Site icon SumutPos

Ganti Rugi Ratusan Juta atau Diproses Hukum

Foto: Istimewa
Saulina boru Sitorus (92) alias Oppu Linda (tengah), mendapat dukungan moril dari sejumlah masyarakat, karena ia diajukan ke meja hukum dalam kasus penebangan pohon durian milik saudaranya.

SUMUTPOS.CO – Tak ada pilihan lain kecuali pasrah, karena berbagai cara telah ditempuh oleh Saulina Sitorus (92) agar persoalan yang dihadapinya bisa tuntas melalui jalur kekeluargaan. Sayangnya, palu hakim tak mengenal usia. Di usia senja, dia harus jadi seorang terpidana.

Memang, Saulinan Sitorus tak dikekang dalam jeruji besi, seperti yang dirasakan anak-anaknya, yang turut terseret dalam kasus yang sama, yakni pengrusakan. Dia berstatus tahanan kota. Namun, betapa kesedihan menerpanya, karena niatnya yang tulus untuk memperbaiki makam leluhur jadi berbuah pahit, bahkan diadukan oleh orang yang juga masih kerabatnya.

Sebagaimana kebiasaan sebagian besar orang Batak, membangun makam leluhur dianggap sebagai bentuk penghormatan sekaligus aplikasi rasa cinta kasih kepada leluhur. Hal inilah yang menjadi awal timbulnya niat keluarga Saulina Sitorus membangun makam leluhurnya, Boi Godang Naiborhu atau Op Sadihari, yang berada di Dusun Panamean, Desa Sampuara, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Desember 2016 lalu.

Tak disangka, niat baik itu membawa petaka. Di usianya yang sudah renta, justru ia harus dihadapkan pada kursi pesakitan berikut enam anaknya atas kasus pengrusakan oleh pelapor Jepaya Sitorus. Dalam kasus tersebut, keluarga besar keturunan Op Sadihari merasa terpukul. Dimana menurut mereka, hal tersebut tidak seharusnya sampai ke penegak hukum. Dimana masih ada jalan keluar melalui perundingan, baik melalui penetua adat (parsahutaon) atau kepala desa. Namun berbagai  upaya yang mereka lakukan tidak membuahkan perdamaian.

Kepada New Tapanuli (grup Sumut Pos), Saulina didampingi kerabatnya menerangkan, dalam upaya perundingan yang mereka lakukan, Japaya Sitorus meminta ganti rugi dalam jumlah yang banyak. Sayangnya, mereka tidak sanggup membayar. Karenanya, mereka hanya bisa pasrah.

Selain itu, keluarga Saulina mengaku sudah mendapatkan izin dari pemilik tanah wakaf tersebut untuk menebang pohon durian dengan diameter sekitar 5 inch itu. Yang mereka ketahui, pewaris tanah wakaf itu adalah Kardi Sitorus, keturunan Martahiam Sitorus, bukan Jepaya Sitorus.

“Kalau tidak ditebang, takutnya  mengganggu makam, bisa rusak nanti. Jadi kami izin kepada ibotoku (saudaraku) Kardi Sitorus. Sebenarnya, selama ini kami tidak  tahu  itu miliknya (Jepaya Sitorus). Itupun, kami sudah minta maaf dan bersedia ganti rugi. Tapi yang diminta ratusan juta. Sudah kami bujuk, tapi tidak bersedia,” terang Saulina.

Tentang makam, Saulina menjelaskan bahwa niat mereka hendak membenahi makam almarhum mertuanya dengan bangunan beton. Berbagai jenis tanaman radius 4 meter ditebang. Biaya mereka tanggung bersama sesama keturunan Op Sadihari. Saat ini bangunan yang direncanakan dilengkapi dengan keramik itu pun terkatung-katung karena persoalan ini. Meski demikian, mereka berharap ada jalan keluar agar proses pembangunan dapat dilaksanakan.

Sementara, kuasa hukum keluarga Saulina, Boy Raja P Marpaung SH menilai, ada kejanggalan dalam kasus yang menimpa keluarga Saulina Sitorus ini. “Upaya hukum yang akan diambil banding,” ujar Boy via selulernya, Selasa (30/1).

Menurut Boy, salah satunya menyangkut alat bukti atas kepemilikan lahan objek perkara yang diyakini kurang tepat. Dimana fakta di persidangan ada saling klaim dari saksi berbeda yang mengklaim pewaris lahan. Yang menjadi objek perkara adalah tanah wakaf. Tanah dalam perkara ini sudah dihibahkan kepada masyarakat Panamean.

