Site icon SumutPos

Pertama di Sumatera Timur dan Hindia Belanda

Keberadaan Rumah Sakit Tembakau Deli (RSTD) memegang peran yang penting dalam perkembangan Kota Medan, tidak saja sebagai materi bangunan namun juga pada aspek sosial-budaya.

HIJAU: Suasana dan pemandangan yang berada di bagian dalam RSTD, belum lama ini.//TRIADI WIBOWO/SUMUT POS

Puput Julianti Damanik, Medan

Keberadaan bangunan bersejarah tidak lepas dari ikon atau karakteristik yang terbangun dalam proses perjalan waktu, ikon atau karakteristik tersebut memberi warna dalam ruang secara wilayah dan juga turut memberi aksen pada perjalanan panjang sejarah. RSTD satu diantaranya, menjadi ikon sejarah kesehatan.

Ibnu avena Matondang (29), mahasiswa Strata dua Antropologi Fisip USU sangat kecewa dengan ditutupnya RSTD, apalagi ia mendengar adanya informasi tentang akan ditutupnya RS tersebut. “Keberadaan bangunan bersejarah RSTD dilindungi oleh UU Nomor 11 tahun 2010,” katanya.

Sedikit ia menceritakan sekilas tentang RSTD yang dahulunya bernama Deli Maatschappaij. “Perusahaan Deli Maatschappaij adalah satu perusahaan yang berpusat di Rotterdam, bergerak dalam bidang penyediaan tembakau rokok yang telah berdiri di kota Medan sejak tahun 1869. Perusahaan ini memiliki jumlah pekerja yang banyak, baik kaum Eropa dan Nusantara. Untuk kebutuhan karyawannya, perusahaan membutuhkan suatu unit layanan kesehatan. Untuk itu, dibangunlah RS yang diberi nama Hospital Deli Maatschappaij di Kota Medan,” ujar direktur kreatif pada Micro Ethnography Research yang bergerak dalam anotasi dan dokumentasi kebudayaan ini.

Lanjutnya, RS Deli Maatschappaij memiliki beberapa RS yang ditujuhkan kepada masyarakat sekitar perkebunan tembakau, seperti RS Deli Maatschappaij di Putri Hijau, di Tanjung Selamat dan di Binjai. “Perhatian dari Deli Maatschappaij terhadap kesehatan yang ditujuhkan melalui pembangunan RS setidaknya telah dimulai sejak tahun 1885. Secara teknis, RS Maatschappaij memiliki sistem vernakular, bangunan yang mengikuti kondisi lingkungan,” katanya.

Untuk pendirinya, RS Maatschappaij diprakarsai oleh Mr Ingerman yang saat itu menjabat menjadi general manager perusahaan Deli Maatschappaij beserta rekannya dari perusahaan Dominee yakni MJ Broedners. “Mereka memprakarsai dibangunnya RS tersebut untuk digunakan oleh orang-orang dari pemerintahan Belanda dan pribumi. Itu hasil dari ide Mr Ingermann yang dituangkan kepada orang-orang Belanda yang pernah bekerja di Kota Medan,” katanya.

Saat itu, lanjutnya, Mr Ingerman ke Nederland dan membawa dana sebesar 15.000 Gulden, hasil dari sumbangan. “Dana itu selanjutnya dipergunakan untuk membuka ruang operasi. Namun, biaya tidak cukup dan diterima kembali sumbangan dana dari pemilik perkebunan Namu Terasi Fritz Meyer dari Zurich sebesar 10 gulden, ditambah sebidang tanah dan kemudian ada sumbangan-sumbangan lainnya dari masyarakat dan dari general manager perusahaan Deli Batavia,” katanya.

Rumah sakit, tambahnya, menjadi satu bukti atau simbol mulai timbulnya kesadaran terhadap kesehatan. “Pihak Belanda melihat sistem kesehatan tradisional memiliki kekurangan sebagai sarana penyembuhan yang berakibat pada penurunannya tingkat kemampuan pekerja yang diserang penyakit juga tidak tersedianya dokter bagi para buruh,” katanya.

Lanjut Avena, keberadaan dokter di Deli dimulai pada tahun 1871 ketika Deli Maatschappaij mendatangkan dokter dari Belanda. “Keberadaan RS ini juga merupakan titik balik dari segresi antara golongan Eropa dan Pribumi. Keberadaan pribumi saat ini sudah mulai diperhatikan. Meskipun hanya pada beberapa bentuk saja, seperi kesehatan, tempat tinggal dan upah,” katanya.

RS ini, katanya berubah nama dan beralih kepemilikan kepada perusahaan tembakau Nasional yakni PTPN II dan turut berubah nama menjadi Rumah Sakit Tembakau Deli.

Sementara itu, Sejarahwan sekaligus Kepala Pussis-Unimed Ichwan Azhari menyampaikan, pendapatan utama rumah sakit tersebut pada awalnya bersumber dari sumbangan dan kontribusi dari 39 perusahaan dibawah Deli Maatschapaij, serta klub-klub perkebunan yang berasal dari Jerman maupun Swiss.

Adapun kontribusi dimaksud adalah minimal  f 2,5 per bulan. Pihak rumah sakit memberikan keringanan kepada yang mendaftar dan keluarganya untuk memperoleh hak khusus yaitu setelah dirawat sebulan, tarifnya dikurangi sebesar 2 persen. “Pada tahun 1901, Tuan Schmid, yakni general manager Deli Batavia Maatschapaij menyumbang atas biaya sendiri satu sayap dari bangunan besar itu untuk pasien-pasien yang menderita penyakit parah,” katanya.
Pada masa awal, lanjutnya, sudah ada delapan ruangan dan lima orang perawat terlatih. Pimpinan rumah sakit dipegang oleh wanita, sekretaris dipegang oleh dokter praktik, seorang bendaharawan dan  suatu dewan yang terdiri dari 5 orang anggota. “RSTD adalah RS pertama di Sumatera Timur dan di Hindia Belanda,” katanya.

Menambahkan, HM Yusuf Sembiring, pensiunan PTPN II sekaligus ketua Aliansi Gerakan Penyelamatan RSTD ini mengatakan bahwa RS Maatschapaij mulai dinasionalisasikan pada tahun 1957.

“Pada saat itu, tahun 1957, melalui surat keputusan penguasa Militer atau Panglima T&T-I/ Bukit Barisan selaku penguasa Militer, Letkol Djamin Gintings, memutuskan untuk mengambil oper wewenang pada semua macam perusahaan-perusahaan Belanda. Tepat 1957, RS ini menjadi milik masyarakat dan kemudian dikelolah okeh PTPN II. Saya langsung bergambung kedalamnya. Tahun 1957 saya sudah disini, jadi saya tahu bagaimana ini bisa dinasionalisasikan. Dahulu kita rebut mati-matian, masak sekarang mau dikasih lagi sama orang asing,” ujarnya. (bersambung)

Exit mobile version