Site icon SumutPos

Keluarga Anak Korban Malpraktik RS Colombia Datangi DPRD

Foto: Andika Syahputra/Sumut Pos Brilian Moktar (kanan) menunjukkan bekas operasi pengangkatan kain kassa dari perut Ferdinan di Fraksi PDIP, Selasa (27/9).
Foto: Andika Syahputra/Sumut Pos
Brilian Moktar (kanan) menunjukkan bekas operasi pengangkatan kain kassa dari perut Ferdinan di Fraksi PDIP, Selasa (27/9).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Korban dugaan malapraktik di RS Colombia Asia mengadukan nasibnya ke Fraksi PDIP DPRD Sumut, Selasa (27/9). Mereka menilai belum ada kemajuan dari kasus tersebut, meski sudah ditangani oleh pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu).

Kuasa Hukum Korban dari LSM Lembaga Cegah Kedalam Indonesia (LCKI) Sumut, P Sihotang menuturkan, pihak RS Siloam tempat dilakukannya operasi pengambilan kain kassa di perut Ferdinand (1 tahun) yang menjadi korban malpraktik di RS Colombia Asia, sudah pernah dipanggil penyidik Dirkrimsus Poldasu.

“Mulai dari dokter, perawat yang melakukan operasi pengangkatan kain kassa, sudah dipanggil untuk diminta keterangan. Rekam medik dari korban juga sudah disita. Anehnya dari pihak RS Colombia Asia yang merupakan tempat operasi, belum pernah dipanggil penyidik,” katanya bersama nenek korban Ango, saat bertanya ke Anggota DPRD Sumut Fraksi PDIP Brilian Moktar.

Kepada Brilian, P Sihotang meminta agar kasus ini dibawa dan diproses oleh DPRD Sumut, serta meminta para legislator itu memanggil pihak terkait, termasuk mempertanyakan perkembangan penyidikan di Poldasu. “Kemarin kami dapat informasi, dr Mahyono yang melakukan operasi di RS Colombia Asia akan dijadikan tersangka. Tiba-tiba mengambang, makanya kami datang ke dewan untuk meminta dukungan,” katanya.

Anton Paijan, kuasa hukum lainnya, menambahkan, pihaknya sudah diberikan kuasa oleh Joe ayah Ferdinan, yang menjadi korban dugaan malapraktik di RS Colombia Asia. Bahkan, pihak keluarga juga sudah meneceritakan kronologis kejadian yang sesungguhnya. Setelah itu, pihaknya memutuskan untuk melakukan pendampingan terhadap korban. “Kuasa hukum juga sudah melayangkan somasi ke RS Colombia Asia sebanyak dua kali, namun tidak ada tanggapan. Sampai akhirnya kami putuskan untuk melaporkan kejadian ini ke Poldasu pada 7 Agustus 2016 lalu,” beber Anton.

Anton mengatakan, keluarga korban merupakan warga kurang mampu. Sehingga, kesulitan mencari uang atau biaya untuk operasi. Secara keseluruhan sudah lebih dari Rp500 juta uang yang dikeluarkan untuk beberapa kali operasi. “Pihak RS Columbia Asia memang sudah mengajak ketemu, namun masih secara lisan. Rencananya besok (hari ini, red) pertemuannya. Kami tidak mau hadir, karena tidak disampaikan melalui surat resmi,” katanya.

Anton juga berharap Fraksi PDIP DPRD Sumut mau turut serta membantu dan mengawal kasus ini. “Cara apapun akan kami tempuh untuk mencari kebenaran,” ungkapnya.

Ango, nenek Ferdinand, meneceritakan bagaimana perlakuan pihak rumah sakit kepada keluarganya. Awalnya, cucunya itu diagnosis mengalami infeksi di usus sampai dilakukan operasi. Setelah dioperasi, kondisi cucunya bukan malah membaik namun sebaliknya. “Ternyata ada kain kassa yang tertinggal saat dilakukan operasi, akibatnya Ferdinan selalu memuntahkan apa yang dimakannya,” katanya.

“Setelah di-rontgen barulah terlihat kondisi yang sebenarnya, ada kain kassa yang tertinggal di dalam perut. Akibatnya ada pembusukan usus, akhirnya usus busuk sepanjang 50 cm harus diangkat,” imbuhnya.

Anggota DPRD Sumut Fraksi PDIP, Brilian Moktar meyayangkan terjadinya insiden tersebut. Menurutnya, pihak RS Columbia Asia harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami korban. “Sudah lebih dari Rp500 juta biaya yang dikeluarkan, keluarga korban itu orang kurang mampu, untung ada Rotari, lembaga sosial yang memberikan bantuan,” ungkapnya.

Brilian memberikan waktu satu bulan kepada pihak rumah sakit untuk berdamai dengan keluarga korban. Jika tidak, ia berjanji akan membawa kasus ini ke tingkat komisi. “Komisi E Bidang Kesehatan dan Komisi A Bidang Pemerintahan, akan bergabung melakukan pemanggilan kepada pihak rumah sakit, tapi jalan kekeluargaan tetap diutamakan,” bilangnya.

Meski begitu, ia pun berharap pihak Poldasu untuk tetap profesional dalam menjelaskan tugasnya. “Proses hukum harus tetap berjalan, agar ada pelajaran dari kasus ini, sehingga kejadian serupa tidak terulang kembali di masa yang akan datang,” tegasnya.

Sementara Kepala Bidang Humas Polda Sumut, Kombes Pol Rina Sari Ginting menyatakan, sejauh ini penyidik baru memeriksa 7 saksi atas kasus tersebut. Dari ketujuhnya, seorang di antaranya adalah dr Mahyono, yang merupakan tim ahli bedah di RS Colombia Asia.

Selain itu, juga turut diperiksa dokter dari RS Siloam dan 5 perawat. Begitupun, dari semua saksi yang diperiksa dalam kasus ini, penyidik belum ada menetapkan tersangka.

Sebab, penyidik belum memeriksa saksi ahli dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). “Masih tujuh saksi yang diperiksa. Saksi ahli belum diperiksa sehingga kasus itu belum bisa ditingkatkan,” bebernya, Selasa (27/9).

Rina melanjutkan, menetapkan tersangka dalam suatu perkara itu tidak mudah. Perlu meminta keterangan saksi ahli. Kemudian, penyidik juga harus melakukan gelar untuk menentukan arah penyelidikan, apakah dilanjutkan atau tidak. “Tahapan-tahapan penetapan tersangka itu ada. Setelah keterangan saksi ahli, penyidik baru melakukan, gelar perkara. Setelah itu, baru status terlapor ditentukan. Apakah jadi tersangka atau tidak,” kata mantan Kapolres Binjai ini.

Lebih jauh, Rina juga bilang, pihaknya masih mengumpulkan alat bukti. “Alat bukti sedang dikumpulkan. Bersabar ya,” tambahnya.

Disinggung mengenai adanya indikasi penyidik berupaya mengendapkan kasus dugaan malapraktik, sehingga berusaha mengunci informasi rapat-rapat guna tidak diketahui ke publik, Rina membantah jika kasus sengaja diendapkan. (dik/ted/saz)

Exit mobile version