Site icon SumutPos

Mau Pencitraan, tak Mau Komunikasi

Refleksi Akhir Tahun Kepemimpinan Sumatera Utara

Terbitnya Kepres tentang Pelaksana Tugas Gubernur Sumatera Utara untuk Wakil Gubernur Sumut, H Gatot Pujo Nugroho, pada 24 Maret 2011 lalu, menjadikan tampuk kepemimpinan di provinsi berpenduduk lebih 12 juta jiwa ini beralih ke mantan Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sumatera Utara itu. Lantas, bagaimana pola kepemimpinan Gatot selama memimpin Sumut?

Dari berbagai narasumber yang dihubungi, di antaranya Dekan FE USU John T Ritonga, kalangan DPRD Sumut (Alamsyah Hamdani, Anggota F-PD; Mulkan Ritonga, Wakil Ketua F-PG;  Ahmad Hosen Hutagalung,  Sekretaris F-PPP), Ulama NU Sumut Amrin Siregar, tokoh pendidik FJ Pinem, penggiat LSM Elfenda Ananda, dan beberapa lainnya, ada benang merah yang bisa ditarik : Lemahnya komunikasi politik Gatot. Padahal, komunikasi adalah urat nadi dalam kepemimpinan. Kendala komunikasi inilah yang kemudian menjadi biang kerok dari kepemimpinan Gatot selama memimpin Sumut!

Kelemahan komunikasi Gatot itu, sesungguhnya sangatlah mengherankan. Sebab, Gatot sejatinya adalah seorang politisi, yang semestinya paham tentang pentingnya komunikasi politik.

Uniknya, Partai Keadilan Sejahtera Sumut, komunitas asal Gatot, membela sikap Gatot semacam ini. Gatot dianggap sudah melakukan komunikasi politik dengan baik. Yang salah, menurut seorang politisi PKS Sumut kepada salah satu media beberapa waktu lalu, adalah yang dimaksud dengan komunikasi politik di Sumut itu bermakna ‘bagi-bagi proyek’ dan ‘bagi-bagi jabatan’.

Menurut praktisi komunikasi Choking Susilo Sakeh, persepsi  komunikasi yang ‘nyleneh’ ini, celakanya menjadi semacam pembenaran bagi Gatot untuk tetap berkomunikasi dengan gayanya. Padahal,  komunikasi  hanya bisa dibangun jika para pihak duduk sejajar. “Jika satu pihak merasa ‘lebih bersih’ dari pihak lainnya, itu namanya tausyiah, bukan komunikasi. Sedangkan jika satu pihak merasa ‘lebih tinggi’ dari pihak lainnya, itu namanya instruksi, bukan komunikasi,” ujar Choking, Ombudsman Kelompok Penerbitan Sumut Pos Grup Medan.

Dekan Fakultas Ekonomi USU, John T Ritonga, menilai  bahwa sesungguhnya kepemimpinan Gatot sebagai Plt Gubsu dari aspek ekonomi bisa lebih baik dari sekarang ini. Sayangnya, “Saya dengar ada masalah komunikasi politik dengan Gubernur Sumut non aktif, juga dengan fihak legislatif. Akibat lingkungan politiknya kurang solid, maka kepemimpinannya menjadi kurang optimal,” kata Ritonga.

Sementara itu Alamsyah Hamdani, anggota Fraksi PDI-P DPRD Sumut, menilai, “Gatot itu baik. Kalau tak baik, takkan dipilih pak Syamsul untuk mendampinginya. Cuma, komunikasi politiknya kurang. Ini yang perlu disadari dan dibangun oleh Gatot,” kata Alamsyah.

Elfenda Ananda, penggiat LSM yang rutin mengamati anggaran, pun setali tiga uang. Komunikasi politik yang gagal antara Gatot dan legislatif, menjadi penyebab banyak hal pada roda pemerintahan di Pemprov Sumut menjadi tak lancar.

