Site icon SumutPos

Ditantang Adu Bukti, Formas Pegang Putusan MA Tahun 1995

Foto: Tim Sumut Pos Warga Sari Rejo Medan bentrok dengan aparat TNI AU, dalam aksi demo di jalan SMA 2 Medan, Senin (15/8/2016). Dalam insiden ini, 8 warga ditembak, dua wartawan mengalami cedera.
Foto: Tim Sumut Pos
Warga Sari Rejo Medan bentrok dengan aparat TNI AU, dalam aksi demo di jalan SMA 2 Medan, Senin (15/8/2016). Dalam insiden ini, 8 warga ditembak, dua wartawan mengalami cedera.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Menyikapi tantangan Mabes TNI agar warga Sarirejo menempuh jalur hukum dan beradu bukti atas kepemilikan lahan seluas 260 hektar di meja hijau, Forum Masyarakat Sarirejo (Formas) ogah melayaninya. Pasalnya, Formas tetap berpegang teguh pada Keputusan Mahkamah Agung RI dengan Register No : 229 K/Pdt/1991 tertanggal 18 Mei 1995.

Dalam amar putusan itu, tanah-tanah sengketa adalah tanah garapan penggugat. Selain itu, perbuatan tergugat yang melarang penggugat membangun rumah atau mengharuskan penggugat agar terlebih dulu memperoleh izin dari tergugat untuk membangun rumah di atas tanah-tanah sengeketa adalah perbuatan melanggar hukum.

Ketua Formas, Riwayat Pakpahan mengatakan, di atas tanah yang dikuasai masyarakat di Kelurahan Sarirejo ini, tak pernah diterbitkan hak pakai atas nama Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) RI. Pasalnya, SK Mendagri No 01/HPL/DA/70 tanggal 3 Februari 1970 tentang pemberian hak pengelolaan (HPL) kepada Komando Wilayah Udara I Pangkalan Udara Medan, telah dicabut Mendagri Cq Dirjen Agrarian melalui SK No 150/DJA/1982 tanggal 8 September 1982.

“Putusan MA keluar tahun 1995 namun sertifikat investaris negara itu tahun 1997. Lalu bagaimana bisa itu dinyatakan aset. Selain itu, dari segi penguasaan tanah, tidak pernah kami dapat ganti rugi. Yang dinyatakan aset itu, kalau sudah diganti rugi. Ngapain lagi kami menggugat. Sudah jelas kami menguasai tanah secara fisik,” kata Pakpahan, Rabu (24/8).

Mengacu kepada Peraturan Pemerintah RI No 24/1997 dalam Pasal 24 ayat (2) yang menyebutkan, penguasaan secara fisik atas bidang tanah selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh warga masyarakat, dapat didaftarkan hak atas tanahnya. Sehingga, masyarakat Sarirejo sejatinya sudah berhak atas tanah itu. Soalnya, sudah menjadi lahan pemukiman penduduk sejak tahun 1948.

Dia sedikit bercerita soal tanah di Kelurahan Sarirejo yang diklaim oleh TNI AU Lanud Soewondo. Menurut dia, TNI AU mengklaim tanah seluas 591,30 hektar sebagai aset berdasarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah No 630.2.25.28/BKM/1993 yang diterbitkan oleh Badan Pertahanan Kota Medan.

Tapi, menurutnya, itu klaim yang tidak berdasar. Soalnya, dalam SPKT itu jelas tertulis bahwa SPKT bukan merupakan bukti pemilikan atas tanah dan tidak mempunyai dasar hukum. Namun, lanjut dia, tanah yang diklaim TNI AU dan telah bersertifikat seluas 302,78 hektar. Sisanya seluas 260 hektar dan itu sudah dikuasai masyarakat sejak tahun 1948.

Menurut dia, tanah seluas 302,78 hektar itu diduga telah dijual kepada pengembang. Dia mencontohkan, berdirinya Komplek Pusat Bisnis Central Bisnis Distrik (CBD). Tak hanya itu, berdirinya perumahan mewah Malibu pun disinyalir juga telah dijual kepada pengembang.

Selain itu, adanya Cityview dan Residen Place juga disinyalir tanah yang dijual kepada pengembang. Bahkan, kata Pakpahan, bangunan mewah yang tak mampu dibeli oleh rakyat kecil itu telah bersertifikat.

“Permasalahan ini tidak perlu dimasalahkan sebenarnya. Formas tak cari pembenaran tapi mencari mana yang benar,” kata dia.

