Site icon SumutPos

Hadiah Terburuk bagi Koruptor, Tapi… Rahasiakan Identitas Pelapor Yaa

Foto: Ismail Pohan/INDOPOS/JPNN
Sejumlah pegiat dari Koalisi Save KPK mengenakan kostum super hero saat menggelar aksi dukungan kepada KPK di Jakarta, Minggu (16/4/2017). Dalam aksinya mereka mengecam segala bentuk pelemahan dan intimidasi kepada KPK serta meminta pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan kepada pegawai dan penyidik KPK.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menaikkan imbalan bagi warga yang bisa mengungkap dan melaporkan tindak pidana korupsi dari 0,02 persen menjadi 10 persen, menuai pro dan kontra di masyarakat.

Dekan Fakultas Hukum USU Prof Budiman menilai, rencana KPK itu amat baik kalau memang terealisasi. Rencana itu juga bisa dibilang, KPK menghargai jasa masyarakat. Dia mengatakan, tak hanya sekadar memberi imbalan, KPK juga harus menjaga kerahasiaan yang memberi informasi atau laporan. Sebab, hal ini menyangkut keselamatan atau keamanan si pelapor.

“Kita mengapresiasi langkah yang akan dilakukan KPK nantinya itu, dan ini juga merupakan salah satu caranya menekan tindak pidana korupsi. Harapannya, segera dapat terealisasi,” kata Prof Budiman.

Pengamat hukum lainnya, M Sai Rangkuti menuturkan, kebijakan yang diambil KPK jelas bagus dan strategis. Sebab, kebijakan itu mengajak kepada masyarakat untuk segera memberikan informasi atau melaporkan apabila ada indikasi kasus korupsi.

Disinggung soal pelaporan kasus dijadikan mesin ATM, Sai menyebutkan hal itu tidak mungkin terjadi. Karena, sangat tidak mungkin juga penegak hukum jadi ‘ATM’ masyarakat.

Wakil Direktur LBH Medan Ismail Hasan Koto juga mengapresiasi KPK. Menurutnya, dengan tingginya imbalan yang diberikan KPK, lanjut Ismail, hal ini mendorong masyarakat untuk berpartisipasi didalam menurunkan angka tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. “Seperti yang kita ketahui bersama, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (exta–ordinary crime), maka penanganannya juga harus dilakukan dengan cara yang luar biasa,” ungkapnya.

LBH Medan sendiri, lanjut Ismail, mengapresiasi keinginan KPK dengan menaikkan fee 10 persen yang awalnya hanya 0,02 persen kepada warga yang melapor adanya dugaan tindak pidana korupsi. “Hal ini bisa menjadikan hadiah terburuk dan juga ancaman bagi pelaku koruptor yang merugikan keuangan negara terus-menerus. Karena dengan adanya keterlibatan warga sipil, maka akan semakin banyak yang mengawasi para pelaku koruptor tersebut,” terangnya.

“Selain memberikan fee 10 persen kepada warga yang melaporkan para Koruptor, kami mengharapkan KPK juga meningkatkan kemananan. Setidaknya identitas pelapor dirahasiakan sehingga memberikan jaminan perlindungan hukum kepada para pelapor jangan sampai yang melaporkan tindak pidana korupsi tersebut diteror karena dalam hal ini yang dilawan adalah para penguasa dan juga para pembesar di negeri ini,” bebernya.

Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut, Rurita Ningrum juga mendukung rencana KPK tersebut. Bahkan menurut dia, bila perlu imbalan tersebut dinaikkan menjadi 30 persen.

“Saya rasa ini wacana yang bagus. Masyarakat yang awalnya berpikir dua atau bahkan tiga kali untuk melaporkan, tentu akan tertarik untuk melaporkan kasus korupsi ke KPK. Kenapa? Mungkin selama ini masyarakat merasa, bila melaporkan korupsi tak ada untung bagi dirinya pribadi, alih-alih terancam jiwanya,” kata Rurita.

Menurutnya dengan sistem reward seperti itu juga berguna untuk menghilangkan praktik penyuapan dari yang bisa saja terjadi dari terlapor ke pelapor itu sendiri. “Pastinya masyarakat lebih memilih untuk melaporkan ke KPK. Karena dia (pelapor,red) dapat reward dan lagi ada kepuasan karena telah menyelamatkan banyak orang dari praktik korupsi. Jadi wacana ini jangan hanya sebatas wacana, tapi harus diberlakukan,” sebutnya.

Dia mengisahkan, sebuah perkebunan sawit yang kerap dicuri buahnya oleh masyarakat sekitar.  Namun, begitu pemilik perkebunan memberikan reward bagi masyarakat yang mengetahui dan melaporkan pencurian, praktik perkebunan itu aman dari pencurian. “Begitu juga bila KPK menjalankan wacana ini, upaya pemberantasan korupsi akan semakin kencang,” ungkapnya.

Lebih lanjut Rurita mendorong agar KPK segera melaksanakan wacana tersebut. “Saya yakin banyak masyarakat yang mendukung. Saya sendiri mendukungnya,” pungkasnya.

