Site icon SumutPos

Ombusdman: Anggaran UN Cenderung Mubazir

Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Abyadi Siregar SSos, kepala perwakilan Ombusman Sumatera Utara, menunjukan barang bukti bocoran jawaban soal ujian nasional di Kantor perwakilan Sumut Medan, Senin (4/5). Bocoran jawaban ini berhasil tim ombusman temukan di SMPN 1 Medan.
Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Abyadi Siregar SSos, kepala perwakilan Ombusman Sumatera Utara, menunjukan barang bukti bocoran jawaban soal ujian nasional di Kantor perwakilan Sumut Medan, Senin (4/5). Bocoran jawaban ini berhasil tim ombusman temukan di SMPN 1 Medan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Ombudsman Perwakilan Sumut, Abyadi Siregar menilai, rencana moratorium Ujian Nasional (UN) ini sudah selayaknya dilakukan. Pasalnya, anggaran yang dibebankan tiap tahun dalam Anggaran Pendapat Belanja Negara (APBN) untuk UN cenderung mubazir, belum lagi penyelenggara di lapangan banyak yang berbuat curang.

“Dari aspek anggaran, penyelenggaraan UN membebani APBN kurang lebih sampai Rp500 miliar per tahun. Ini angka yang cukup fantastis, mengingat jika UN dijadikan penentu kelulusan, maka bila dipersentasikan hanya 30 persen kualitas peserta didik yang di atas standar, selebihnya di bawah rata-rata,” ungkapnya.

Namun begitu, ia berharap, pascamoratorium UN, jangan sampai timbul masalah baru. Artinya pemerintah tetap mengawasi sistem kelulusan siswa mulai dari SD, SMP, dan SMA, biarpun sudah diserahkan ke masing-masing provinsi. “Tentunya dengan membuat teknis kebijakan yang mumpuni, sehingga siswa yang benar-benar lulus punya kualitas. Kebijakan yang dibuat harus benar-benar untuk memperbaiki kualitas pendidikan,” jelas Abyadi.

Pada dasarnya, Abyadi mengaku, tidak secara mutlak tak mendukung pelaksanaan UN. Menurutnya, program itu bisa berjalan bila kualitas guru serta sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia standarnya sudah merata.

Sudah menjadi rahasia umum, pelaksanaan UN banyak ditemui kecurangan. Bocornya kunci jawaban, dan petugas pengawas UN yang bisa dibilang tutup mata terhadap kecurangan, menjadi alasan kuat untuk menyebut UN itu program gagal. “Tentunya sebagai lembaga yang diamantkan undang-undang untuk mengawasi kinerja penyelenggara negara, pascamoratorium kami akan tetap mengawasi proses kelulusan peserta didik. Saya harap tidak ada masalah baru yang muncul setelahnya,” harap Abyadi.

Sementara Anggota Komisi B DPRD Medan Irsal Fikri, menyambut positif usulan Mendikbud memoratorium UN. Namun ia memberi catatan atas usulan yang diketahui sudah mendapat restu Presiden Joko Widodo tersebut. “Menurut hemat saya, kebijakan ini ibarat dua mata pisau. Pertama adanya usulan penghapusan UN ini mungkin memberikan angin segar kepada siswa. Tapi sisi lainnya justru memberi kerugian bagi guru,” katanya.

Pandangan itu ia kuatkan dengan argumentasi, sisi keuntungan dari penghapusan UN, sebab siswa merasa UN merupakan momok menakutkan dari seluruh proses pembelajaran. Sementara sisi negatifnya, menurut Irsal, guru tidak bisa melihat hasil kerjanya melalui metode pelajaran yang ia terapkan kepada siswa.

“Pertama mereka (siswa) tidak perlu lagi dihantui dengan kondisi dan situasi yang namanya UN. Jadi siswa diberikan sebuah kebebasan terkait kebijakan ini. Satu sisi lainnya justru menjadi polemik. Karena bagi guru UN adalah tahapan akhir. Sebab secara psikologis, guru ingin melihat kematangan siswanya dalam menyerap ilmu pengetahuan,” jelasnya.

Meski demikian, diakui politisi PPP ini, setiap kebijakan akan ada plus dan minusnya. Dan pemerintah dalam hal ini, katanya, sudah mempertimbangkan kebijakan ini secara matang. “DPRD Medan melihat kebijakan ini sebuah revolusi dalam dunia pendidikan. Kenapa? Karena, dapat memutus mata rantai ‘permainan’, seperti jual beli kunci jawaban. Setidaknya joki-joki lembar jawaban itu bisa terkikis karena kebijakan ini,” beber Irsal.

