Site icon SumutPos

Kejagung Ajukan Rp200 Juta, Polri Rp247,1 Juta

Eksekusi Mati-Ilustrasi
Eksekusi Mati-Ilustrasi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pelaksanaan eksekusi mati terus mendapatkan berbagai sorotan. Selain polemik soal HAM, kini penggunaan dana eksekusi juga tengah dipermasalahkan. Kejaksaan Agung dinilai tak transparan terkait anggaran eksekusi mati. Diduga juga terjadi dobel anggaran antara Kejagung dan Polri.

Indikasi itu terungkap dalam temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Staf Advokasi Fitra, Gulfino Guevarrato mengungkapan, ada indikasi dobel anggaran dalam pelaksanaan eksekusi mati selama ini. Sebab Polri dan Kejaksaan memiliki anggaran yang sama untuk pelaksanaan eksekusi. Item-item penganggarannya pun sama.

Fino -panggilan Gulfino- menjelaskan, peraturan penganggaran pelaksanaan eksekusi mati di Polri diatur dalam pasal 29 Peraturan Kapolri (Perkap) 12 / 2010. Di sana disebutkan, segala biaya yang timbul dalam pelaksanaan pidana mati dibebankan pada DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) Polri.

“Sementara Kejaksaan juga memiliki anggaran yang sama di pos penanggulangan tindak pidana umum,” ujar Fino. Dalam dokumen yang ditunjukkan Fitra, item-item penganggaran pelaksanaan eksekusi mati antar di Polri dan Kejaksaan nyaris sama.

Misalnya biaya rapat koordinasi, honor untuk regu tembak, penginapan pihak yang mewakili terdakwa, penerjemah, rohaniawan hingga proses pemakaman.

Nah meskipun banyak item yang sama, namun besaran anggaran di Polri dan Kejaksaan berbeda. Total anggaran eksekusi mati di Polri mencapai Rp247.112.000 per narapidana, sedangkan di Kejaksaan besarnya persis Rp200 juta.

Dari pendalaman yang dilakukan Fitra, perbedaan jumlah penganggaran tersebut terjadi karena salah satu terkait perhitungan personel. Polri yang bertugas menyiapkan personel pengamanan mengisyaratkan pelaksanaan eksekusi mati melibatkan 64 personal. Mereka terbagi dalam yang terbagi dalam 6 regu (5 regu pengamanan dan 1 regu penembak). Sedangkan di Kejaksaan, anggarannya hanya untuk 40 orang personel.

Fino mengatakan adanya dua aturan penganggaran itu sangat membingungkan. Ironisnya selama ini kejaksaan yang memegang peran utama dalam pelaksanaan eksekusi mati tak pernah transparan.

“Inikan eksekusi mati yang ketiga, sebelum-sebelumnya juga tidak ada transparansi,” kata Fino.

Dia berharap kejaksaan sebelum memutuskan eksekusi kali ini menyelesaikan persoalan anggaran terlebih dulu. Sebab pelaksanaan eksekusi selama ini banyak mendapatkan sorotan publik.

Sementara itu, Julius Ibrani dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) setuju dengan desakan Fitra agar Kejaksaan terbuka. Besarnya anggaran eksekusi mati menurut Julius bertolak belakang keluhan minimnya anggaran untuk Kejagung tahun ini.

Sebagaimana diketahui, sejumlah instansi mengalami pengeprasan anggaran termasuk Kejagung. Mereka pun sempat keberatan dengan pemotongan anggaran tersebut. Nah jika eksekusi mati membutuhkan anggaran Rp200 juta per narapidana, berarti kini Kejagung tengah menyiapkan dana Rp32 miliar untuk menembak 16 terpidana.

Sementara Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Noor Rochmad menuturkan, anggaran doble dalam eksekusi mati tersebut tentunya tidak ada. Yang pasti, memang ada anggaran di Kejagung dan Polri.

”Anggaran ini ada di keduanya,” tuturnya.

Dari anggaran Rp200 juta per terpidana mati tersebut, dipastikan porsi terbesar ada pada Polri. Hal itu dikarenakan Polri memiliki persiapan yang jauh lebih banyak.

”Dari jumlah anggota polisi yang menjadi penembak juga lebih banyak. Jaksa hanya koordinator saja,” ujarnya.

Bagian lain, Kadivhumas Polri Irjen Boy Rafli Amar menampik dengan tegas tuduhan dari Fitra bahwa ada anggaran dobel. Menurutnya, semua itu hanya tuduhan yang tidak berdasar.

”Polri dan Kejagung itu institusi yang berbeda,” paparnya.

Karena itulah, lanjutnya, tidak bisa anggaran itu disamakan. Walau, tentunya, semua anggaran berasal dari APBN.

”Kami tentunya tidak bisa minta ke Kejagung untuk anggarannya, kami harus menyiapkannya sendirilah,” jelasnya.

Apalagi, kebutuhan dari Polri dan Kejagung itu berbeda untuk anggaran tersebut. Dia mengatakan, jumlah anggota Polri yang membantu eksekusi itu saja lebih dari 100 orang. ”Transport hingga logistik tentunya diperlukan ya,” paparnya.

Dia menuturkan, anggaran memang diajukan dari kedua belah pihak untuk acara yang sama. Namun, bukan berarti bisa disebut sebagai anggaran dobel. ”Ini satu acara yang terlibat itu beberapa instasni, apa itu satu instansi minta anggaran instansi lain,” tegasnya. (gun/idr/mg4/jpg/adz)

Exit mobile version