Site icon SumutPos

Aktualisasi Makna Hijrah

Hijrah merupakan tonggak penting bagi perjalanan Islam dan kaum muslimin. Dengan adanya hijrah, kaum muslimin menemukan posisi strategis untuk mengembangkan dakwah Islam dan menancapkan pondasinya yang kokoh sehingga terwujud negara Islam yang kuat.

Maka sudah selayaknya apabila nilai-nilai berharga yang terkandung di dalamnya diaktualisasikan pada kehiduapan nyata, sehingga akan memberikan dampak positif sebagaimana hijrah ini juga telah memberikan pengaruh signifikan pada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan para sahabatnya ketika itu.

Hijrah secara harfiah berarti meninggalkan dan secara istilah adalah berpindah dari negara ke negara Islam. Negara kafir adalah suatu negara yang syiar-syiar Islam tidak ditegakkan; seperti adzan, shalat berjamaah, hari raya, shalat Jumat, dan lainnya.
Hijrah merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tidak mampu menegakkan syiar-syiar Islam di negara di mana dia menetap, dengan landasan firman Allah yang artinya .

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah). Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu.’ Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS An-Nisa: 97-99)

Imam Bukhari dalam Shahihnya mengungkapkan latar belakang ayat tersebut dengan menukil perkataan Ibnu Abbas, “Ada sekelompok kaum muslimin tinggal bersama kaum musyrikin (di Mekah). Dengan begitu mereka menambah jumlah pasukan musyrikin untuk melawan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam. Lalu mereka terbunuh ditembus anak panah atau tertebas pedang. Lantaran itu Allah menurunkan ayat tersebut”.

Imam Ibnu Katsir seorang penafsir kenamaan mengatakan “Ayat ini mencakup setiap muslim yang menetap di tengah-tengah orang kafir sedangkan dia mampu untuk hijrah dan tidak mampu untuk menegakkan agamanya. Maka orang tersebut telah menzhalimi diri mereka sendiri, dan telah melakukan keharaman berdasarkan ijma (kesepakatan) dan berdasarkan ayat ini”.

Mufassir lain, Imam As-Syaukani memberi tafsiran, “Ayat ini merupakan dalil wajibnya hijrah dari negeri kafir menuju negeri muslim bagi yang tidak kuasa menjalankan agamanya.” Syaikh Ibnu Utsaimin, seorang ulama di masa kita ini mengatakan, “Di dalam ayat tersebut terdapat dalil bahwa orang-orang yang tidak hijrah padahal mereka mampu, maka para malaikat mencabut nyawa mereka dan menghinakan mereka dengan berkata “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Hal ini dikecualikan bagi orang yang lemah, maka Allah mengampuni mereka dan Allah tidak membebani manusia melainkan sesuai kemampuannya.

Yang dikategorikan orang-orang lemah tersebut dijelaskan oleh Imam Ibnu Jarir Ath Thabari yaitu orang yang mendapati kesulitan, tidak memiliki daya dan tidak menemukan jalan untuk hijrah.

Dengan keterangan di muka, maka jelaslah bagi kita bahwa syariat hijrah merupakan suatu kewajiban dan kewajiban ini tetap berlaku serta relevan sampai akhir zaman, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Hijrah tidak terhenti sampai terputusnya taubat dan taubat tidak terputus hingga matahari terbit dari Barat.” (HR Abu Dawd No 2479, Ahmad, 1:192, Darimi, No 2418, dishahihkan oleh Al-Albani).

Sebagai seorang muslim kita harus menaati setiap syariat yang digariskan oleh Rabb kita dan meyakini bahwa syariat tersebut merupakan kemaslahatan dunia dan akhirat kita. Inilah wujud dari persaksian kita bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Kita tidak perlu khawatir kehidupan kita akan bertambah melarat, susah, dan merana.

Allah sudah menjamin akan memberi kecukupan kepada kita. Kekhawatiran ini lebih disebabkan karena kita sudah begitu tergantung kepada kelezatan dunia. Realita yang terpampang di muka kita membuktikan, banyak dari saudara kita yang menetap di negara kafir menjadi lupa akan agamanya, gaya hidup dan pola pikirnya menyerupai orang-orang kafir.

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 100)

Imam Ibnu Katsir menafsirkan, “Ayat ini merupakan dorongan untuk hijrah dan motivasi agar berpisah dengan orang musyrik. Kemanapun orang mukmin itu pergi meninggalkan orang-orang kafir niscaya akan menemukan tempat yang luas dan tempat berteduh.”

Sedang Imam Ibnu Jarir At-Thabari mengatakan, “Barangsiapa meninggalkan negara kafir dan penduduknya yang kafir karena ingin menyelamatkan agamanya menuju negara Islam dan penduduk negeri itu masih komitmen dengan agamanya sesuai dengan yang disyariatkan Allah niscaya dia akan mendapati rezeki yang melimpah di negeri tersebut.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan hijrah ini, seperti diinformasikan oleh Jabir bin Abdillah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pasukan gerak cepat untuk menyerang kaum Khots’am (setelah terjadi peperangan) sebagian penduduk Khots’am menyelamatkan diri dengan bersujud (untuk memberitahukan bahwa mereka muslim), tetapi mereka tetap terbunuh. Berita ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda,

“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang menetap di tengah-tengah orang musyrik.” Para sahabat bertanya: “Mengapa wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Supaya Api keduanya tidak saling terlihat.” (Shahih, Abu Dawud, No 2645).

Maksud dari hadis tersebut adalah wajib bagi setiap muslim agar tempat tinggalnya berjauhan dari tempat tinggal orang-orang musyrik. Jangan menetap di suatu tempat yang mana bila dia menyalakan apinya (lampu rumah atau memasak) akan terlihat oleh orang-orang musyrik. Akan tetapi hendaknya dia tinggal bersama orang-orang muslim lainnya. Ini juga merupakan desakan agar berhijrah. (Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud, 7:219)

Maksudnya orang tersebut disamakan dengan orang-orang musyrik pada sebagian sisi, karena dia bergabung dengan musuh Allah dan loyal kepada mereka. Konsekuensinya dia akan berpaling dari Allah yang akibatnya dia akan dikuasai setan dan menyeretnya ke dalam kekafiran.

Az-Zamakahsari mengatakan, “Ini sangat rasional, sebab loyal kepada yang dicintai dan loyal kepada musuh adalah dua hal yang saling bertentangan. Hadis tersebut mengharuskan hati agar menjauhi musuh-musuh Allah dan jangan sampai bergabung dan berinteraksi dengan mereka.” (Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud, 7:337).

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Bagaimana mungkin hati seorang mukmin akan tega bila dia hidup di negara kafir yang setiap saat disemarakkan syiar-syiar kekafiran dan hukum yang dilaksanakan adalah selain hukum Allah dan hukum Rasul-Nya. Sedangkan dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, mendengar dengan kedua telinganya, dan rela dengan itu semua. Lebih-lebih lagi bila dia menjadi warga negara kafir tersebut beserta seluruh keluarganya, merasa tentram seperti menetap di negara kaum muslimin. Padahal bahaya besar mengancam agama dan akhlaknya dan keluarganya.” (net)

Exit mobile version