Site icon SumutPos

Marandus: Kelola Hutan Tidak Mudah, Ada Harga yang Harus Dibayar

Pengelola Taman Eden-100 (TE-100), Marandus Sirait, di tengah hutan masyarakat milik keluarganya.
Pengelola Taman Eden-100 (TE-100), Marandus Sirait, di tengah hutan masyarakat milik keluarganya.

TOBASA, SUMUTPOS.CO – Untuk bisa berhasil, pengelolaan hutan kemasyarakatan memerlukan kerjasama dengan barbagai pihak sehingga tujuan akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bisa dicapai.

Pendapat itu dikemukakan pengelola Taman Eden-100 (TE-100) Marandus Sirait (49) hari ini, berkaitan dengan adanya keinginan pemerintah mewujudkan hutan kemasyarakatan untuk dikelola oleh masyarakat hukum adat (MHA). TE-100 merupakan lahan keluarga almarhum Leas Sirait seluas 45 hektar, berbatasan dengan hutan Negara di dusun Lumbanrang, desa Sionggang Utara, kecamatan Lumbanjulu, kabupaten Tobasamosir. Lahan ini dikelola menjadi obyek wisata alam oleh keluarga Marandus sejak 1999 hingga berkembang menjadi obyek wisata hutan. Sebagian lokasi memanfaatkan hutan Negara sebagai jasa lingkungan.

Lokasi itu berupa hamparan berbukit pada ketinggian 1.150 meter dpl (diatas permukaan laut). Letaknya di kaki pegunungan Bukit Barisan dan setempat dikenal sebagai gunung Pangulu-Bao (2.150 meter dpl). Jaraknya dari kota turis Parapat sekitar 17 km, dari Balige 40 km, dan dari bibir Danau Toba terdekat di desa Pangaloan-Ail sekitar 8 km.

Semula, terdapat puluhan jenis vegetasi alam, sebagian sudah langka namun bernilai ekonomis tinggi, yang dilestarikan dan dalam bahasa setempat antara lain dikenal sebagai sampinur bunga, sampinur tali, hoting, sialagundi, simartolu, api-api, ingul, halembang, attarasa dan andalehat. Andalehat, jenis kayu keras dan sudah hampir punah, bisa tumbuh besar (garis tengah sampai 150 cm) dan karena itu lazim dijadikan bahan pembuatan solu (perahu). Selain itu ada piu-piu tanggule, buahnya manis, memiliki nilai budaya tinggi karena dijadikan bahan pembuatan tongkat tunggal panaluan (tongkat raja dalam upacara adat Batak). Awal Agustus lalu dalam suatu acara penghijauan di Hutaginjang, Marandus menyerahkan bibitnya kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, yang kemudian meminta pihak Kehutanan membantu pembudidayaannya di kawasan Danau Toba.

Keluarga Marandus memperkaya vegetasi lokal itu dengan ratusan jenis pohon berbuah (sebagai dasar penamaan TE-100) termasuk andaliman. Andaliman adalah sejenis rempah hutan yang sejauh ini diketahui hanya tumbuh di kawasan Toba, terkenal –bersama kincung– sebagai penyedap kuliner arsik, ikan mas yang dimasak bersama berbagai jenis sayur (terong, kacang panjang). Para perantau asal Toba mengeringkan dan menggiling buah andaliman yang mirip buah merica menjadi tepung sebagai oleh-oleh yang khas. Selain ada pohon-pohonan, juga ada sampuran (air terjun alam pegunungan). Dan berkat kerja keras dan ketekunan, maka TE-100 berkembang menjadi salah satu obyek wisata alam bagi para pelancong Danau Toba.

DUA SYARAT
Mengelola hutan, menurut penerima penghargaan Kalpataru itu, sangat tidak mudah. Diperlukan setidaknya dua syarat untuk bisa berhasil, yakni komitmen tinggi dan juga kerjasama. Komitmen meliputi tekad bulat melestarikan hutan yang masih ada, apa pun “harga” yang harus dibayar. Sering, idealisme untuk bersahabat dengan dan melestarikan hutan, pada suatu titik melemah bersamaan dengan kelelahan atau perbenturan dengan kepentingan lain seperti ekonomi.