Foto: Ricardo/JPNN
Gedung Baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diresmikan Presiden Joko Widodo, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (29/12) lalu. KPK berencana menaikkan fee pelapor korupsi menjadi 10 persen.

KIBUS BAKAL BERLOMBA

Di samping dukungan, wacana KPK menaikkan komisi ini juga mendapat kontra. Ada kekhawatiran, kebijakan itu akan dimanfaatkan oknum-oknum tertentu untuk mengambil keuntungan dan terkesan, KPK mengajari masyarakat perang terhadap korupsi dengan berharap imbalan bukan keikhlasan.

Pengamat hukum, Muslim Muis mengatakan, KPK harus mengkaji ulang rencana pemberian fee 10 persen itu. Karena ia menilai, KPK tidak mendidik masyarakat secara terbuka dan ikhlas memerangi korupsi di Tanah Air.

“Kalau dengan fee 10 persen, masyarakat atau ‘kibus’ KPK akan berlomba-lomba melaporkan kasus korupsi ke KPK. Namun, laporan itu bukan didasari keikhlasan dan kesadaran anti korupsi. Melainkan berharap upah atau fee yang akan diberikan KPK,” kata Muslim Muis saat dimintai pendapatnya oleh Sumut Pos, Rabu (26/4) siang.

Direktur Pusat Studi Hukum dan Pembaharuan serta Peradilan (Pushpa) ini juga menilai, dengan fee tersebut, KPK akan melemahkan kinerja penegak hukum di daerah. Dengan tergiur fee besar, masyarakat atau pelapor akan berbondong-bondong melapor ke KPK di Jakarta dengan tujuan imbal besar yang akan diperoleh dari laporan sebuah kasus korupsi di daerah.

Sementara itu, penegak hukum di daerah seperti kepolisian dan kejaksaan akan dilupakan masyarakat. Padahal, kedua institusi itu juga bisa mengusut kasus korupsi. Dikarenakan fee itu, masyarakat akan berjuang ke KPK untuk melaporkan sebuah kasus korupsi dengan upah yang besar yang akan didapatkan.

“Memang bisa semua laporan itu diusut KPK? Kita lihat saja banyak kasus korupsi jalan di tempat di KPK. Saya menilai, KPK harus objektif dan mengkaji ulang wacana itu. KPK harus mendidik masyakarat atau pelapor memerangi korupsi secara ikhlas. Bukan, karena imbal besar,” tegas Muslim.

Diakuinya, niat KPK menaikkan fee tersebut sebenarnya baik, tetapi dia tidak ingin ada oknum-oknum tertentu memanfaatkan kebijakan ini menjadi ‘mesin ATM’. “Banyak masyarakat yang melapor, pastinya banyak pula yang mengambil keuntungan. Untuk itu, terkait rencana menaikkan imbalan tersebut harus ada pengawasan yang baik tentang bagaimana progresnya,” tandas mantan Direktur LBH Medan ini.

Korupsi-ilustrasi

Sebagaimana diketahui, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, rencana menaikkan imbalan bagi pelapor bertujuan supaya meningkatkan partisipasi masyarakat untuk melaporkan upaya pelanggaran korupsi. Saat ini, aturan itu sudah ada, tapi komisi yang diberikan sangat kecil cuma 0,02 persen.

“Kami menilai imbalan 0,02 persen yang akan diberikan kepada pelapor dari uang negara yang dirugikan akibat hasil tindakan korupsi sangat kecil. Saya mengusulkan untuk menaikkannya jadi 10 persen,” ucap Alex dalam acara Seminar Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di JS Luwansa Hotel, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, kemarin (25/4).

Menurutnya, pemberian imbalan berupa hadiah atau penghargaan diatur dalam Peraturan Pemerintah No 71/2000 tentang tata cara pemberian penghargaan terkait pemberantasan korupsi. Namun, menurutnya, nilai imbalan yang diberikan terlalu kecil sehingga kurang diminati masyarakat.

“Praktiknya ada, tapi nilainya sangat kecil. Kalau nilai kerugian negara akibat korupsi sebesar Rp 1 miliar, imbalannya hanya 0,02 persen, kira-kira Rp 2 juta. Mungkin itu yang membuat minat partisipasi masyarakat kurang. Jadi kami usulkan mungkin bisa dinaikkan jadi 10 persen,” jelas Alex.

“Logis saja. Lebih baik mana negara kehilangan Rp 1 miliar karena korupsi atau memberikan Rp 100 juta kepada mereka yang mau ikut membantu melaporkan dan mengungkap korupsi?” sambungnya.

Dia berharap, dengan upaya ini, masyarakat akan lebih giat berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi. “Niatnya untuk mendorong keterlibatan masyarakat sebagai pelapor tindak pidana korupsi. Karena sampai saat ini sikap partisipasi masyarakat masih permisif terhadap pelaku koruptif,” tutupnya. (ris/gus/dvs/adz)

Exit mobile version