Site icon SumutPos

Luka Bakar 60 Persen, Dibiarkan Tanpa Opname, Bocah 2,7 Tahun Tewas

LUKA BAKAR: Fathir Arif Siahaan (2,7), warga Jalan Cicak Rawa III/Tangguk Bongkar 1 Perumnas Mandala saat mendapat perawatan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Fathir Arif Siahaan, bocah berusia 2,7 tahun, penduduk Jalan Cicak Rawa III/Tangguk Bongkar 1 Perumnas Mandala, Medan Denai, meninggal dunia diduga akibat korban malapraktik oknum dokter Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Umum (RSU) Muhammadiyah. Bocah itu mengalami luka bakar sekitar 60 persen di tubuhnya, tetapi hanya dikasih resep obat oleh oknum dokter rumah sakit yang berada di Jalan Mandala By Pass.

Arifin Siahaan (36), orangtua almarhum menceritakan, awalnya ia mendapat kabar bahwa Fathir mengalami luka bakar di bagian leher, dada, perut, punggung, tangan dan paha kanan pada Kamis (25/7) siang sekitar pukul 11.00 WIB. Luka bakar itu akibat terkena kuah panas gulai sayur daun ubi dan labu sewaktu bermain di rumah neneknya, tak jauh dari tempat tinggalnya.

Mendapat kabar tersebut, Arifin kemudian bergegas pulang ke rumahnya. Namun, sesampai di rumah ternyata anaknya sudah dibawa ke puskesmas. “Pas sampai di rumah, tetangga bilang anak saya dibawa ke puskemas. Itulah saya mau menyusul ke sana, tapi gak lama datang istrin

saya sama keluarga dan tetangga bawa si Fathir lantaran puskemas menolak. Puskesmas menyarankan agar anak saya dibawa ke RSU Muhammadiyah karena paling dekat. Lantas, dibawalah Fathir ke rumah sakit tersebut dengan status pasien umum,” ungkap Arifin bersama istrinya, Putri Rahayu (31) saat ditemui Sumut Pos di rumahnya, Minggu (28/7) siang.

Setibanya di RSU Muhammadiyah, lanjut Arifin, anaknya langsung dibawa ke salah satu ruangan UGD dan diberikan pertolongan oleh dokter yang menanganinya yaitu dokter perempuan berinisial F dan satu lagi dokter laki-laki. Selanjutnya, dia meminta kepada dokter tersebut agar diopname karena melihat kondisi luka bakarnya lumayan parah. Namun, dokter malah menyarankan untuk pulang atau dirawat di rumah.

“Saya sempat minta agar anak saya ini diopname saja, tetapi dokter bilang sudah dikasih obat/salep dan dirawat di rumah. Namun, dibilangnya juga kalau ada apa-apa bawa aja lagi ke rumah sakit ini,” jelas Arifin.

Karena merasa yakin dengan perkataan dokter, dia kemudian membawa anaknya pulang ke rumah. Namun demikian, tetap resah dan khawatir karena anaknya terus-terusan menangis sembari teriak merintih kesakitan. “Saya dan istri begadang semalaman suntuk, karena anak saya nangis terus dan teriak kepanasan. Padahal, sudah dikasih obat dan salep dari resep dokter tersebut. Itulah, menjelang Jumat pagi, (26/7) kondisi si Fathir memburuk,” aku Arifin.

Tak mau ambil risiko, sambung Arifin, ketika hendak berangkat kerja pada pagi hari, dia sempatkan datang ke rumah sakit tersebut dan bertemu dokter laki-laki yang menangani anaknya. Namun lagi-lagi ketika diminta supaya diopname, dokter itu menyarankan dirawat di rumah saja.

“Sudah saya ceritakan kondisi anak saya yang memburuk, tangan dan kakinya dingin serta bibirnya membiru. Selain itu, pandangan matanya tidak seperti anak pada umumnya. Kemudian, muntah-muntah juga. Tapi, respon dokter tersebut biasa saja, dibilangnya tenang bapak enggak usah khawatir dan diberikan resep obat,” kata Arifin mengulangi perkataan dokter.

