik daerah kita juga. Jadi kita semua harus berperan,” tuturnya.
Di samping itu, Eddy Barus juga memberikan masukan terkait dengan pertambahan penduduk kota yang begitu pesat, sudah sulit diikuti dengan kemampuan daya dukung Kota Kabanjahe. Ruang untuk tempat tinggal dan kelancaran lalu lintas sudah sangat berkurang.

Menurutnya, pertambahan kendaraan baik roda dua maupun roda empat dapat menimbulkan multi efek. “Nah, untuk mengatasi dan mengelola berbagai masalah yang ditimbulkan, baik untuk sekarang maupun akan datang, apakah Pemkab Karo sudah memikirkannya dari sekarang?” cetusnya.

Potret ini, kata dia, umumnya terekam melalui wajah Kota Kabanjahe, dengan sudut-sudut pemukiman kumuh di sejumlah kelurahan dan desa yang tidak nampak kemajuan signifikan dari tahun ke tahun.

Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan dengan sebuah kebijakan yang berani dan tegas melakukan pengembangan wilayah Kabanjahe.

“Pengembangan wilayah Kota Kabanjahe dan pembangunan desa, dapat berkembang secara berimbang dan serasi. Apalagi saya mendengar pembangunan gedung olahraga (GOR), terminal terpadu pengganti terminal sekarang yang sudah tidak layak lagi. Pusat pasar, rumah potong hewan terpadu, sudah sangat mendesak namun terganjal masalah tanah. Untuk itu, pengembangan wilayah Kota Kabanjahe sudah saatnya dipikirkan Pemkab dan DPRD Karo,” tutupnya. (yaa-bersambung)

Exit mobile version