Lebih lanjut, dia bilang, kalau pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang selama ini terhadap tanah dikuasai masyarakat, telah membuktikan adanya hubungan hukum langsung antara masyarakat dengan tanah. Selain itu, sejumlah masyarakat juga selama ini telah melakukan transaksi jual-beli tanah atau pemindahan hak kepemilikan di Kelurahan Sarirejo.

Kata dia, itu juga diketahui oleh Camat, Lurah selaku instansi pemerintah di wilayah kekuasaannya. Bahkan, transaksi jual beli itu juga dilakukan oleh pejabat akte notaris.

Atas hal itu, Pakpahan meminta kepada Presiden Joko Widodo menyelesaikan persoalan ini. “Karena Presiden sebagai panglima tertinggi. Jangan berlarut-larut penyelesaiannya. TNI AU seperti tidak memahami persoalan. Mabes TNI harus turun ke kapangan. Dan tim yang betul independen harus melihat lokasi sebenarnya. SKPT itu bukan bukti hukum,” tandasnya.

Pengamat Hukum Agraria, Edy Ikhsan menilai, masyarakat Sarirejo tak mungkin melakukan gugatan kembali. Pasalnya, Putusan MA RI itu sudah inkrah. Kepada TNI AU, dia menyarankan, untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK). Begitupun, jika TNI AU mau menggugat rakyat, sejatinya itu bersifat emosial.

“Putusan MA itu sudah belasan tahun dan itu inkrah. Tapi masyarakat dimenangkan sebagai penggarap. Beda penggarap dengan pemilik. Jadi artinya, itu ada pemilik resmi,” kata Ikhsan.

Pengamat Hukum Tanah yang melakukan penelitian terhadap tanah Sarirejo ini bercerita, tanah di Kelurahan Sari rejo itu milik Kesultanan Deli yang kemudian diturunkan kepada Kedatukan Sukapiring. “Ada 4 kedatukan sebelum Kedatukan Sukapiring. Yang terakhir Kedatukan Sukapiring,” kata dia.

Dia membeberkan, tanah di Kelurahan Sarirejo itu dahulunya dikonsesikan kepada pengusaha asing bernama Michel. Asalnya dari Polandia. Di situ, Michel mendirikan sebuah perusahaan. Menurut dia, nama Bandara Polonia itu diberikan oleh Michel. Alasannya, Michel rindu terhadap kampung halamannya. Namun belakangan, kondisi keuangan menyusut alias bangkrut.

Alhasil, tanah itu dijual kepada Langkat Associatie. Namun, kondisi perusahaan Langkat Associatie yang juga goyang, akhirnya jatuh kepada perusahaan Deli Maskapai.

“Namun akhirnya, situasi politik berubah tahun 1950. Sehingga tanah itu diambil TNI AU,” jelas Ikhsan.

Namun, lanjut Ikhsan, pada prakteknya TNI AU melakukan manipulasi. Salah satunya menjual kepada pengembangan. Dia mencontohkan, tanah yang kini berdiri perumahan mewah Malibu, sebenarnya itu diperuntukkan untuk pemukiman atau kepentingan TNI AU. Tapi, kini berdiri perumahan mewah tersebut.

“Sebenarnya tanah itu tidak ada diberikan selamanya. Statusnya itu tanah garapan. Dalam hal ini, pihak Kedatukan Sukapiring lah yang paling kuat memiliki tanah itu,” beber Ikhsan.

Menurut dia, sebenarnya tanah itu kira-kira seluas 770 hektar. Namun belakangan, Kesultanan Deli memberikan hibah kepada Kota Medan untuk kebutuhan pengembangan kota.

“Ada dua kali hibah itu diberikan kepada Pemko Medan,” tambah dia.

Dia juga mengherankan, BPN seolah memperlama menyerahkan sertifikat lahan itu. Kalau memang benar, Mabes TNI mengajak adu kekuatan dengan membeberkan bukti-bukti soal tanah itu, menurut Ikhsan, pernyataan tersebut bersifat emosional dan tidak memahami secara jelas persoalannya.

“Kalau tanah garapan, siapa pemiliknya, negara atau kesultanan? Ya kesultanan. BPN mau keluarkan sertifikat untuk masyarakat, harus hapus dulu di Kementerian Keuangan,” ujarnya.

Jika memang sudah terhapus daftarnya di Kemenkeu, tentunya itu kembali kepada Kedatukan Sukapiring. Apakah menghibahkan kepada masyarakat atau tidak. Menurut dia, Kedatukan Sukapiring dapat menghibahkan tanah itu kepada masyarakat.

“TNI AU tidak tunduk hukum. Enggak bisa hanya 87 penggugat itu saja, mereka kan homogen,” tandasnya. (prn/ted/adz)

Exit mobile version