Hal itu terbukti dalam bukti tertulis surat pernyataan pewaris Opung Martahiam Sitorus. Dimana menyatakan, tanah tersebut sudah diwakafkan menjadi pemakaman umum di Dusun Panamean. Bukti surat ini pulalah sebagai salah satu alat bukti duduknya perkara itu. “Alat bukti pertama kepemilikan lahan adalah pengakuan istri dan anak saksi pelapor Jepaya Sitorus. Kedua, surat pernyataan penyerahan pemakamam  dari Op pewaris Martahiam Sitorus. Sementara saksi pelapor bukanlah termasuk pewaris dari Martahiam Sitorus. Hal ini sebagaimana keterangan saksi saat persidangan oleh saksi Kardi Sitorus selaku keturunan Kardi Sitorus. Jika demikian, alat bukti kepemilikan lahan pelapor belum lengkap. Minimal dua alat bukti,” terangnya.

Katanya, jika tanah tersebut sudah diserahkan sebagai lahan pekuburan, artinya bukan lagi milik perseorangan.  Tetapi milik bersama warga  Dusun Panamean. Kejanggalan lainnya menurut Boy, kesaksian Japaya Sitorus dalam persidangan menyebutkan, lahan kuburan tersebut adalah lokasi perladangan gereja. Sementara hingga kasus ini memasuki agenda duplik di persidangan tidak ada pihak gereja yang mengajukan keberatan. Berbeda saat putusan yang menyebutkan bahwa lahan objek perkara adalah  milik Jepaya selaku pewaris.  “Selaku pelapor, apakah Jepaya secara pribadi atau mewakili gereja,” jelasnya.

Disinggung terkait penetapan  Saulina Sitorus sebagai tersangka dalam kasus tersebut, menurutnya tidak harus. Namun dalam prosesnya, Saulina dijerat  Pasal 421 dengan unsur Pasal 406.  “Di sini, saudari Saulina dijerat sebagai permulaan perbuatan, atau  memberikan perintah untuk melakukan perbuatan. Ada unsur bersama-sama. Sebenarnya tidak harus, mengingat  kasus ini adalah kasus pengrusakan,” jelasnya.

Atas dasar kejanggalan tersebut, pihaknya berencana mengajukan banding. “Kita sedang urus proses banding, dengan harapan kejanggalan-kejanggalan ini terbuka lebar dan pada akhirnya klien kita mendapat keadilan yang seadil-adilnya,” tandasnya.

Sementara, Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga menyatakan banding atas vonis yang diterima Saulina boru Sitorus (92). JPU keukeuh menutut nenek renta itu untuk ditahan. “Kuasa hukum terdakwa (Saulina) banding, kita (JPU) juga banding dalam kasus ini,” ungkap Kepala Seksi Penerangan Hukum dan Humas Kejati Sumut, Sumanggar Siagian kepada Sumut Pos, Selasa (30/1) siang.

Sumanggar mengatakan, sebelumnya JPU menuntut wanita uzur tersebut dengan hukuman penjara selama dua bulan. Namun, majelis hakim menjatuhkan hukuman satu bulan dan 14 hari di Pengadilan Negeri (PN) Balige, Senin (28/1) kemarin. Atas putusan itu, JPU pun menutut nenek renta itu ditahan.

“Dua bulan penjara dituntut, pastinya menjalani hukuman di penjaralah. Kalau kuasa hukum terima, pasti kami juga terima,” kata mantan Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Binjai itu.

Menyikapi kasus ini, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Surya Adinata mengatakan, kasus yang dialami Saulina membuktikan bobrok penegakan hukum yang terkesan tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

“Ini ada tiga aspek hukum, yakni kepastian hukum, kemantapan, dan keadilan. Seorang nenek dihukum, tidak pantas. Ini persoalan keluarga, harusnya penegak hukum lebih bisa melihat kemanusiawiannya,” ucap Surya kepada Sumut Pos, kemarin sore.

Dia menilai, tidak mesti permasalahan keluarga yang dipicu penebangan pohon durian berunjung ke meja persidangan. Seharusnya di tingkat penyidikan, Polisi melakukan mediasi untuk mendamaikan kedua belah pihak yang bertikai itu. “Kalau dihukum, apa dampak pada nenek itu. Harusnya penegak hukum menggunakan hati nuraninya, sudah lanjut usia kok tetap dihukum. Tidak akan memberikan efek jera kepada nenek itu, karena sang nenek sudah pikun,” tutur Surya.

Kemudian, Surya mengatakan, harusnya penegak hukum memberikan hak hukum kepada terdakwa untuk mengajukan perdamaian secara kekeluarga, dari pada dilanjutkan ke persidangan. Karena, permasalah keluarga tidak semuanya harus dituntaskan di hadapan hukum. “Artinya, kita melihat memang betul, hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Jangan sampai mengurangi nurani bagi penegak hukum melihat ini. Terkadang lucunya, melihat hukum seperti ini. Secara moral lintas kita kasihan melihat kasus ini,” ujarnya. (ara/ft/rah/gus/adz)

Exit mobile version