Site icon SumutPos

Pemprovsu Raih WTP Tiga Kali Berturut

Foto: Istimewa
Gubernur Sumut, HT Erry Nuradi menerima LHP BPK keuangan Pemprov Sumut 2016 dengan opini WTP dari anggota V BPK RI, Isma Yatun, saat sidang paripurna penyampaian LHP BPK di Gedung DPRD Sumut, Selasa (30/5).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Sumut, kembali memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) pada laporan keuangan Tahun Anggaran 2016 kepada sejumlah pemkab, pemko dan Pemprov Sumut. Namun, Opini WTP yang diberikan BPK ini bukan menjadi jaminan jika kinerja pemerintah daerah baik dan bebas korupsi. Apalagi baru-baru ini, Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) lewat operasi tangkap tangan (OTT) membongkar praktik kotor oknum auditor ini.

Anggota V BPK RI, Isma Yatun mengungkapkan, berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap laporan keuangan Pemprov Sumut 2016, BPK memberikan opini WTP. “Pemprov Sumut berhasil mempertahankan opini WTP ketiga secara berturut-turut,” ungkap Isma saat sidang paripurna penyampaian LHP BPK di Gedung DPRD Sumut, Selasa (30/5).

Isma menekankan, opini WTP yang diberikan bukan berarti tidak ada penyimpangan, bahkan tindak pidana korupsi, terhadap laporan keuangan 2016. “Ketika pemeriksa menemukan adanya penyimpangan atau kecurangan, terhadap ketentuan perundangan-undangan, dan khususnya berpotensi merugikan negara, maka tetap harus diungkap dalam LHP,” bebernya.

Ia juga menjelaskan, BPK masih menemukan beberapa permasalahan, meskipun permasalahan itu tidak mempengaruhi kewajaran atas penyajian laporan keuangan. Permasalahan tersebut terkait sistem pengendalian intern, antara lain penatausahaan rekening bank tidak sesuai ketentuan, dan terdapat sisa Dana BOS pada rekening penampung yang belum disalurkan. Pengelolaan kas di bendahara, pengeluaran tidak sesuai ketentuan dan terdapat kekurangan kas pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Kemudian, serah terima aset tetap dalam rangka pengalihan personel, sarana dan prasarana serta dokumen (P2D) dengan pemkab/pemko belum dilaksanakan. “Pemprov Sumut juga belum melakukan inventarisasi aset tetap secara memadai, dan 256 bidang tanah yang dicatat dalam KIB pada 20 satuan kerja, tidak didukung dengan bukti kepemilikan yang sah,” jelas Isma.

Foto: Istimewa
Gubernur Sumut, HT Erry Nuradi foto bersama pejabat BPK RI dan BPK Sumut, saat sidang paripurna penyampaian LHP BPK di Gedung DPRD Sumut, Selasa (30/5).

Tak Jaminan Bersih Korupsi

Anggota DPRD Sumut dari PKP Indonesia, Juliski Simorangkir juga menyebutkan, opini WTP yang diberikan BPK kepada pemkab/pemko dan Pemprov Sumut, bukan menjadi jaminan terhadap penilaian kinerja pemerintah daerah baik dan bebas korupsi. “Opini WTP dari BPK bukan berarti kinerja pemerintah daerah benar-benar baik dan bebas dari korupsi. Terbukti tertangkapnya Irjen Kementerian Desa dan anggota BPK, yang memperjualbelikan WTP,” ungkapnya.

Menurutnya, jual beli opini WTP ini merupakan korupsi transaksional yang sudah mencoreng nama lembaga audit tersebut, karena BPK selama ini merupakan lembaga pemeriksa yang dipercaya pemerintah, dan kini diselewengkan oknum yang mencari keuntungan pribadi. “Pelakunya harus diberi efek jera, agar mata rantai aksi suap semacam itu bisa diputus. Sistem laporan keuangan dan rekomendasi yang ada, harus sudah diatur secara ketat dan bisa dipertanggungjawabkan,” pungkas Juliski.

Sementara Gubernur Sumut, HT Erry Nuradi mengatakan, keberhasilan mempertahankan predikat WTP ini berkat kerja keras semua pihak, dan mudah-mudahan ini memotivasi semua pihak untuk bekerja lebih baik lagi, dan agar lebih paten lagi. “Terkait temuan hasil audit tersebut, kami akan menggelar rapat, baik itu temuan yang berhubungan dengan kekurangan pekerjaan, dan masalah yang tidak sesuai dengan aturan yang ada,” katanya.

Ia meminta seluruh jajaran SKPD untuk menjadikan opini WTP sebagai pedoman untuk dapat melaksanakan tugas pemerintahan lebih baik. “Opini ini bukan untuk kita berpuas diri, tapi jadi motivasi dan lebih giat lagi ke depannya. Berkat dukungan dari stakeholder dan kerja keras SKPD, maka predikat itu harus dapat dipertahankan,” tambah Erry.

Sementara, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenny Sucipto mengatakan, kegiatan audit BPK selama ini tidak sedikit yang berbau kolusi. Terutama di daerah. Berdasar pengamatan Fitra, tidak jarang auditor dan staf BPK yang mau menerima beberapa fasilitas yang disediakan pemda. Bahkan, ada pula auditor yang menerima uang saku dengan besaran bervariatif.

”Sepengetahuan kami, ada yang inisiatif dari pemda dan ada dari permintaan sendiri oleh auditor,” kata Yenny saat dihubungi Jawa Pos, kemarin (28/5). Fenomena itu sejatinya sudah sejak lama terjadi. Fasilitas-fasilitas dan uang saku yang diberikan pemda kepada auditor itu seolah sudah menjadi budaya. ”Karena predikat ini (WTP) dianggap menjadi salah satu prestasi,” ungkapnya.

Sebagai catatan, proses pemberian opini oleh BPK sejatinya cukup rumit. Khususnya di kementerian, kegiatan itu diawali dengan pemeriksaan tim anggota dan penanggungjawab. Setelah terbentuk, BPK kemudian memulai pemeriksaan keuangan. Nah, pada tahap itu nantinya akan disimpulkan apakah ada temuan yang mempengaruhi opini atas keuangan kementerian.

BPK memiliki standar akuntansi khusus sebagai kriteria atas laporan keuangan. Penilaian juga didasarkan pada ketaatan suatu kementerian terhadap undang-undang (UU). Temuan yang diperoleh bakal dilihat apakah berpengaruh terhadap materi atau tidak. Semua itu digunakan untuk menyusun laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) dan menentukan bagaimana opini yang sesuai. Yakni, WTP, wajar dengan pengecualian (WDP) atau malah disclaimer.

Yenny mengatakan, pemberian opini sangat berpeluang menjadi lahan basah bagi para auditor BPK. Kasus jual beli WTP yang baru saja diungkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui operasi tangkap tangan (OTT) Jumat (26/5), misalnya, sangat mungkin terjadi karena Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) memiliki catatan administrasi yang berpotensi merugikan keuangan negara.

Karena itu, pihaknya meminta penangkapan auditor itu menjadi pembelajaran bagi BPK untuk memperbaiki diri. Menurut Yenny, metodologi audit BPK harus diubah. Bukan hanya mengeluarkan predikat opini, tapi juga perlu mengaudit kinerja dan impact dari anggaran pembangunan. ”Harus dilakukan reformasi total BPK. Perkuat Perkuat integritas internal auditor dan bersihkan BPK dari pimpinan berlatarbelakang politisi,” imbuhnya. (jpg/dik/saz)

Exit mobile version