Site icon SumutPos

Pemerintah Harus Definisikan “Mitra” Transportasi Online

Ribuan driver ojak online yang tergabung dalam Gerakan Aksi Roda Dua (GARDA) melakukan longmarch menuju istana di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (27/3). Para pengemudi terdiri dari Gojek, Grab, dan Uber ini menuntut kebijakan rasionalisasi tarif ojek online. Foto: Ismail Pohan/INDOPOS

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Selama ini, perusahaan aplikasi transportasi online tidak menganggap para driver sebagai karyawannya. Mereka menyebut mereka dengan “Mitra”. Sampai saat ini, definisi mitra masih kabur sehingga hak-hak para pengemudi pun tidak jelas.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan, pemerintah harus segera menegaskan definisi dari “Mitra-Pengemudi” ini. Pasalnya, para aplikator kerap berlindung dibalik kata “Mitra” dan mengabaikan hak-hak para driver angkutan online. Akhirnya, gaji pun ditentukan seenaknya. “Tidak jelas,  bagaimana gajinya, bagaimana jaminan sosial BPJS –nya, bagaimana jaminan kecelakaan kerja dan hari tuanya juga,” katanya.

Menurut Iqbal, pemerintah bukan hanya boleh intervensi terhadap kebijakan gaji dari aplikator, melainkan harus. “Karena jika pemberi kerja menetapkan gaji seenaknya tanpa standar yang jelas, namanya bukan hubungan kerja, tapi eksploitasi, slavery (Perbudakan,Red),” katanya.

Kunci dari permasalahan ini, kata Iqbal adalah undang-undang itu sendiri. UU Nomor 22 tahun 2009 tentang  lalu lintas tidak menyertakan kendaraan roda dua sebagai angkutan umum. Hanya dibatasi oleh roda empat. Sehingga, hak-hak dan kewajiban yang menaungi para penyelenggaran angkutan umum tidak bisa diberlakukan pada kendaraan roda dua (ojek). “Kami KSPI sedang mengajukan judicial review ke MK, tujuannya agar roda 2 dimasukkan ke dalam angkutan umum,” jelasnya.

Berbeda dengan taksi, kata Iqbal. Meskipun mereka juga disebut mitra, tapi mereka tetaplah berstatus karyawan dari perusahaan taksi. Ada perjanjian kerja yang terbentuk, ada serikat pekerja yang menaungi. Sehingga hak-hak karyawan berupa gaji layak, berbagai tunjangan, dan jaminan sosial bisa terpenuhi.

Posisi para driver ini menurut Iqbal dilematis. Mereka tetap dinamakan pekerja karena sesuai UU nomor 13 tahun 2003, mereka menerima upah dari pemberi kerja (aplikator). “Akhirnya para aplikator memanfaatkan celah hukum ini untuk menetapkan gaji (pembayaran ke driver) seenak-enaknya,” Pungkas aggota Organisasi buruh PBB ILO ini.(tau/adz)

Exit mobile version