Sekretaris Fraksi PPP DPRD Sumut, Ahmad Hosen Hutagalung,  juga punya penilaian sama. Menurutnya,  Plt Gubsu Gatot tidak mampu mensinkronkan kepemimpinannya dengan partai-partai pengusung Syampurno, terutama karena ketidakmampuan Gatot membangun komunikasi politik dengan segenap anggota DPRD Sumut yang berasal dari beragam partai politik.

Komunikasi, yang dalam bahasa Ulama NU, Drs. Amrin Siregar, adalah silaturahim, pun terputus antara Ulama Sumut dengan Plt Gubsu. “Ulama Sumut kini merasa jalan sendiri tanpa Plt Gatot, karena silaturahim itu telah terputus. Ini jauh berbeda dengan masa kepemimpinan Syamsul Arifin, dimana hubungan silaturahim dengan ulama terus dijalin Syamsul Arifin,” kata Amrin.

Apa dampaknya bagi pembangunan dan pemerintahan di Sumut? Menurut John Ritonga, mesin birokrasi di Jalan Diponegoro Medan kini tidak berjalan normal.

Para pimpinan di eselon dua dan di banyak lini yang berkaitan langsung dengan gubernur, bekerja hanya ‘cari selamat’ saja. Mereka tidak berani memberikan info dan masukan penting secara objektif dengan baik dan benar. Yang terjadi, “Semua berharap kepada Plt Gubsu dan Sekda, maka macetlah roda organisasi pemerintahan.”
Dengan demikian, kita tak perlu kaget jika pembangunan Sumatera Utara belum juga pro rakyat, melainkan masih pro pengguna utama. Masih syukurnya, ada DIPA Sumut yang berjumlah Rp 17 T, dan ini sangat banyak membantu Sumut.

Begitu pula soal penyerapan anggaran, sebagaimana diungkapkan media, masih belum proporsional dengan tahun berjalan. Para KPA dan PPK masih belum berani dan cekatan. Ini mungkin karena ada konflik kepentingan, sehingga belum bisa not bussines as usual. “Ya, kalau mau bagus, Gatot harus berani menempatkan pejabat profesional yang punya karakter merdeka.”

John Ritonga menambahkan, mestinya Gatot mampu melakukan terobosan besar atas nama Gubernur Sumut non aktif Syamsul Arifin. “Jika tidak berhasil, kan pak Syamsul yang tidak berhasil. Tapi kalau berhasil, Gatot juga dapat nama kan…”

Bagaimana soal Inalum yang kontraknya habis tahun 2013?

Kata Ritonga, dia belum pernah mendengar konsep maupun langkah dan strategi untuk itu, kecuali hanya ada komitmen untuk mengambil alih. “Kami pernah undang pak Bisuk Siahaan (Inalum, red). Kata beliau, habis kontrak nanti, saham Jepang sebesar 58 persen akan diserahkan ke daerah, bukan dijual. Artinya, ada peluang untuk mendapatkan saham tanpa harus membeli. Tahun depan akan kita minta pak Bisuk Siahaan membantu merumuskan strateginya dan nanti kita sampaikan sama-sama ke pusat.”

Ritonga membenarkan Gatot belum pernah membicarakan  soal itu dengan FE USU. “Mungkin Pak Gatot masih sibuk, tapi kita tetap upayakan membantu untuk masalah Inalum sebagai small support. Kita harus bantu Syampurno, itu komitmen. Gatot itu kan sahabat kita, dia dari USU, ya kalau bisa bantu-bantu tenaga, pikiran dan sedikit cubit sayang alias kritik konstruktif, ya agak democracy lifestyle lah…”

Sementara itu Alamsyah Hamdani, anggota Fraksi PDI-P DPRD Sumut, menyarankan
Gatot  perlu belajar dari Syamsul Arifin yang tak pernah terlambat dalam pengesahan APBD. Begitu juga dengan pelaksanaan pembangunan. “Kalau ada SILPA, pasti ada yang tak bekerja sungguh-sungguh sehingga anggaran tidak terserap dengan baik. Cara menempatkan kepala dinas, juga harus diperhatikan dengan memperhatikan aspek kredibilitas dan profesionalitas,” kata Alamsyah.

