Site icon SumutPos

Dilantik Soekarno di Banda Aceh, Merangkap Ketua DPR Sumut

Sejarah Gubsu Pertama Sumut Mr SM Amin (1947-1949)  

Mr SM Amin, Gubernur Sumatera Utara Pertama

Pada era RIS, identitas Sumatera Utara hilang karena wilayahnya masuk dalam Negara Sumatera Timur. Pada 15 Agustus 1950, pascakembalinya RI dari bentuk RIS ke NKRI, provinsi Sumut kembali terbentuk dengan wilayah mencakup tiga keresidenan, yakni Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli dengan Medan sebagai ibukota. Gubernur definitif pertamanya adalah A. Hakim yang pada 1953 digantikan Mr S.M. Amin.

SEJARAH mencatat Mr SM Amin sebagai Gubsu pertama sejak 14 April 1947 dengan jabatan sebelumnya Gubernur Muda Sumatera Utara. Pada 19 Juni 1948 dia dilantik Presiden Soekarno sebagai gubernur definitif berdasarkan UU No. 10 Tahun 1948. Uniknya dalam era ini, SM Amin merangkap sebagai eksekutif sekaligus legislatif. Ia pula ditetapkan selaku Ketua DPR Provsu, namun dengan catatan tidak memiliki hak suara.

Dalam UU 10/1948 tentang ‘’Pemerintahan Sumatra’’ yang ditetapkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang awalnya dibentuk sebagai badan pembantu Presiden. Dalam UU itu dijelaskan, berhubung luasnya Sumatra perlu dibagi menjadi tiga provinsi, yakni Sumatra Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan.

Khusus Provinsi Sumatra Utara kelak membawahi tiga keresidenan, yakni Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatra Timur, dan Keresidenan Tapanuli. Dalam buku ‘’Penyelenggaraan Pemerintahan di Provinsi Sumatera Utara’’ (1991) dituliskan, meskipun  UU Pembentukan Provinsi Sumut baru ditetapkan pada 15 April 1948, namun setahun sebelumnya Pemerintah Pusat sudah mempersiapkan gubernur muda sebagai pemimpin pemerintahan pertama.
Maka, dalam buku ‘’Mr SM. Amin: Perjalanan Hidupku Selama Sepuluh Windu’ (1987) ditorehkan nama Mr SM Amin sebagai Gubsu pertama. SM Amin saat itu merangkap dua jabatan strategis yakni Kepala Jabatan Kehakiman Daerah Aceh dan akil Ketua Dewan Perwakilan Keresidenan Aceh. Sebagai pemimpin pertama di provinsi baru ini SM Amin dilantik oleh Presiden Soekarno pada 15 Juli 1948 di Banda Aceh.

Ada kisah kecil kenapa pelantikan itu dilakukan di Banda Aceh. Ketika itu Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumut sepenuhnya diduduki oleh Belanda. Itu pula alasan SM Amin sempat memindahkan ibukota Provinsi Sumut ke Pematang Siantar. Begitu kota yang berjarak 130 kilomrter dari Medan ini uga diduduki Belanda pada agresi II, SM Amin memindahkan roda pemerintahan di Kutaraja (sebutan awal Banda Aceh). Itulah yang membuat Presiden Sukarno melantik SM Amin sebagai Gubernur Sumut pertama di Banda Aceh.

Selang lima bulan dilantik sebagai gubernur, SM Amin melantik DPR Sumatera Utara dalam sidang paripurna di Tapak Tuan yang berlangsung dari 13-16 Desember 1948. Lantas, timbul pertanyaan kenapa begitu cepat SM Amin bisa melantik para anggota Dewan (DPR) Provinsi Sumut? Apakah tidak didahului proses politik yang panjang agar ada pembagian proporsional diantara faksi-faksi yang ada saat itu?

Mengutip artikel sejarawan dan wartawan Muhammad TWH (2010), dituliskan, SM Amin mengadopsi strategi Gubernur Sumatera Mr. Teuku Moehd Hasan. Setelah Provinsi Sumatera ‘dimekarkan’ menjadi tiga provinsi dan dilantiknya Gubernur Muda untuk masing-masing provinsi, Gubernur Muda mempersiapkan perangkat pemerintahan daerah, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat, juga perangkat-perangkat daerah lainnya.

Akibat agresi Belanda bisa dibayangkan betaap sulitnya tugas yang diemban Mr SM Amin ketika itu. Berkonsultasi dengan partai-partai politik untuk menyusun keanggotaan DPR Provinsi Sumut juga bukan perkara enteng. Posisi ibukota di Banda Aceh membuat hubungan ke Residenan di Tapanuli sangat susah, demikian juga hubungan ke Sumatera Timur. Kesulitan ini dapat dilihat, ketika anggota Dewan dari Tapanuli, dan dari Sumatera Timur dipanggil untuk dilantik dan bersidang di Tapak Tuan.

Mereka yang datang dari Tapanuli harus menempuh perjalanan laut dengan menggunakan motor boa, padahal di laut terus menerus kapal perang Belanda melakukan patroli. Bila ada boat ke luar dari daerah pasti akan diberondong dengan senjata otomatis. Demikian pula anggota Dewan dari Sumatera Timur agar sampai di Tapak Tuan harus menempuh hutan belantara. Anggota DPR Provinsi Sumatera Utara periode awal ini tercatat 45 orang, namun yang bisa menghadiri pelantikan, sekaligus sidang pertama  itu, berjumlah 29 orang saja. Mr SM Amin termasuk sosok fenomenal dalam dunia politik Indoensdia pada masa itu.

Berdarah Batak Mandailing, SM Amin yang lahir dan besar di Tanjung Pinang, sebuah kota tua di pinggir laut di Kepulauan Riau, dia tadinya diharapkan menjadi dokter oleh ayahnya. Akan tetapi, cita-cita prestius itu kandas di tengah jalan lantaran dirinya tak betah melanjutkan pendidikan di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) pada 1913.

STOVIA merupakan sekolah dokter yang diperuntukkan untuk semua ras walaupun semula hanya diperuntukkan pada golongan pribumi. SM Amin tak tahan melihat gaya pendidikan di internaat (asrama) yang penuh dengan penindasan. Dia amat  menentang segala praktik penindasan yang merendahkan hak asasi manusia, sekaligus membenci penjajahan dalam bentuk apapun. Setelah keluar dari STOVIA pada tingkat dua, SM Amin menyadari kekeliruan dan cara berpikirnya yang terlampau emosional.

‘’Padahal dengan menjadi dokter, saya bisa mengabdikan diari kepada bangsa dan negara,’’ katanya. Amin sempat tinggal bersama G.A.Tambunan, seorang penilik kesehatan di Batavia yang tinggal di kawasan Senen. Dia sempat mengisi waktunya dengan bekerja di salah satu firma di daerah itu sebelum memutuskan melanjutkan kembali pendidikan di sekolah hukum dan meraih gelar ‘Mr’ atau Meester in de Rechten.

Dari sini awal SM Amin berkecimpung di dunia birokrasi pada masa-masa awal pemerintahan, yang membawa langkahnya menjadi Gubsu pertama. Biografi lengkap tentang dirinya sudah pula dibukukan oleh Sejarawan Unimed DR. Phil. Ichwan Azhari, MS dengan judul ‘’SM. Amin: Riwayat Hidup & Perjuangannya’’.   (valdesz)

Exit mobile version