“Kadang kita bisa juga kehabisan napas, tetapi tetap menolak uluran tangan teman karena tidak sejalan dengan tujuan pelestarian. Lalu kita disebut ‘gila’ dan hal semacam itu sudah biasa terjadi,” kata Marandus.

Pengelolaan hutan oleh MHA dan terlebih-lebih oleh perseorangan pasti membutuhkan kerjasama dengan pihak lain –pemerintah, swasta– sepanjang tidak mencederai idealisme dan tujuan pelestarian hutan. TE-100 sendiri pernah menjalin kerjasama dengan Dinas Pariwisata Sumatera Utara dan Dinas Pariwisata Tobasamosir. Kemudian dengan Otorita Asahan, industri peleburan aluminium Inalum dan industri pulp TPL (PT Toba Pulp Lestari) untuk membantu sarana dan prasarana pengadaan bibit pohon khas Toba. TPL secara khusus membangunkan pembibitan yang standar dan juga sopo (bangunan aula) tempat bertemu para pengunjung dan pecinta alam. Dengan demikian kerjasama berfungsi untuk meningkatkan kapasitas (capacity building) dan pendampingan. Berkat kerjasama itu pula maka TE-100 mampu membagi-bagikan secara cuma-cuma sekitar 20 jenis bibit pohon –termasuk pohon langka– kepada ribuan penerima.

Pengelola Taman Eden-100 (TE-100), Marandus Sirait, mengenakan pakaian adat.

DIAKUI SEPANJANG….

Dalam kaitan hutan kemasyarakatan atau hutan adat, keberadaan MHA diakui sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Keberadaan MHA diakui jika memenuhi sejumlah unsur, antara lain: masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap), ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya, ada wilayah hukum adat yang jelas, ada pranata dan perangkat hukum khususnya peradilan adat yang masih ditaati, serta masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Satu syarat lainnya, dikukuhkan berdasarkan Peraturan Daerah.

MHA yang diakui berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, serta melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang. MHA juga berhak mendapatkan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pengelolaan hutan adat oleh MHA tidak mengubah fungsi hutan itu sendiri. Jika hutan adat berada di kawasan hutan produksi (HP) maka fungsinya tetap sebagai hutan produksi. Demikian juga halnya bila berada di kawasan hutan lindung (HL) dan konservasi maka tidak berubah, tetap berfungsi lindung dan konservasi.

Pelibatan masyarakat menjadi mitra-usaha di bidang pengelolaan hutan pada era kabinet kerja Presiden Joko Widodo 2015 – 1019, dirumuskan dalam lima bentuk: HTR (hutan tanaman rakyat), HKm (hutan kemasyarakatan), HD (hutan desa), HA (hutan adat) dan HR (hutan rakyat) dan perwujudannya sedang berproses. Target pencapaiannya 12,7 juta hektar melalui pemberdayaan 2.500 komunitas atau 22 ribu orang.

Bila saat pengelolaan hutan oleh masyarakat itu sudah tiba, Marandus berharap para pemangku kepentingan terutama pemerintah lokal dan korporasi bersedia membantu pemberdayaan MHA –yang umumnya tidak punya cukup modal– melalui berbagai konsep kerjasama. Ini penting agar tujuan mulia pemberian peran kepada masyarakat untuk ikut mengelola hutan secara lestari sekaligus meningkatkan kesejahterannya, lebih mudah tercapai. Ia mengingatkan, tujuan pengelolaan sumber daya alam (SDA) hutan oleh pihak mana pun sebenarnya sama, yakni untuk menghasilkan sebesar-besar manfaat bagi masyarakat. Pengelolaan hutan melalui korporasi juga tidak terlepas dari tujuan tersebut melalui penyediaan lapangan kerja, lapangan usaha (kemitraan bisnis), penyisihan dana CSR, serta pelunasan kewajiban terhadap negara. “Kini saatnya semua elemen bangsa bersinergi, bukan sebaliknya,” kata pemusik yang pernah lama berkiprah di gereja ini. (rel/mea)

Exit mobile version