Elfenda Ananda, penggiat LSM yang rutin mengamati anggaran, menyebutkan komunikasi politik yang gagal antara Gatot dan legislatif, menjadi penyebab molornya pengesahan P-APBD 2011. Juga munculnya wacana hak interpelasi DPRD Sumut beberapa waktu lalu, dan kemudian, “ditengarai telah terjadi deal-deal politik, hingga mencuat indikasi bagi-bagi uang dan pelesiran bagi para anggota dewan,” kata Elfenda, Sekretaris Eksekutif Fitra Sumut itu.

Dalam membangun komunikasi politik dengan kalangan anggota dewan ke depan, Elfenda khawatir Gatot akan lebih mengutamakan kepentingan dewan ketimbang kepentingan rakyat Sumut secara keseluruhan. “Fungsi budgeting dan pengawasan DPRD Sumut menjadi tidak profesional, dan ini berimbas kepada buruknya kinerja Pemprovsu,” katanya.
Plt Gubsu Gatot, kata Elfenda,  harus lebih profesional menyusun perangkat-perangkatnya di seluruh SKPD, dan harus pula tegas menindak SKPD yang dinilai tidak mampu bekerja maksimal dalam penyerapan anggaran.

Namun, dalam upaya ke arah sana, Plt Gubsu juga harus berjalan sesuai rel yang ada, dimana dengan semestinya terlebih dahulu meminta pertimbangan dari Mendagri. Dan penyusunan SKPD tersebut, harus juga meliputi keterwakilan daerah di Sumut.  Sekretaris Fraksi PPP DPRD Sumut, Ahmad Hosen Hutagalung,   mengatakan sesungguhnya Syampurno ini belum berakhir. Karena prinsipnya, bukan hanya sampai pelantikan saja, melainkan hingga akhir pemerintahan Syampurno. “Itu isyarat yang dilontarkan sembilan partai pengusung  beberapa waktu lalu. Yang tidak sinkron itu adalah komunikasi politik dengan sembilan partai itu, begitu juga dengan fraksi-fraksi pendukung di DPRD Sumut,” tegas Hutagalung.

Sementara itu Mulkan Ritonga, Wakil Ketua  Fraksi Partai Golkar DPRD Sumut,  menyebutkan lemahnya komunikasi Plt Gubsu mengakibatkan lemahnya kinerja Pemprov Sumut. Terbukti, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi birokrasi (Menpan-RB) menilai, penyusunan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (Lakip) dan penetapan kinerja Pemprov Sumut masih berada pada nilai C.

Kemenpan menyoroti bahwa antara RPJMD dengan Renstra (Rencana Strategis), Renja (Rencana Kerja) sampai penyusunan RKA dan DPA-SKPD di lingkungan Pemprovsu belum menunjukkan keterkaitan (sinergitas).
Berkaitan dengan persoalan mutasi pejabat eselon II dan III yang pernah dilakukan Plt Gubsu, Mulkan menyarankan agar Pemprovsu mencari fatwa hukum. Ini didasari atas pertimbangan, bahwa para pejabat yang sudah dilantik tersebut merupakan kuasa pengguna anggaran (KPA) yang menandatangani seluruh berita acara berkaitan dengan penggunaan angaran. “Apabila mutasi tesebut dianggap tidak sah oleh Kemendagri, maka Pemprovsu tidak mempunyai keterkaitan  dan konsekuensi hukum dengan pelaksanaan anggaran dimaksud,” ujar Mulkan.

