Site icon SumutPos

Keluarga Curiga Alat Operasi Tidak Steril

Foto: Hulman/PM S Simbolon, paman Maruli Silalahi yang meninggal usai operasi usus buntu di RS Mitra Sejati Medan.
Foto: Hulman/PM
S Simbolon, paman Maruli Silalahi yang meninggal usai operasi usus buntu di RS Mitra Sejati Medan.

LUBUKPAKAM, SUMUTPOS.CO – Kematian Maruli Silalahi (33) pasca operasi usus buntu di RSU Mitra Sejati Medan pada Senin (23/3) lalu, menyisakan kecurigaan keluarga korban. Dugaan malpraktik hingga pelayanan tak maksimal usai operasi, mencuat.

Paman korban, Sabar Simbolon SH (61), kepada sejumlah awak media di Lubukpakam, Jumat (27/3) menyebutkan, pihak keluarga pada Kamis (26/3) sore sekira pukul 17.00 Wib kembali mendatangi rumah sakit Mitra Sejati untuk bertemu dr Arih Ginting.

Itu terkait pernyataannya di media cetak jika kematian korban karena mengalami sepsis (infeksi) dimana kuman telah masuk kedalam darah dan merusak beberapa organ tubuh korban. Namun sangat disayangkan, beberapa keluarga korban tidak dapat bertemu dengan dr Arih Ginting. Hanya bertemu dengan dr Gita.

Dibeber Sabar Simbolon, setelah berjumpa dengan dr Gita, pihak keluarga korban mempertanyakan sejak kapan korban mengalami sepsis apakah sebelum dirawat atau sebelum dirawat. Lalu dijawab dr Gita jika korban sejak masuk rumah sakit lekositnya sudah tinggi dan mengalami sepsis.

Mendengar jawaban dr Gita, keluarga korban kembali bertanya mengapa kalau korban sudah mengalami sepsis saat operasi dilakukan hanya diruang biasa dan bukan diruang ICU, karena korban dioperasi pada Jumat (20/3) dan Sabtu (21/3) korban malah demam.

Meski diberi obat justru demam korban kian tinggi pada hari Munggu (22/3) dan akhirnya tewas pada Senin (23/3) lagi. Tapi dr Gita tak mampu menjawab panjang lebar lagi sehingga keluarga korban pun meninggalkan rumah sakit tersebut.

“Kami mencurigai jika peralatan yang digunakan saat melakukan operasi usus buntu terhadap korban terindikasi tidak steril. Saat ini bersama kuasa hukum yang kami tunjuk sedang mempersiapkan berkas laporan yang ditujukan kepada Presiden, Menteri Kesehatan, IDI Pusat dan Provinsi serta komisi IX DPR RI,” tegasnya.

“Kalau laporan ke Presiden RI dan Menteri kesehatan terkait BPJS, karena korban adalah pengguna BPJS saat berobat namun pihak rumah sakit terkesan kurang peduli dengan pasien BPJS. Buktinya pasca operasi, korban demam tinggi yang seharusnya diberikan perawatan intensif, ini dikasih obat malah demamnya makin tinggi hingga menewaskan korban. Kami meminta kepada pemerintah agar jangan sembarangan menunjuk rumah sakit yang menerima pasien BPJS. Sebaiknya diuji dulu kemampuan rumah sakit yang menerima pasien BPJS sehingg pelanannya bisa maksimal terhadap pasien,” tegas Simbolon.

Foto: Gibson/PM
Jenazah Maruli Silalahi saat masih di RS Mitra Sejati Medan, Senin (23/3/2015). Pihak keluarga menuding ada malpraktik.

Sementara, Humas RSU Mitra Sejati, Erwinsyah Lubis, mengaku kalau perlatan kesehatan di RSU Mitra Sejati, sudah canggih. “Sebagian perlatan sudah canggih, alat terbaru,” ujarnya Jumat (27/3) sore di Jl. AH Nasution. Dia juga menyayangkan tudingan malpraktik dari keluarga korban.

“Setahu saya, malpraktik itu jika ada unsur kesengajaan, coba dicek lagi artinya,” tambahnya. Dibebernya pula, keluarga korban sempat mempertanyakan soal diagnosa dokter yang mendahului penyelidikan polisi. “Namanya dokter, pasti bisa mendiagnosa terlebih dulu dari polisi,” terangnya.

