Site icon SumutPos

Pemprovsu Ngotot Buat Pergub

R Sabrina
Ketua TAPD Provsu

MEDAN,SUMUTPOS.CO – Niat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) untuk membuat Peraturan Gubernur (Pergub) sebagai payung hukum Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) 2018 sudah bulat Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Pemprovsu mengisyaratkan, mereka tidak mau lagi melakukan upaya lobi-lobi politik dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sumut terkait KUA-PPAS P-APBD 2018 yang sebelumnya ditolak.

“Kita akan membuat Pergub. Kan sudah keputusan (DPRD Sumut menolak penandatanganan KUA-PPAS),” kata Ketua TAPD Provsu, R Sabrina yang buru-buru masuk mobil dinas, saat ditemui wartawan di Kantor Bappeda Sumut, Jalan P Diponegoro Medan, Jumat (28/9).

Sabrina menegaskan, Pemprovsu akan mengandalkan Pergub untuk mengakomodir sejumlah kegiatan paskatidak adanya kesepakatan KUA-PPAS P-APBD 2018 bersama DPRD Sumut.

Sabrina yang juga Sekdaprovsu, bahkan mengaku kalau saat ini TAPD sedang menyusun draf Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) Provsu Tahun Anggaran 2019. Dia pun optimis kalau Pemprovsu tidak kembali mengulangi kebiasaan yang sama, manyampaikan draf APBD ke DPRD Sumut dengan waktu pembahasan yang sangat mepet. Begitu juga halnya dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintah Daerah (RPJMD) yang akan dibahas setelah selesai pembahasan APBD 2019.

“Kalau RPJMD kan masih ada waktu 6 bulan lagi. Kan duluan APBD 2019. Ya saat ini sedang kita susun. Secepatnya nanti kita kirim,” ujar Sabrina sembari menutup pintu mobilnya dan melaju keluar dari perkarangan Kantor Bappeda Sumut.

Sebelumnya, Pengamat Anggaran Elfenda Ananda menilai, penerbitan Pergub atas penolakan penandatanganan KUA-PPAS PAPBD tidak memiliki dasar hukum. Karenanya dia menyarankan Gubsu bersama TAPD untuk duduk lagi dengan Banggar DPRD Sumut membahas hal tersebut. “Kalau dia (Gubsu) mau buat Pergub, tentu pagu anggarannya harus ikut yang lama (APBD murni). Artinya, ya tidak ada perubahan sama sekali, jadi buat apa ada Pergub?” kata Elfenda.

Dijelaskan dia, ada dua asumsi yang terbangun dari P-APBD. Di mana, jika ada perkiraan uang berlebih, akan ada penambahan proyek atau kegiatan. Sebaliknya, jika pendapatannya tidak mencapai target, maka akan dilakukan rasionalisasi. “Tren biasanya P-APBD Sumut terjadi penambahan. Karena target yang dibuat sejak APBD murni memang didesain ada penambahan saat perubahan,” katanya.

Mantan Sekretaris Fitra Sumut ini menambahkan, di sinilah sebenarnya seni berpolitik Edy dan Ijeck diuji. Sebab mereka tidak akan bisa berjalan mengendalikan pemerintahan jika tidak beriringan dengan legislatif. “Sesuai UU, APBD itu disusun dan dibahas secara bersama-sama antara eksekutif dan legislatif. Tidak bisa pakai gaya otoriter berjalan sendiri-sendiri. Inilah seninya berpolitik sebab jabatan dia dipilih dari proses politik,” katanya.

Soal bagaimana kompromi kepala daerah dan wakil rakyat mengenai alokasi anggaran yang mau diakomodir, menurut Elfenda, seperti halnya permintaan dana bansos oleh legislatif, tentu Edy harus punya trik jitu mencari jalan tengah terbaik. “Kalau mau tegas dalam APBD umpamanya, gubernur tinggal sampaikan kepada dewan apa dasar hukum untuk penganggaran bansos atau dana hibah. Kalau memang ada kemudian penerimanya jelas, berarti tidak masalah jika dianggarkan. Sebenarnya mudah saja kalau gubernur tidak pakai gaya otoriter,” katanya.

Apalagi memasuki tahun politik seperti ini, sambungnya, gubernur harus memahami kondisi tersebut secara bijak. Artinya para legislatif saat ini banyak kebutuhan dan kepentingan konstituennya masing-masing. “Cuma harus ada dasar yang kuat juga. Kan ada aturan mainnya. Ada verifikasi penerima bansos dan lainnya. Sebab kita tidak mau mengulangi sejarah yang pernah dibuat Gatot (Gubsu sebelumnya), berdasarkan selera politik. Kalau memang mau menghambat DPRD dalam hal bansos, bisa saja Gubsu minta alasan dan argumentasi seperti penerima yang sudah terverifikasi,” paparnya.

Artinya kebijakan tersebut, imbuh dia, akan terasa sia-sia, sebab anggaran yang ada tetap memakai APBD murni yang telah disahkan sebelumnya. “Jika nanti ada kelebihan anggaran Rp300 juta sampai Rp400 juta di akhir tahun, maka itu akan jadi SiLPA sebab memang tidak disetujui. Tinggal masyarakat yang menilai kinerja eksekutif dan legislatifnya,” pungkasnya.

Terpisah, Anggota DPRD Sumut Fraksi PDI Perjuangan Sutrisno Pangaribuan mengkritisi kinerja TAPD Provsu yang diketuai Sekda. Tidak hanya gagal menjembatani kebijakan politik anggaran, TAPD Sumut juga kerap menunjukan kegagalan dan memiliki kebiasaan melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Tentang Pedoman Penyusunan APBD.

Sebagai diatur dalam Permendagri No. 33 Tahun 2017 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2018 dan kesepakatan antara Pemda dan DPRD, menyebutkan penyampaian Rancangan KUA dan Rancangan PPAS Perubahan oleh Ketua TAPD kepada Kepala Daerah Paling lambat minggu I Bulan Agustus di akhir September telah disahkan menjadi Perda.

Namun yang terjadi pada kasus KUA-PPAS P APBD 2018 TAPD menyerahkan di minggu penghujung September. Ironisnya lagi, selain telat, pihak TAPD pun menganulir keputusan rapat bersama TAPD dengan Badan Anggaran (Banggar) yang berujung pada tidak adanya pembahasan PAPBD.

“Kita memahami ini masa transisi tapi seharusnya sejak masa Pj Gubernur Sumut dulu dokumen KUA-PPAS P-APBD 2018 sudah disampaikan. Ya, mungkin saja Pj Gubsu dulu tidak mau menerima bola panas, karena dia sifatnya sementara tapi TAPD seharusnya bisa meyakini Kepala Daerah sekarang soal politik anggaran dan bukan seolah memberikan bola panas pada kepala daerah sekarang,” ujarnya.

Sedangkan untuk APBD TA 2019 berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2019, maka pemerintah daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan peraturan daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2019 paling lambat 1 bulan sebelum dimulainya Tahun Anggaran 2019. (prn)

Exit mobile version