Site icon SumutPos

BLT BBM Pertama Diluncurkan di Papua, BSU Masih Proses Finalisasi

BANTUAN: Presiden Joko Widodo berbincang dengan warga yang mengambil bantuan langsung tunai (BLT) Bahan Bakar Minyak (BBM) di Kantor Pos Sentani, Papua, Rabu (31/8). Mulai kemarin, pemerintah telah resmi menyalurkan BLT BBM kepada masyarakat sebagai komopensasi kenaikan harga BBM bersubsidi.

SUMUTPOS.CO – Pemerintah mulai menyalurkan bantuan sosial (Bansos) tambahan bagi masyarakat, sekaligus bentuk pengalihan dari subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kemarin (31/8), Presiden Joko Widodo (Jokowi) membagikan bantuan langsung tunai (BLT) perdana kepada masyarakat di Sentani, Papua.

Penyerahan BLT BBM pertama ini dilakukan di Kantor Pos Sentani. “Hari ini (kemarin, Red) kita telah memulai pembagian BLT BBM,” kata Jokowi.

Dia merincikan, bantuan ini akan diterima selama empat bulan. Setiap bulan diberikan Rp150.000. Namun, penerima akan mendapatkan setiap dua bulan senilai Rp300.000. Dalam keterangannya, Kepala Negara menjelaskan, BLT BBM akan disalurkan kepada penerima manfaat di seluruh Indonesia. Bantuan tersebut, tujuannya guna meningkatkan daya beli masyarakat di tengah ancaman krisis global saat ini. “Agar konsumsi masyarakat menjadi lebih baik,” katanya.

Bantuan BBM ini juga diberikan kepada pekerja. Ada 16 juta pekerja dengan gaji maksimal Rp3,5 juta yang mendapat bantuan ini. “Juga diberikan subsidi BBM bagi para pekerja,” ungkapnya. Nilai bantuannya sama, yakni Rp150.000 dan diberikan untuk empat bulan.

Dalam kesempatan yang sama, Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mengatakan, pembagian BLT Rp600 ribu ini merupakan pengalihan dari subsidi BBM yang selama ini diberikan oleh pemerintah. Pengalihan ini dilakukan lantaran subsidi BBM lebih banyak dimanfaatkan oleh orang yang sejatinya bukan sasaran dari penerima subsidi. “Karena semua disubsidi rata, sehingga subsidi yang besar ini dialukan ke warga miskin,” ujarnya.

Dia pun turut menyampaikan, kenaikan harga BBM ini sejatinya dirasakan oleh seluruh dunia. Bukan hanya di Indonesia. “Nah kalau di luar negeri sana naik, maka kita juga karena kita harus beli minyak itu,” paparnya.

Pencairan BLT ini ternyata belum diikuti dengan bantuan subsidi upah (BSU) yang juga akan jadi bantalan dari kenaikan harga BBM subsidi. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, pihaknya masih dalam proses finalisasi sejumlah hal terkait BSU ini. Diantaranya, peraturan menaker untuk paying hukum pencairan BSU, konsolidasi data pekerja di BPJS Ketenagakerjaan dengan data pegawai TNI, Polri, Aparatur Sipil Negara (ASN), serta penerima bansos lain.

“Karena yang menerima ini bukan TNI, Polri, ASN, penerima PKH (program keluarga harapan, red), dan penerima program kartu pra kerja,” ujar Menaker ditemui usai acara peluncuran laporan potret kerawanan kerja pelaut perikanan di kapal asing oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), di Jakarta, kemarin (31/8).

Konsolidasi juga dilakukan dengan pihak penyalur. Kali ini, selain bank himbara, Kemenaker juga berencana menggandeng PT Pos Indonesia. Memiliki pengalaman yang memadai dan lebih mudah dijangkau masyarakat menjadi alasan pelibatan PT Pos dalam penyaluran kali ini. “Ditambah PT POS yang terbukti efektif untuk mempercepat penyaluran, karena seperti instruksi Pak Presiden untuk cepat dan tepat,” ungkapnya.

