Site icon SumutPos

Jaksa Terjebak Hasil Audit BPKP yang Tidak Cermat

Kasus BNI SKM Medan

MEDAN- Jaksa Penuntut Umum dalam kasus jaminan kredit tidak terpasang di Bank BNI Sentra Kecil Menengah Medan, yang mendudukkan tiga pejabat BNI di depan meja hijau, dinilai terjebak hasil audit BPKP Sumut yang tidak cermat. Pasalnya, dalam surat dakwaan disebutkan, kerugian negara mencapai Rp117,5 miliar. Padahal nilai jaminan terpasang dalam kasus tersebut ada Rp60 miliar lebih.

TIBA: Jamaah haji Kloter 19 Debarkasi Polonia saat tiba di Medan, kemarin. Musim haji 2012 tercatat ada 23 jamaah asal Sumut yang meninggal di Tanah Suci.//triadi Wibowo/sumut pos

“Dari Rp117,5 miliar pinjaman PT PT Bahari Dwi Kencana Lestari (PT BDL) ke BNI SKM Medan yang sudah dicairkan, ada sejumlah jaminan pokok yang diberikan. Antara lain Jaminan.

Hak Tanggungan atas tanah; fidusia atas benda-benda bergerak; corporate guarantee; personal guarantee.  Jaminan HT SHGB 02 dan fidusia yang sudah terpasang, mengcover jumlah hutang hingga Rp69M,” kata kuasa hukum ketiga terdakwa, Baso Fakhruddin, di Medan, Selasa (27/11).

Baso pun menuturkan kronologis proses kredit yang menjadi materi gugatan tersebut. Kasus tersebut bermula dari kredit macet PT Atakana Company Group —debitur Bank BNI SKM Medan sejak tahun 1996—, dengan jaminan kredit berupa kebun seluas 3.445 hektare, sebagaimana tersebut dalam Sertifikat Hak Guna Usaha N0. 102 yang terletak di Desa Berandang Kecamatan Rantau Peurelak Kabupaten Aceh Timur (berlaku tanggal 18 Juni 1996 hingga 17 Juni 2026).

Kredit pinjaman PT Atakana tersebut mulai mengalami kemacetan pada Juni 2010.

Karena macet, Bank BNI SKM Medan berupaya mengeksekusi jaminan, dengan melelang agunan berupa kebun seluas 3.445 hektare tersebut, guna pelunasan atas kredit PT Atakana Group tersebut.

Namun PT Atakana berkeberatan dengan upaya lelang tersebut, dan memohon agar agunan SHGU No. 102 dapat dijual di bawah tangan. Alasannya, PT Atakana memiliki calon pembeli.

Bank BNI SKM Medan menyetujui permintaan PT Atakana dan memberikan batas waktu hingga Desember 2010 untuk melunasi kredit sebesar Rp60 miliar.

Selanjutnya, PT Atakana menggelar RUPS, dan sepakat menjual dan/atau melepaskan hak atas tanah dalam SHGU No. 102, kepada Boy Hermansyah, sekaligus untuk menyelesaikan pinjaman/hutang dan seluruh kewajiban PT Atakana kepada Bank BNI SKM Medan, serta mengambil dan menerima dokumen-dokumen asli SHGU No. 102.

Setelah proses jual beli beres, pada 8 November 2010, Boy Hermansyah atas nama PT BDL mengajukan surat Permohonan Kredit kepada Bank BNI SKM Medan, dengan total plafon sebesar Rp133 mliar. Pinjaman untuk 3 kategori, yakni take over fasilitas Kredit Modal Kerja di Bank Mandiri sebesar Rp23 miliar, refinancing PKS kapasitas 60 ton/jam sebesar Rp20 miliar, dan pembelian dan rehabilitasi kebun PT Atakana sebesar Rp90 miliar.

Sebagai jaminan, pemilik PT BDL, Boy Hermansyah, menyediakan Company Guarantee, Personal Guarantee, tanah dan bangunan yang diikat dengan hak tanggungan, mesin, persediaan (stok), alat berat, dan lain- lain yang diikat dengan jaminan fidusia milik PT BDL, termasuk kebun dengan HGU 102 di Desa Berandang Kecamatan Rantau Peurelak Kabupaten Aceh Timur (masih tercatat atas nama PT Atakana, meski telah ada sertifikat jual beli dari PT Atakana kepada Boy Hermansyah).

Lewat survey BNI atas jaminan kredit berupa PKS di lahan SHGB dan telah memiliki IMB; SHGB No. 02/Desa Kebun Rantau seluas 199.998 M2 atas nama PT BDL, SHGU No. 102 atas nama PT Atakana Group berupa tanah perkebunan sawit, dan sejumlah jaminan lainnya, BNI menyetujui mengabulkan pinjaman Rp 129 miliar. Dari jumlah itu, yang dicairkan baru Rp117,5 miliar.

