Site icon SumutPos

Pertanian Kita Masih Sulit Bersaing dengan Negara Lain

Diskusi Cornel Simbolon dengan Kelompok Tani Langkat

Balon Gubsu Letjen TNI (Purn) Cornel Simbolon menyatakan sektor pertanian di tanah air sulit bersaing dari negara lain. Pasalnya, pertanian di Indonesia minim dengan sentuhan teknologi, misalnya lewat rekayasa genetika.

Cornel mencontohkan tanaman mangga di Thailand bisa berproduksi sepanjang tahun. Rasanya juga manis. Hal itu dikarenakan adanya sentuhan teknologi melalui rekayasa genetika. ”Tak heran jika petani di negeri gajah putih itu maju. Produksi mangganya bisa memenuhi kebutuhan masyarakat di dunia,” katanya.

Begitu juga dengan durian montong, bisa merajai pasar dunia. Rasanya enak, tampilan fisiknya bagus. “Coba durian kita, jika sudah dibuka, beberapa jam kemudian basi. Tapi durian montong, berhari-hari terbuka rasanya tetap segar. Itulah kehebatan teknologi yang dikembangkan dengan serius oleh pemerintahnya,” kata Cornel Simbolon, saat bertemu dengan para pengurus kelompok tani di Balai Penyuluh Pertanian, Desa Pasar Pinter, Kecamatan Sei Bingei, Kabupaten Langkat,  Sabtu (22/9). Hadir juga mantan Sekjen Gerakan Rakyat Sumatera Utara (Agresu) Parlin Manihuruk.

Begitu juga dengan produksi padi, lanjut Cornel, jika di Thailand dan Vietnam bisa dihasilkan 12 ton per ha, di Sumut, misalnya, hanya 7 ton. Akibatnya, Indonesia jadi pasar empuk bagi dua negara tersebut. Padahal, Indonesia pernah terkenal sebagai negeri swasembada pangan dan menjadi negara pengekspor beras, sekarang justru jadi importir.

Vietnam, misalnya, saat Indonesia merdeka pada 1945, negara tersebut masih terlibat perang dengan Amerika Serikat dan baru berakhir pada 1976. Namun, negara tersebut kini justru lebih maju dari Indonesia.

“Hal inilah yang menjadi kegelisahan saya. Negeri yang tanahnya subur justru jadi importir. Jeruk juga kita impor, padahal Kabanjahe terkenal dengan lumbung jeruk. Tapi kenapa produksinya kalah bersaing dari negeri China? Padahal rasa jeruk Kabanjahe manis dan bentuk fisiknya juga segar,” imbuh Cornel.

Karena itu, Cornel menyebutkan harus ada perhatian yang serius terhadap persoalan ini. Penelitian pertanian harus diperbanyak. Petugas penyuluh pertanian juga harus diperbanyak.

“Petugas penyuluh pertanian harus diperbanyak, karena merekalah yang paham bagaimana bertani yang benar untuk menghasilkan produksi yang banyak. Sedangkan para petani kita itu pada umumnya bercocok tanam secara tradisional. Petani harus diajarkan dan diperkenalkan dengan teknologi,” paparnya.
Cornel mencontohkan soal betapa pentingnya petugas penyuluh pertanian itu. Misalnya tanaman kopi ateng yang kini sedang digandrungi masyarakat, seperti di Dairi dan Samosir. Umur tanaman kopi ateng di dua kabupaten itu tidak panjang. Setelah ada tim penyuluh dari Uni Eropa, barulah usia tanaman menjadi lebih panjang, hasilnya lebih banyak dengan menanami pohon pelindung. Tujuan pohon pelindung itu untuk menyuburkan tanah lewat daun-daunan yang jatuh ke tanah, membusuk dan menjadi pupuk organik.

“Bagaimana produksi padi melimpah jika saluran irigasinya juga hancur, air tak mengalir? Bagaimana hasilnya bagus jika pola tanamnya tidak baik? Alokasikan anggaran yang besar untuk membangun irigasi. Lakukan penelitian-penelitian dan rekrut petugas penyuluh,” tandasnya.

Dalam kesempatan itu, Cornel juga mendengar keluhan sejumlah petani soal infrastruktur jalan di desa mereka. Begitu pula kesulitan mendapat pupuk bersubsidi. Cornel mengaku sudah keliling hampir di 33 kabupaten/kota dan keluhannya seragam, yaitu  pupuk langka, sarana irigasi, dan infrastruktur jalan yang kurang memadai. (rel/mea)

Exit mobile version