Terpisah, Edison Peranginangin yang menjabat sebagai Divisi Hukum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Daerah Sumatera Utara, menegaskan kalau sanksi malpraktek yang terjadi di rumah sakit dikenakan secara individu. “Bukan secara lembaga atau rumah sakit itu sendiri. Jadi siapa dokter yang menangani, dialah yang akan menjalani persidangan. Bukan rumah sakitnya,” ungkapnya sembari mengatakan sudah mendengar kasus dugaan malpraktik di RSU Mitra Sejati.

“Benar atau tidaknya dugaan mal praktek hanya bisa dibuktikan oleh penyidik. Disebut mal praktek jika pelayanan yang diberikan sudah menyalahi prosedur yang ditetapkan. Arti lainnya ada kewajiban dokter yang tidak diberikan pada pasien. Misal diselidiki kedisplinan ilmu dokter yang menangani apakah sesuai dengan penyakit pasien dan obat-obatan yang diberikan pada pasien. Dan ini yang bisa melakukan adalah penyidik,” tambahnya.

“Jadi penyidiklah yang bisa menyelidiki itu. Lalu adaa audit dari petugas media juga. Sehingga ga bisa kita bilang itu mal praktek sebelum dibuktikan di pengadilan. Jadi ada kegagalan mematuhi standar,” ungkapnya.

Dijelaskan bahwa hukuman bagi pelaku mal praktek, berdasarkan KUHP pidananya masuk ke pasal 359 -360 karena akibat kelalaian mengakibatkan meninggalnya atau lukanya orang lain. Namun jika menyalahi etik profesi maka seorang dokter bisa menjalani tiga hukuman. Pertama pencabutan registrasi kedokterannya, mencabut ijin praktek atau disekolahkan kembali. “Tapi untuk menuju ke sana ada lex spesialis UU praktek kedokteran,” ungkapnya.

Pihak rumah sakit pun dikatakannya tidak boleh menolak pasien yang datang ke rumah sakit. Apapun ceritanya, pasien harus segera ditangani. Jika berbicara pasien yang meninggal di meja operasi, Edison mengatakan tidak ada yang tahu kapan akan kehilangan nyawanya. Namun sekali lagi dirinya tak dapat berkomentar soal dugaan mal praktek yang terjadi di Mitra Sejati benar atau tidak. Sebab harus dibuktikan terlebih dahulu.

“Dugaan malpraktek itu merupakan presepsi awam. Jika dilihat dalam undang-undang praktek kedokteran ada ada dua majelis yang bisa melakukan penyelidikan. Pertama majelis kode etik kedokteran (MKEK). MKEK mendalami etik profesi kedokteran yang dilakukan dokter tersebut benar atau tidak. Etik profesi adalah kesepakatan bersama yang tergantung dalam SOP. Lalu ada majelis kehormatan disiplin kedokteran indonesia (MKDKI). MKDKI menentukan kesalahan prosedur, disiplin, dan pelanggaran hukum,” urainya.

“Jika melihat isi UU praktek kedokteran, MKDKI mestinya sudah ada di tiap provinsi. Untuk di Sumatera Utara, MKDKI belum ada. Padahal keberadaan MKDKI bisa menjadi tempat pengaduan masyarakat mengenai dugaan peyimpangan praktek kedokteran. Seperti yang tertuang dalam UU no 29 tahun 2004 mengenai praktek kedokteran. Seperti yang tertuang di pasal 66 ayat 1 yang menyatakan setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua majelis kehormatan disiplin kedokteran Indonesia,” paparnya.

“Seharusnya MKDKI mestinya harus ada di tiap provinsi. Tapi di Sumut belum ada. Jadi gunanya bisa untuk pengaduan masyarakat terhadap dugaan penyimpangan praktik kedokteran,” ungkapnya lagi.

Lanjutnya, di pasal 67 juga MKDKI pun berhak memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan displin dokter. Dijelaskan dalam pasal 68, apabila dalam pemeriksaann ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi. Organisasi profesi ini ada pada ikatan dokter indonesia (IDI).

“MKDKI itu penyidik independen. Jadi dia memeriksa berkas-berkas juga. Jadi di IDI ada persatuan profesi kedokteran masing-masing. Merekalah yang akan merekomendasikan,” tegasnya.(win)

Exit mobile version