Perjanjian Kredit antara Bank BNI dan PT BDL inilah yang akhirnya mendudukkan tiga pejabat BNI ke depan meja hijau. Di mana, salah satu dari empat pemilik saham lama PT Atakana, yakni Muhammad Aka selaku Direktur Utama, secara sepihak (tanpa persetujuan pemegang saham yang lain), mencabut kuasa yang diberikan kepada Boy Hermansyah sebagaimana keputusan RUPS.

Tidak hanya itu, Aka juga mengajukan pemblokiran atas SHGU No. 102 ke kantor Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya Aka menggugat Boy Hermansyah ke Poldasu dan Kejatisu, dengan tuduhan penggelapan dokumen pemilikan kebun PT Atakana, sebagai jaminan pinjaman ke BNI SKM Medan.

Padahal, PT BDL memiliki akta Perjanjian Jual Beli No. 29 yang dibuat oleh Lila Meutia, S.H. Notaris di Medan atas kebun dimaksud, hanya saja belum dibalik nama.

Pencabutan kuasa oleh Aka sendiri ditanggapi para pemegang saham PT Atakana lainnya, yaitu Drs. M. Yusuf A.R MM, Sardul Singh, H. Abdul Wahab Yahya, dengan membuat pengumuman di surat kabar Tribun Medan tertanggal 19 Maret 2011, yang isinya antara lain:

Bahwa berdasarkan Berita Acara rapat umum Pemegang Saham Luar Biasa PT ATAKANA COMPANY No. 3 pada hari selasa tanggal 16 November 2010 dihadapan Notaris Diana Uli Siburian, S.H, memutuskan memberi persetujuan dan kekuasaan penuh kepada pihak ketiga untuk bertindak dan berkuasa penuh untuk membantu mengatasi Pinjaman/tunggakan hutang dan seluruh kewajiban PT ATAKANA COMPANY kepada Bank Negara Indonesia (BNI);
Bahwa Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa memberikan izin bertindak dan berkuasa sepenuhnya menjual aset perusahaan yaitu sebidang tanah Sertifikat Hak Guna Usaha No. 102 seluas 3455 hektar yang terletak di Provinsi daerah Istimewa Aceh Kabupaten Aceh Timur Kecamatan Rantau Peureulak Desa Berandang atas nama PT ATAKANA COMPANY kepada siapapun termasuk pihak ketiga;

Bahwa para Pemegang Saham dalam Rapat Pemegang Saham Luar Biasa telah dilaksanakan yaitu aset dari HGU No. 102 atas nama PT ATAKANA COMPANY telah dipindahtangankan kepada pihak ketiga atas dasar Persetujuan oleh para Pemegang Saham;

Bahwa tindakan yang dilakukan saudara Direktur Utama/Pemegang Saham yang mencabut kuasa tersebut adalah perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sepihak tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham hal mana aset HGU No. 102 atas nama PT ATAKANA COMPANY telah dialihkan atau dipindahtangankan kepada pihak ketiga melalui prosedur dan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Namun, M. Aka melaporkan PT BDL ke Polda NAD dan Polda Sumut sehingga Polda NAD menyita fisik SHGU No.102 dan dititip rawatkan kepada M.Aka/PT Atakana.

Tindakan Polda NAD yang menyita fisik SHGU No. 102 dan menitip-rawatkan kepada Aka itu menjadi ironis. Karena Aka sudah menikmati hasil penjualan kebun sawit tersebut, akan tetapi justru dia diberi hak kelola oleh Polda. Hal yang tidak lazim dalam pengelolaan barang sitaan.

Dan atas laporan M.Aka, Polda Sumut menyita sertipikat HGU No.102 dan dititipkan kepada BNI. Selanjutnya, M. Aka melaporkan BNI ke Kejati Sumut atas dugaan penyimpangan proses pemberian kredit BNI kepada PT.BDL.

“Penyitaan sertifikat HGU no 102 inilah yang membuat pinjaman PT BDL ke BNI seolah-olah diberikan tanpa jaminan terpasang,” cetusnya.
Hal lainnya, kata Baso lagi, BPKP Sumut juga tidak memeriksa putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh, yang menyatakan bahwa BNI berhak mendapatkan penjaminan atas utang-utang PT BDL berupa HGU 102 seluas 3.445 hektare di Desa berandang Aceh Timur.

“Di sini, jaksa menjadi terjebak dengan hasil audit BPKP yang tidak cermat atas kasus yang sebenarnya murni perdata tersebut,” katanya.
Adapun ketiga pejabat BNI Medan yang menjadi terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, yakni Radiyasto selaku Pimpinan Sentra Kredit Menengah BNI Pemuda Medan, Darul Azli selaku pimpinan Kelompok Pemasaran Bisnis BNI Pemuda Medan, dan Titin Indriani selaku Relationship BNI SKM Medan. Ketiganya ditetapkan sebagai tahanan kota sejak beberapa waktu lalu. (me/far)

Exit mobile version