Site icon SumutPos

UN Bukan Tolok Ukur Kualitas Pendidikan

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) diharapkan menjadi sebuah sarana untuk melihat sejauhmana pencapaian siswa di akhir tingkat sekolah. Seperti apa? Berikut petikan wawancara wartawan Sumut Pos, Adlansyah Nasution dengan Ketua Komisi B DPRD Medan, Surianda Lubis.

Bagaiamana seharusnya pelaksanaan UN?

Seharusnya pelaksanaan UN disesuaikan dengan masing-masing kondisi di daerah-daerah, yang perlu dipahami adalah, ada perbedaan baik dari sarana, fasilitas, sumber daya manusia (SDM) guru, inilah yang perlu didalami agar UN ini tidak menjadi beban baik terhadap siswa, guru maupun kepala sekolah. Sudah saatnya pendidikan di negara ini juga berlaku sistem otonom, sehingga para siswa dan guru tidak lagi stres ketika menghadapi UN.

Bagaimana kondisi sekolah di daerah?

Bisa kita bayangkan bagaimana kondisi sekolah di Jakarta, dengan sekolah yang ada di luar Jakarta, baik itu ditinjau dari sisi sarana, fasilitas maupun SDM para pendidiknya. Kalaupun dalam UN ini telah dibentuk sistem pengawasan yang cukup ketat, tapi apakah prinsip kejujuran sudah benar-benar terjaga. Tapi justru sebaliknya, UN membuat siswa, guru maupun kepala sekolah menjadi stres.

Apakah UN  bisa  jadi tolak ukur?

Tidak serta merta UN dapat menjadi tolok ukur untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Kita harus melihat sejauhmana kopetensi siswa di akhir tingkatan, sebab setiap sekolah tidak mendapatkan fasilitas yang sama, sehingga kita tidak bisa menyimpulkan bahwa UN sebagai tolok ukur dalam meningkatkan mutu pendidikan. Selama ini apakah ada seorang kepala sekolah yang rela mempertaruhkan jabatanya hanya karena dianggap gagal dalam mendongkrak hasil UN secara maksimal, karenanya jadikanlah UN ini sebagai sarana untuk membangun karakter pendidikan.

Bagaimana standarisasi pemenuhan guru?

Standarisasi harus juga dilihat dari pemenuhan guru, sebab guru merupakan faktor utama dalam pemenuhan pendidikan. Kemudian pemenuhan sarana pembelajaran, baru kemudian sekolah tersebut mempunyai daya jawab terhadap lokalnya. Sedangkan tahun ini, soal tidak lagi diberikan dalam bentuk amplop tetapi langsung dalam kotak. Jadi setiap sekolah memperoleh soal langsung dari dalam kota. Dengan format dan sistem distribusi yang berbeda itu, harus bisa disosialisasikan kepada sekolah penyelenggara agar proses UN berjalan tertib dan lancar.

Bagaimana dengan soal cadangan?

Mengenai tidak adanya soal cadangan lagi tahun ini, dinas harus bisa menyikapi jika ternyata ada soal yang rusak. Formulasi solusi kekurangan soal harus segera di cari agar siswa bisa tetap mengikuti ujian. Sampai sekarang belum ada formulasi khusus dari dinas jika ternyata ada soal yang rusak. Hal itu harus jadi perhatian karena persoalan ini bisa merugikan siswa yang akan ikut ujian. Dinas harus menyampaikannya kepada pengawas agar tidak terjadi kebingungan sehingga UN bisa berjalan tertib. (*)

Exit mobile version