Pihaknya berharap, sistem tersebut jangan dianggap sebagai sebuah uji coba semata, tapi sistem ini akan dianut dalam waktu lama. Apalagi kebijakan penghapusan UN ini sebenarnya bukan hal baru, sebab sebelum penerapannya dahulu, penyelenggara pendidikan memakai sistem ujian semester untuk menentukan kelulusan siswa. “Kepada dinas pendidikan, kami berharap segera mempersiapkan SDM guru yang mumpuni guna penerapan sistem ini. Guru-guru harus dibekali ilmu yang up to date. Kemudian Kurikulum 2013 (K13) harus ditingkatkan lagi. Karena belum semua guru memahami tahapan mengajar memakai K13 tersebut,” jelas Irsal.

Pada kesempatan itu, Irsal juga mengungkapkan, sejak kebijakan ini dipublikasi media massa, ia menanyakan tanggapan kepada guru dan siswa. Pada prinsipnya guru menyambut baik atas usulan Mendikbud tersebut. “Saya tanyakan kepada para guru di sekolah saya, mereka mengaku bersyukur atas usulan ini. Begitupun siswa sangat senang dengan kebijakan tersebut,” jelasnya.

Sementara Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyambut baik hasil kajian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), terkait penyelenggaraan UN. Setelah mengikuti puncak Hari Guru Nasional (HGN) 2016 dan HUT ke-71 PGRI di Bogor, Jokowi menyebut kepastian UN tahun depan ditetapkan di rapat kabinet terbatas pekan ini.

Jokowi memberikan penjelasan soal UN itu, didampingi Mendikbud Muhadjir Effendy, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin, dan Plt Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi. “Insyallah pekan depan (pekan ini, red) sudah ada keputusan terkait penyelenggaraan UN,” jelasnya.

Dalam paparan kemarin, Jokowi tidak menyebut istilah penghentian, penghapusan, ataupun moratorium. Ia lebih memilih menggunakan istilah UN akan didesentralisasikan ke daerah-daerah. Jokowi menjelaskan, keputusan desentralisasi UN harus dibawa dulu ke rapat kabinet terbatas (Ratas). Ia berharap, masyarakat bersabar menunggu putusan resmi dari pemerintah.

Mendikbud, Muhadjir Effendy mengatakan, dalam desentralisasi UN nantinya, tidak serta merta seluruh persoalan diserahkan ke daerah. Ia mengatakan, tetap ada standar nasional yang harus dipenuhi masing-masing penyelenggara. Urusan standar nasional ini ditetapkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Muhadjir menjelaskan, desentralisasi UN terkait dengan kewenangan pengelolaan pendidikan sesuai jenjang. Yakni untuk pendidikan dasar (SD dan SMP) ada di tangan pemerintah kabupaten dan kota. Sedangkan jenjang pendidikan menengah (SMA dan SMK) ditangani pemerintah provinsi.

Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu, mengatakan, draft hasil kajian Kemendikbud soal UN sudah disampaikan ke Presiden. Saat Ratas nanti, Muhadjir akan menyampaikan dampak positif dan negatif moratorium UN. “Stres itu hanya dampak sampingan UN saja,” jelasnya.

Bupati Kutai Kartanegara, Rita Widyasari yang hadir di puncak HGN 2016 dan HUT ke-71 PGRI, mendukung rencana pemerintah penghentikan UN. “Di dalam UN, anak hanya dinilai satu aspek saja. Sebenarnya tidak boleh seperti itu. Harus menyeluruh,” tuturnya.

Ia juga mengakui, setiap menjelang UN, siswa dan orang tua dibuat gugup, cemas, dan banyak berpikir. Termasuk juga para siswa mati-matian memperbanyak porsi bimbingan belajar (bimbel). Ketika nanti UN dipasrahkan ke daerah, Rita mengatakan, ujian akhir harus membuat siswa rileks dan tetap menjaga kejujuran.

Plt Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi, juga memberikan dukungan terhadap kebijakan penghapusan sementara UN. Ia mengatakan, anggaran UN yang mencapai Rp500 miliar, bisa dialihkan untuk kegiatan yang penting. Seperti renovasi sekolah rusak dan peningkatan kompetensi guru.

Meskipun nantinya UN dipasrahkan ke daerah, Unfah berharap, tetap ada panduan atau acuan dari pemerintah pusat. Sehingga setiap daerah tidak sembarangan dalam membuat soal ujian untuk siswanya. (ris/mag-1/prn/wan/jpg/saz)

Exit mobile version