Site icon SumutPos

Merenungi Dosa dalam Hening, sekaligus Memulai Hidup Baru

Seluruh umat Hindu di seluruh Indonesia mengheningkan diri sepanjang Selasa (28/3). Suasana hening pun begitu sangat terasa di Kampung Bali, Desa Paya Tusam, Kecamatan Sei Wampu, Kabupaten Langkat, pada Hari Raya Nyepi, Selasa (28/3/2017).

Foto: Bambang/Sumut Pos
Suasana Nyepi di Kampung Bali, Langkat, Sumut.KAMPUNG Bali ini letaknya sekitar 30 km dari Kota Binjai. Saat mengunjungi perkampungan yang berdiri sejak 1970 ini, wartawan Sumut Pos merasa seperti sedang berada di Pulau Bali. Di pintu masuk kampung ini, ada dua gapura dengan ukirannya khas Bali. Bunga-bunga bekas sembahyang umat Hindu Bali pun terlihat di depan gapura.

Berjarak sekitar 100 meter dari gapura, Sumut Pos baru menemukan rumah penduduk. Namun, tidak terlihat aktivitas warga. Yang terdengar hanya suara hewan peliharan seperti ayam dan suara burung liar.

Karena suasana sangat sepi, sejenak Sumut Pos berjalan mengitari perkampungan itu untuk mencari seseorang agar dapat memandu. Nasib baik, setelah beberapa menit berjalan, tanpa sengaja bertemu dengan seorang pemuda bernama Ketut Budiman. Dia baru saja keluar dari rumahnya.

Saat disapa, pemuda itu menyambut dengan ramah, seakan sudah berkenalan lama. Bahkan, pemuda itu bersedia untuk menemani Sumut Pos berkeliling kampung yang dihuni sekira 40-an kepala keluarga (KK), dengan jumlah penduduk ditaksir mencapai 160 jiwa. Sambil berjalan kaki, perbincangan pun mengalir.

Ketut sempat menjelaskan terkait rutinitas warga di Kampung Bali saat Hari Raya Nyepi. Menurutnya, mereka sudah melakukan ritual atau sembayang untuk menyambut Nyepi. Ketika melakukan sembayang, mereka keluar rumah dan berkumpul di pura.

“Sembayang menggunakan sesajen itu dilakukan untuk meminta kepada Tuhan agar umat Hindu dijauhkan dari bencana. Ritual ini, tetap berlangsung esok harinya, itu dilakukan secara pribadi di depan rumah,” ujar Ketut.

Selain itu, setelah sembayang, umat Hindu Bali tetap melanjutkan ibadah dengan berpuasa. “Puasa yang dilakukan sebagai wujud syukur umat kepada Tuhan. Puasa tersebut dilakukan sejak pukul 18.00 WIB hingga esok harinya pukul 18.00 WIB. Adapula yang berpuasa sejak pukul 24.00 hingga esok harinya Pukul 24.00 WIB, yang jelas berpuasa selama 24 jam penuh,” jelas Ketut.

Maka dari itu, kata Ketut, setelah Nyepi tiba, suasana juga ikut sepi. Karena, umat Hindu juga menghentikan segala aktivitas dengan berdiam diri di dalam rumah untuk merenungi segala hidup sembari berdoa agar diberikan rezeki dan kesehatan. “Berpuasa itu diwajibkan bagi semua umat Hindu, tak terkecuali bagi anak-anak di bawah usia 7 tahun,” ucapnya.

Setelah panjang lebar berbincang, kami tiba di pura kecil dan pura besar. Di sana juga tampak sesajen yang ditaruh di Padmasana atau tempat duduk Tuhan. Setelah melihat beberapa bekas ritual umat Hindu Bali itu, Ketut membawa Sumut Pos kembali keliling di wilayah Kampung Bali. Selama perjalanan, tampak di depan rumah warga bunga-bunga dan bercampur buah kelapa kuning.

Akhirnya, kami tiba di rumah Kepala Dusun, Nyoman Sumandro. Di sini, Sumut Pos kembali disambut hangat. Bahkan kepala Dusun sempat dijelaskan, terkait asal muasal Kampung Bali di Kabupaten Langkat.

Foto: Bambang/Sumut Pos
Suasana Nyepi di Kampung Bali, Langkat, Sumut.

Menurut Nyoman Sumandro, Kampung Bali pertama kali berdiri di Langkat sekitar tahun 1970. Ketika itu, Sebanyak 15 Kepala Keluarga (KK) dari Bali, dikontrak untuk mengelola sebuah kebun di daerah Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat.