Pihak Legislatif memang paling ‘cerewet’ menyikapi kepemimpinan Gatot. Beberapa waktu lalu misalnya, sembilan dari 10 fraksi di DPRD  Sumut menilai Gatot menyimpan dendam terhadap Gubsu nonaktif Syamsul Arifin. Itu berkaitan dengan pernyataan Syamsul Arifin, bahwa sampai saat itu belum menerima surat pemberhentian sementaranya sebagai Gubsu. Padahal surat tersebut, telah dititipkan Sekretaris Mendagri kepada Gatot.

Namun rasa tidak puas atas kepemimpinan Gatot, juga dialami berbagai kalangan lain. Dalam rentang sekitar 9 bulan masa kepemimpinan Gatot misalnya, silih berganti pengunjuk rasa menghujatnya. Yang terbaru adalah sekelompok massa membawa pakaian dalam untuk sang Plt Gubsu tersebut.

Selain itu beberapa elemen masyarakat juga merasa tak puas. Salah satunya adalah para Guru dari organisasi profesi PGRI, PGSI, APSI, ABSI,  GTKA, HIMPAUDi, dan HIPKI yang tergabung di dalam Gabungan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (GPTendik) Indonesia Provinsi  Sumatera Utara misalnya, terang-terangan melontarkan ketidakpuasan itu atas besaran alokasi anggaran pendidikan pada APBD Sumut tahun 2012.

“Draf APBD Sumut tahun 2012 yang hanya mengalokasikan untuk pendidikan enam persen merupakan  penghinaan bagi profesi guru, untuk itu Pemprovsu dan dewan harus meninjau kembali kebijakan  itu,” kata Ketua Gabungan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (GPTendik) Indonesia Provinsi  Sumatera Utara (Sumut), Drs FJ Pinem.
Kalau anggaran  pendidikan 20 persen tak juga direalisasikan, “kami akan buat ‘tusnami guru’ di Sumut melalui aksi besar-besaran,” ujarnya.

Dia mengatakan, dengan dana 6 persen dari APBD, Pemprovsu tidak akan bisa berbuat banyak  meningkatkan pendidikan di Sumut. Visi Syampurno ‘Rakyat Tidak Bodoh’ itu cuma omong kosong.

Secara terpisah Drs Amrin Siregar, tokoh NU Sumut, melihat dasar-dasar pembangunan Sumut sesungguhnya sudah diletakkan oleh Gubernur non aktif Syamsul Arifin. Tapi, pada kepemimpinan Plt Gatot, hal itu tidak dilanjutkan. Padahal, Gatot a tidak bisa dilepaskan dari Syamsul Arifin sebagai pasangannya pada Pilgub Sumut. Artinya, Gatot tak boleh jalan sendiri. “Gatot harus berkonsultasi dengan Syamsul, juga dengan Mendagri,” kata Amrin.

Amrin merasa, para ulama Sumut kini jalan sendiri tanpa Plt Gatot, karena silaturahim itu telah terputus. Ini jauh berbeda dengan masa kepemimpinan Syamsul Arifin, dimana hubungan silaturahim dengan ulama terus dijalin Syamsul Arifin.

Mestinya Gatot harus meniru kepemimpinan Umar bin Khatab, turun ke bawah mendengar langsung suara rakyatnya. Gatot mestinya tetap berupaya menjadi ‘Sahabat Semua Suku’, sebagaimana telah dicontohkan oleh Syamsul Arifin. Jadi, “Gatot tak hanya menjadi sahabat untuk lingkungannya sendiri.”

Jika kondisi kepemimpinan Plt Gubsu tidak berobah pada tahun-tahun mendatang, dipastikan jargon politik ‘Rakyat Tidak Lapar,  Rakyat Tidak Bodoh, Rakyat Tidak Miskin dan Rakyat Punya Masa Depan’ pada masa kampanye Pilgubsu lalu, hanya jadi omong kosong belaka. Selebihnya, Sumut akan semakin tertinggal dibanding provinsi tetangganya semisal Riau, Kepri, Aceh dan Sumbar. (Choking Susilo Sakeh)

Exit mobile version