Site icon SumutPos

Waspada! Radikalisasi Sasar Anak Medan

Ivan Hasugian, pelaku percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik St Yosef Medan, Minggu (28/8/2016).
Ivan Hasugian, pelaku percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik St Yosef Medan, Minggu (28/8/2016).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Aksi bom bunuh diri di Gereja Santo Yoseph, Medan, yang dilakukan Ivan Hasugian (18) pada Minggu (28/8) pagi, merupakan indikasi ajaran radikal sudah menyasar anak-anak muda di Medan.

Anggota Komisi III DPR Martin Hutabarat mengajak semua pihak, terutama tokoh-tokoh masyarakat, untuk bersama-sama melawan kelompok radikal yang sudah masuk ke Sumut. Martin yakin, masalah ini bukan persoalan agama.

“Saya pun yakin 100 persen, ini bukan soal agama. Ini soal segelintir anak muda saja yang diradikalisasi oleh orang yang tak bertanggung jawab. Kita harus bersatu untuk melawan orang-orang atau jaringan yang sedang meradikalisasi anak-anak muda di daerah Sumut,” ujar Martin Hutabarat di Jakarta, Minggu (28/8).

Politikus senior Partai Gerindra itu mengimbau masyarakat Sumut agar tidak terpancing dengan kejadian ini. Dia yakin, kejadian ini tidak akan berpengaruh apa pun bagi Sumut.

“Sumut sudah teruji kerukunannya lebih dari 100 tahun, dalam ikatan persaudaraan antarsesama warga yang berbeda agama, suku, dan ras,” ujarnya.

Dia juga yakin, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumut bersama tokoh-tokoh masyarakat juga akan bergerak cepat merespon dan menyadarkan masyarakat bahwa tidak ada masalah agama di sini.

Dia juga mendesak kepolisian bertindak cepat untuk mengusut kejadian ini. “Pasti ada actor di belakangnya, yang tidak merasa berdosa telah mengorbankan anak-anak muda yang belum dewasa berpikirnya, menjadi korban dalam peristiwa ini,” ujar Martin, yang juga anggota Pansus RUU terorisme yang sedang dibahas DPR sekarang ini.

Ke depan, dia mengimbau agar acara-acara di gereja dan di masjid dtingkatkan pengamanannya. Sebab, lanjutnya, bukan tidak mungkin masjid juga akan menjadi sasaran bom bunuh diri setelah gereja, seperti pernah terjadi di Cirebon.

“Karena teroris itu targetnya membuat teror yang membuat ketakutan pada banyak orang,” pungkasnya.

Terpisah, anggota Komisi III DPR Arsul Sani, mengatakan, peristiwa di Gereja Katolik Medan itu seharusnya menjadi alarm semua jajaran intelejen kita baik BIN, BAIS maupun Intelkam Polri untuk menata kembali kordinasi dan kerja mereka.

Sekretaris Jenderal DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini tidak mau menyimpulkan bahwa aparat kecolongan dalam kasus ini. Tapi, lebih menekankan pada koordinasi antar lembaga terkait.”Saya tidak melihatnya sebagai kecolongan, tapi lebih pada apakah kordinasi antar aparat intelejen berjalan atau tidak,” tambah Arsul.

Sedang anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mendesak polisi bergerak cepat. Menurutnya, aksi tersebut dilakukan secara terbuka dan pelakunya juga membawa senjata tajam.

“Harus ditelusuri betul jaringannya. Model aksinya terbuka begini. Bawa bom, senjata tajam juga. Biar ditangani dulu oleh kepolisian. Dari hasil penanganan yang dilakukan bisa tahu kita. Ini dilakukan kelompok tetoris atau orang per orang,” kata Masinton, kemarin.

Politikus PDIP itu berharap kepolisian bisa bekerja cepat mendalami motif pelaku. Kemudian, mewaspadai aksi serupa terjadi di titik lain. Karena itu ia meminta pengamanan di titik rawan diperketat.

“Perlu diantisipasi pola yang sama di titik yang berbeda. Kita menunggu hasil penyelidikan hari ini. Sementara itu sistem keamanan di titik rawan harus ditingkatkan kepolisian. Karena ini bukan hanya di Medan saja, mungkin,” ujarnya.

KEMAMPUAN TERORIS MENURUN?
Peneliti Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia Sholahudin mengatakan, dari pengeboman gereja di Medan itu diketahui ada gejala yang menunjukkan kemampuan pelaku aksi teror menurun drastis. Di antaranya, daya ledak bom yang sangat rendah.

”Bahkan, bom yang dibawa tak mampu membunuh pelaku, apalagi orang di sekitar,” jelasnya.

Lalu, pelaku pengeboman ternyata membawa kartu tanda penduduk (KTP). Hal tersebut tentunya sangat sepele, namun merupakan kesalahan besar dalam sebuah aksi.

”Pertanyaan yang muncul, mereka kapasitasnya lemah atau malah bodoh,” ujarnya.

Kegiatan amaliyah semacam ini terlihat dalam dua aksi teror terakhir. Yang pertama bom Solo yang daya ledak bomnya tak mampu menghancurkan pot bunga yang jaraknya dua meter dari bom. ”Yang terakhir ini ya bom Medan ini,” jelasnya.

Dengan begitu, dapat dipastikan kemampuan dari jaringan teror di Indonesia memang melemah. Terutama dari segi kemampuan militer. Hal itu dikarenakan dua penyebab, yakni sosok yang memiliki kemampuan militer sedang berada di Suriah dan para mantan kombatan Afghanistan justru menolak paham ISIS. ”Ini keuntungan tersendiri,” jelasnya.

Namun, yang justru dikhawatirkan adalah kejadian ini menunjukkan rekrutmen jaringan teror masih terjadi. Bahkan, rekrutmen itu makin membabi buta. ”Bisa dibilang, gagasannya besar tapi, kualitasnya kecil,” ungkapnya.

Kalau melihat usia pelaku yang masih 17 tahun ini menunjukkan bahayanya radikalisme. Anak remaja saat ini menjadi sasaran yang empuk untuk pelaku teror. ”Maka, seharusnya pencegahan harus dikuatkan, pentingnya soft approach itu disini,” jelasnya.

Kekurangan lainnya, saat ini jumlah anggota Densus 88 Anti Teror juga masih sangat minim. Hal tersebut berdampak pada kemampuan mendapatkan informasi untuk mencegah aksi teror terjadi. ”Ya, jumlahnya sedikit, gajinya juga belum memadai,” terangnya. (sam/idr)

Exit mobile version