“Kontrak itu dilakukan hanya selama 6 tahun. Ketika masa kontrak mulai berakhir, para orangtua kami berpikir mau tinggal di mana? Akhirnya, dicarilah lahan kosong yang disebut sebagai Tanah Negara Bebas (TNB). Sehingga, ditemukanlah tempat ini dan sekarang terus berkembang,” jelas Nyoman Sumandro.

Setelah kampung ini berkembang, sambungnya, jumlah penduduk juga semakin banyak. Sehingga, sebahagian penduduknya memilih untuk meninggalkan Kampung Bali tersebut. “Sekarang ini sudah ada lebih kurang 40-an KK, dengan jumlah penduduk ditaksir mencapai 160 jiwa. Kalau warga yang lain tidak berangkat dari kampung ini, saya rasa lebih banyak lagi,” ungkapnya.

“Mereka pergi karena areal pemukiman di sini dikhawatirkan tidak dapat menampung jumlah penduduk,” timpalnya, seraya menambahkan, warga yang pergi ada yang kembali ke Bali dan juga memilih ke Pekanbaru, Riau.

Kalau dulu, kenang Sumandro, Kampung Bali masih terlihat asri. “Dulu belum ada pura seperti saat ini. Orangtua kami sembahyang dengan pura yang dibuat dengan daun dedep yang dipancang dengan empat sudut. Semakin berkembangnya zaman, pada 1976 pura baru dibangun,” terangnya, seraya menambahkan, ketika raya Nyepi tiba, keluarga dari Kuta Bali sering datang berkunjung ke kampung mereka.

Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
Sejumlah umat Hindu mengarak ogoh-ogoh untuk pertama kalinya digelar di Pura Agung Raksa Bhuana Jalan Polonia Medan, Senin (27/3/2017). Pawai Ogoh-ogoh tersebut merupakan salah satu rangkaian ritual umat Hindu dalam menyambut Hari Raya Nyepi dan Tahun Baru Saka 1939.

Suasana Nyepi juga begitu terasa di rumah peribadatan Umat Hindu, Pura Agung Raksa Bhuana, Jalan Polonia Medan. Beberapa umat Hindu tampak berdiam diri di pura itu. Ketua Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah) Sumut, Satya Mohan menjelaskan sedikit soal arti ibadah Nyepi bagi mereka. Dia mengatakan, Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi.

Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menyucikan Bhuana Alit atau alam manusia dan Bhuana Agung atau alam semesta. “Seluruh umat Hindu di Indonesia, begitu juga di Medan merayakan perayaan nyepi dengan keadaan khusuk dan hening. Merenung sembari berdoa, momohon ampunan dari dosa-dosa kita sebagai manusia, dan berusaha menghilangkan sifat-sifat negatif,” kata Satya Mohan kepada Sumut Pos, Selasa (28/3).

Baginya dan bagi setiap penganut agama Hindu, ibadah Nyepi merupakan ritual keagamaan di mana mereka merenungkan kesalahan dan dosa-dosa selama setahun dalam satu hari ibadah ini berlangsung. “Jadi seperti memulai masa baru, benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih, untuk memulai hidup dalam tahun baru Caka,” sebutnya.

Diketahui, dalam pelaksanaan Nyepi, dilaksanakan ritual yang dinamakan Brata yaitu pengekangan hawa nafsu, Yoga atau menghubungkan jiwa dengan paramatma atau Tuhan. Kemudian Tapa sebuah latihan ketahanan menderita dan Samadi manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin.

Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan pada tahun yang baru. Selanjutnya kata Satya, rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka ada hari Ngembak Geni di tanggal kedua bulan X dalam Kalender Caka. “Di sini kita saling maaf-memaafkan satu sama lain untuk memulai lembaran baru yang bersih,” tutur Satya.

16 WARGABINAAN TERIMA REMISI

Sementara, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara memberikan remisi kepada 16 orang wargabinaan memeluk agama Hindu. Remisi itu, diberikan kepada wargabinaan yang menghuni 8 Lembaga Pemasyarakatan di Sumatera Utara.

“Seluruh wargabinaan mendapatkan remisi khusus (RK) 1,” kata Humas Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Sumatera Utara, Josua Ginting kepada Sumut Pos, Selasa (28/3) siang. Dia mengatakan pemotongan masa hukuman 15 hari, diperoleh 3 orang wargabinaan, pemotongan masa hukuman 30 hari, sebanyak 10 orang wargbinaan dan pemotongan masa hukuman 45 hari, berjumlah 3 orang wargabinaan.

“Remisi itu, akan diserahkan pada hari ini (kemarin, Red), di masing-masing lembaga Pemasyarakat atau UPT (unit pelayanan terpadu),” jelas Josua.(bam/mag-1/gus/adz)

Exit mobile version