Site icon SumutPos

Pertama di Indonesia: Ivan jadi ‘Pengantin’ Belajar lewat Internet

Ivan Hasugian, pelaku percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik St Yosef Medan, Minggu (28/8/2016).
Ivan Hasugian, pelaku percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik St Yosef Medan, Minggu (28/8/2016).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Tidak ada korban jiwa dari percobaan bom bunuh diri oleh Ivan Armadi Hasugian (18), Minggu (28/8). Hanya ada sedikit luka pada tangan kiri Pastor Albert Pandiangan. Namun, kejadian di Medan itu patut membuat kita miris. Sebab, Ivan berani menjadi “pengantin” bom bunuh diri konon hanya dengan otodidak melalui browsing di internet.

“Kasus Ivan adalah yang pertama di Indonesia. Seseorang belajar terorisme secara otodidak melalui internet,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Suhardi Alius kepada Jawa Pos kemarin (29/8).

“Semua orang bisa menjadi seperti Ivan. Kita semua harus waspada,” lanjutnya.

Ivan berusaha melakukan aksi bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep Minggu lalu (28/8). Namun, bom yang dia bawa tidak meledak. Hanya mengeluarkan percikan yang mirip dengan kembang api. Dia lantas menyerang Albert dengan pisau. Aksi itu dihentikan para jemaat. Mereka berhasil melumpuhkan Ivan.

Dari pemeriksaan Ivan selama sehari di Polda Sumut, didapati temuan yang mencengangkan itu. Seorang anak berusia 18 tahun seperti Ivan terbaiat menjadi teroris hanya dari browsing internet. Mulai doktrinasi, cara beroperasi, hingga cara membuat bom, semuanya dipelajari dari internet. Tidak ada seorang pun yang mengajarinya!
Suhardi menyatakan, Ivan sempat mengaku bertemu dengan orang yang tidak dikenal. Namun, pengakuan itu diragukan. “Kami sudah cek, tapi tidak spesifik,” ucapnya.

Awalnya, Ivan mendapat akses internet dari warung internet milik kakaknya. Dia lantas memperoleh informasi soal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Dari informasi itu, dia kagum kepada pemimpin ISIS Abu Bakr Al Baghdadi. “Makanya, ada simbol bendera ISIS yang dibuat sendiri,” ungkap Suhardi.

Cara membuat bom pun didapatkan Ivan dari internet. Suhardi menyebutkan, sejumlah situs mengajarkan perbuatan berbahaya itu. Bahan-bahan yang ditemukan di kamar Ivan identik dengan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat bom seperti yang diajarkan di internet.

“Kami sudah menelusuri situs apa saja yang dikonsumsinya,” lanjut mantan Kabareskrim itu.

Adakah latar belakang tertentu yang membuat Ivan menjadi radikal? Suhardi menuturkan bahwa Ivan masih terus diperiksa. Biasanya, ada alasan tertentu yang membuat seseorang bisa seirama dengan radikalisme. “Contohnya anak Imam Samudera yang akhirnya tewas di Syria,” ungkapnya.

Dari kasus Ivan, Suhardi mengajak orang tua untuk lebih memperhatikan tumbuh kembang anak. Meski tidak pernah bergaul dengan orang berpaham radikal, anak sekarang bisa saja teracuni ideologi teroris melalui internet.

BNPT mencatat, saat ini ada lebih dari 9 ribu situs dan media sosial yang menyebarkan pemahaman radikal. Pemblokiran situs adalah salah satu cara untuk memberangus penyebaran paham membahayakan tersebut. Namun, itu harus diikuti dengan operasi lain. Sebab, setelah situs diblokir, bisa saja pembuatnya membuat situs baru. “Makanya, semua harus ikut terlibat. BNPT berupaya mengoorinasi dengan semua kementerian,” paparnya.

Di tempat terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) ikut angkat bicara terkait dengan seseorang yang menjadi teroris karena internet. Dia menegaskan, situs-situs yang menjurus ke ajakan berbuat teror dan radikalisme akan ditutup oleh pemerintah.

“Medsos-medsos berbahaya, pemerintah dapat menyetopnya,” kata JK setelah memberikan kuliah umum kepada peserta Sekolah Staf dan Pemimpin Tinggi (Sespimti) di Istana Wakil Presiden, Jalan Medan Merdeka Selatan, kemarin. Situs yang berbahaya seperti itu akan diperlakukan seperti situs-situs porno yang selama ini telah ditutup.

“Kita memang harus hati-hati dan harus lebih dewasa memperlihatkannya,” ungkap dia.

Lebih lanjut JK, yang berkali-kali terlibat sebagai juru damai untuk beberapa konflik besar di Indonesia, menuturkan bahwa masyarakat tidak boleh mudah terprovokasi. Apalagi menyangkutpautkan satu persoalan kekerasan dengan isu-isu agama. Sebab, itu akan sangat mudah merembet dan menjadi konflik yang lebih luas.

“Poso dan Ambon itu akar persoalannya bukan masalah agama, tapi masalah demokrasi (pemilihan kepala daerah, Red). Kalau Aceh, masalah ketidakadilan ekonomi,” kata JK di hadapan 135 perwira peserta Sespimti.

Dia mengingatkan para perwira polisi bahwa penyebaran informasi saat ini begitu cepat dengan melalui media sosial dan internet. Hal itu sangat berbahaya bila dimanfaatkan untuk menyebarkan kebencian dan paham radikal.

“Kalau dulu 2-3 pekan baru tersebar, sekarang 3-4 menit lewat medsos,” ujar dia. (idr/byu/jun/dod/c11/ang)

Exit mobile version