Site icon SumutPos

Gubsu akan Buat Pergub

 

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) mengembalikan mekanisme pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Perubahan APBD 2018 kepada DPRD Sumut. Namun, jika lembaga legislatif tersebut tetap menolak menandatangani nota kesepakatan KUA-PPAS, maka Gubernur Sumut Edy Rahmayadi berencana menerbitkan peraturan gubernur (Pergub).

“Kalau itu (penolakan nota kesepakatan, Red) memang dianggap tepat oleh DPRD Sumut, pasti larinya sesuai prosedur itu bisa kita buat Pergub. Jadi mau tidak mau-mau nanti dibuatkan Pergub,” ujar Edy usai bersilaturahmi dengan insan pers, di Aula Bina Graha Kantor Bappeda Sumut, Jalan Pangeran Diponegoro Medan, Selasa (25/9).

Menurut Edy, waktu pembahasan PAPBD Sumut 2018 sejak dirinya menjabat sebagai gubernur memang sangat pendek. Karenanya, dia bersama wakilnya, Musa Rajekshah atau Ijeck, belum sempat melakukan pembahasan mendalam atas KUA-PPAS P-APBD 2018 baik bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah maupun Badan Anggaran DPRD Sumut. “Waktunya sangat pendek di saat saya sudah menjabat. Kalau memang nanti tidak disahkan oleh DPRD, mau nggak mau ya melalui Pergub,” pungkasnya.

Di tempat yang sama, Wagubsu Ijeck lebih menyarankan wartawan agar menanyakan hal tersebut kepada pihak legislatif, karena pada prinsipnya Pemprovsu tidak mau bersebrangan dengan DPRD dalam konteks penandatanganan nota kesepakatan KUA-PPAS itu. “Saya lebih memilih no comment, dan wartawan tolong tanyakan kembali ke dewan apa masalahnya, sehingga dewan tak mau menandatangani itu,” katanya singkat.

Menyikapi belum ditandatanganinya nota kesepakatan KUA-PPAS Perubahan APBD 2018, DPRD Sumut menunggu komitmen Pemprovsu. Angota Banggar DPRD Sumut Zeira Salim Ritonga menyampaikan, pihaknya bersama Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemprov Sumut sebelumnya sudah pernah membahas beberapa poin yang akan dimasukkan dalam draft KUA-PPAS Perubahan APBD 2018 sebelum diambil keputusan di paripurna. Bahkan dalam pembahasan yang berlangsung beberapa waktu lalu di Jakarta, juga diminta paraf atas beberapa poin dimaksud.

“Sudah dibahas di Jakarta, didapati anggaran dan diminta agar TAPD memparaf beberapa poin supaya nanti di paripurna tidak berubah,” ujarnya, Selasa (25/9).

Bahkan pihaknya bertanya kepada Pemprov Sumut khususnya Gubernur, terkait komitmen bersama untuk menyepakati draft KUA-PPAS P-APBD Sumut 2018. Sebab dalam pertemuan sebelum paripurna di Jakarta lalu, dirinya menilai bahwa Ketua TAPD yang notabene adalah Sekretaris Daerah Provinsi  (Sekdaprov) Sumut Dr Hj Sabrina, diutus dan dipercaya untuk kesepakatan dimaksud. “Justru kita bertanya ke gubernur, mau bagaimana? Agar dengan komitmen itu kita buat kesepakatan. Jadi masih sempat itu diajukan, tetapi tergantung gubernur. Karena itu menyangkut hajat hidup orang banyak, ada TPP untuk guru di situ, ada SiLPA dan lain-lain,” sebutnya lagi.

Karena itu pula dirinya berharap komitmen gubernur untuk segera menentukan, apakah kesepakatan dimaksud bisa dijalankan. Namun Zeira mengingatkan agar prosesnya jangan terlalu lama. Sebab bukan tidak mungkin Sumut tanpa P-APBD 2018. Karena itu diharapkannya, visi misi Sumut Bermartabat dapat ditunjukkan dengan komitmen bersama antara Banggar DPRD Sumut dan TAPD Pemprov Sumut.