Namun, karena merasa khawatir dengan kondisi anaknya yang mulai parah, lanjutnya, ia bersikeras mau pulang mengambil anaknya Fathir agar bisa diopname. Namun, dokter tidak berkenan dengan beberapa alasan. Di antaranya, biaya dan tenaga karena harus capek-capek bawa balik lagi pulang ke rumah.

“Dibilangnya dokter, dia sudah tahu karena memang pertama kali dibawa juga dia yang tangani. Lalu, saya tanya jadi gak apa-apa ini dokter, soalnya saya mau kerja? Kalau memang harus dirawat, maka saya izin tidak bekerja? Dijawabnya, gak apa-apa dan bapak silahkan kerja,” paparnya.

Mendengar jawaban dokter tersebut, Arifin pun tidak begitu khawatir dan membeli resep oba. Arifin kemudian berangkat kerja. Namun, ketika bekerja baru beberapa jam, Arifin gelisah dan memiliki firasat buruk. Lantas, dia menghubungi istrinya untuk menanyakan kondisi anak ketiganya itu.

“Saya hubungi istri saya di rumah menanyakan kondisi si Fathir. Dijawab istri saya, kondisinya semakin parah. Saya bilang sama istri agar membawa anak kami ke rumah sakit tapi rumah sakit yang lain bukan di (RSU) Muhammadiyah. Jadi, dibawa istri ke RS Rizki di Jalan Pancing siang harinya,” beber Arifin.

Saat dibawa ke rumah sakit tersebut, lanjut dia, ternyata pihak RS Rizki menolak dengan alasan tidak ada oksigen. Lantaran peralatan kurang memadai. Selanjutnya berdasarkan inisiatif keluarga maka dibawa ke RSU Haji Medan. “Pas sampai di rumah sakit tersebut (UGD RSU Haji Medan), langsung ditangani dan diperban.

Tapi, dokter yang menanganinya terkejut dan marah-marah, kenapa anak kami ini yang lukanya parah tidak diopname, gak masuk infus? Seharusnya, diopname dulu dan masuk cairan ke tubuhnya. Jadi, yang membuat kondisinya lemah akibat kurang cairan yang masuk ke tubuh,” papar Arifin yang kemudian menyusul ke RSU Haji Medan setelah pulang kerja pada petang hari.

Setelah sempat ditangani serius oleh UGD RSU Haji Medan, lanjut Arifin, namun Allah berkehendak lain. Ternyata, anak ketiganya itu menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 19.30 WIB. “Kami sudah ikhlaskan kepergian Fathir, tapi kami sangat kesalkan dan kecewa penanganan dokter di (UGD RSU) Muhammadiyah.

Kenapa sewaktu kami datang kesana enggak ada diopname? Padahal, sudah kami minta dan desak tapi enggak juga. Makanya, kami berharap masalah yang dialami anak kami ini menjadi pelajaran terhadap dokter di rumah sakit tersebut. Jangan sampai terulang kembali terhadap anak-anak yang lainnya,” harapnya.

Sementara, pihak RSU Muhammadiyah yang coba dikonfirmasi Sumut Pos Minggu (28/7) siang belum berhasil memberi keterangan atau tanggapan. Ketika didatangi ke rumah sakit tersebut sekitar pukul 14.00 WIB, hanya bertemu perawat yang bertugas di bagian informasi. “Silahkan datang aja besok (hari ini, Ted), kalau sekarang tidak ada pihak manajemen rumah sakit. Kalau dokternya saya tidak tahu ada bertugas atau tidak, karena saya kurang tahu jam mereka bertugas,” ucap perawat yang tak mau menyebutkan identitasnya. (ris/ila)

Exit mobile version