“Inikan menampung juga apa yang diinginkan eksekuti. Karena kami juta mau membahas R-APBD 2019. Makanya kalau sampai tidak ada P-APBD akan ada implikasi terhadap anggaran tahun depan,” pungkasnya.

 

Tak Ada Dasar

Menyikapi diskresi yang akan diambil gubernur, Pengamat Anggaran Elfenda Ananda mengatakan, penerbitan Pergub atas penolakan penandatanganan KUA-PPAS PAPBD tidak memiliki dasar hukum. Karenanya Edy diminta bersama TAPD untuk duduk lagi dengan Banggar DPRD Sumut membahas hal tersebut. “Kalau dia (Gubsu) mau buat Pergub, tentu pagu anggarannya harus ikut yang lama (APBD murni). Artinya, ya tidak ada perubahan sama sekali, jadi buat apa ada Pergub?” katanya.

Dijelaskan dia, ada dua asumsi yang terbangun dari P-APBD. Dimana jika ada perkiraan uang berlebih, akan ada penambahan proyek atau kegiatan. Sebaliknya, jika pendapatannya tidak mencapai target, maka akan dilakukan rasionalisasi. “Tren biasanya P-APBD Sumut terjadi penambahan. Karena target yang dibuat sejak APBD murni memang didesain ada penambahan saat perubahan,” katanya.

Mantan Sekretaris Fitra Sumut ini menambahkan, di sinilah sebenarnya seni berpolitik Edy dan Ijeck diuji. Sebab mereka tidak akan bisa berjalan mengendalikan pemerintahan jika tidak beriringan dengan legislatif. “Sesuai UU, APBD itu disusun dan dibahas secara bersama-sama antara eksekutif dan legislatif. Tidak bisa pakai gaya otoriter berjalan sendiri-sendiri. Inilah seninya berpolitik sebab jabatan dia dipilih dari proses politik,” katanya.

Soal bagaimana kompromi kepala daerah dan wakil rakyat mengenai alokasi anggaran yang mau diakomodir, menurut Elfenda, seperti halnya permintaan dana bansos oleh legislatif, tentu Edy harus punya trik jitu mencari jalan tengah terbaik. “Kalau mau tegas dalam APBD umpamanya, gubernur tinggal sampaikan kepada dewan apa dasar hukum untuk penganggaran bansos atau dana hibah. Kalau memang ada kemudian penerimanya jelas, berarti tidak masalah jika dianggarkan. Sebenarnya mudah saja kalau gubernur tidak pakai gaya otoriter,” katanya.

Apalagi memasuki tahun politik seperti ini, sambungnya, gubernur harus memahami kondisi tersebut secara bijak. Artinya para legislatif saat ini banyak kebutuhan dan kepentingan konstituennya masing-masing. “Cuma harus ada dasar yang kuat juga. Kan ada aturan mainnya. Ada verifikasi penerima bansos dan lainnya. Sebab kita tidak mau mengulangi sejarah yang pernah dibuat Gatot (Gubsu sebelumnya), berdasarkan selera politik. Kalau memang mau menghambat DPRD dalam hal bansos, bisa saja Gubsu minta alasan dan argumentasi seperti penerima yang sudah terverifikasi,” paparnya.

Artinya kebijakan tersebut imbuh dia akan terasa sia-sia, sebab anggaran yang ada tetap memakai APBD murni yang telah disahkan sebelumnya. “Jika nanti ada kelebihan anggaran Rp300 juta sampai Rp400 juta di akhir tahun, maka itu akan jadi SiLPA sebab memang tidak disetujui. Tinggal masyarakat yang menilai kinerja eksekutif dan legislatifnya,” pungkasnya. (bal/prn)

Exit mobile version