Disinggung soal syarat calon penerima, Ida mengatakan, salah satu yang harus dipenuhi nantinya ialah terkait batas kepesertaan aktif di BPJS Ketenagakerjaan. Yakni, Juli 2022. Selain itu, calon penerima merupakan pekerja penerima upah dengan besaran Rp 3,5 juta per bulan.

Sebelumnya, data BPJS Ketenagakerjaan untuk program BSU 2021, dengan kriteria pekerja upah dibawah Rp3,5 juta hanya berkisar 8,6 juta orang. Sementara, target penerima BSU 2022 mencapai 16 juta. Mengenai pemenuhan jumlah kuota tersebut, Ida tak memberi jawaban pasti. Dia hanya menegaskan, data 16 juta tersebut sebelum dipadankan dengan syarat dan ketentuan yang ada. “Nanti kami cleansing dengan ketentuan tadi. Apakah semuanya sudah bukan PNS, TNI, Polri, penerima PKH,” ungkapnya.

Terpisah, Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Oni Marbun tak banyak merespon terkait data ini. Dia hanya menyampaikan, bahwa pihaknya siap mendukung kebijakan tersebut.

“Sebagai mitra penyedia data, BPJAMSOSTEK akan mempersiapkan data secara komprehensif sesuai dengan kriteria teknis yang masih dalam tahap penyusunan regulasi pendukung oleh pemerintah,” paparnya.

Ia pun turut menghimbau perusahaan/pemberi kerja untuk selalu memastikan semua pekerja telah terdaftar, melaporkan gaji/upah dengan benar dan tidak menunggak pembayaran iuran, serta melengkapi / memutakhirkan data pekerja. “Termasuk informasi nomor rekening peserta guna kelancaran dalam proses penyaluran BSU,” ujarnya.

Pengamat Politik Ekonomi Kapitra Ampera memandang, masyarakat tidak perlu panik jika harga BBM bersubsidi naik. Menurut dia, penyesuaian harga diperlukan untuk menjaga kesinambungan perekonomian masyarakat maupun negara.

Sebab, fakta di lapangan, 80 persen subsidi justru dinikmati orang mampu, bukan masyarakat yang memerlukan. Jika hal it uterus dipaksakan tanpa ada penyesuaian harga, maka akan timbul turbulensi ekonomi. “Masyarakat perlu berpikir rasional. Jika harga BBM tidak disesuaikan, maka Indonesia akan masuk dalam kegelapan dan menuju fase failed state seperti Sri Lanka, karena semua sektor produksi pasti ditutup,’’ jelasnya.

Kapitra menilai pemerintah harus menyiapkan strategi agar penyesuaian harga BBM tidak berdampak luas kepada sektor lainnya. Dalam hal ini perlu menyiapkan bantalan sosial, antara lain mengontrol harga barang kebutuhan pokok agar tidak melonjak secara siginifikan.

Kemudian, pemerintah perlu melakukan penyekatan BBM bersubsidi dan non subsidi. Sehingga BBM bersubsidi tidak lagi dinikmati orang-orang kaya dan bisa tepat sasaran bagi masyarakat yang membutuhkan. “Untuk mencegah Indonesia menjadi negara bangkrut, maka kita harus bersikap rasional dengan menyesuaikan harga BBM. Namun demikian, ada kompensasi negara kepada masyarakat, diantaranya jaringan pengaman sosial harus sampai ke masyarakat, seperti halnya BLT, Bansos, dan lain sebagainya,” sebut Kapitra.

Menurut Kapitra, efisiensi menjadi penting, dan subsidi yang tepat sasaran harus menjadi prioritas negara. Negara tidak boleh terlalu memanjakan masyarakat dengan subsidi, karena akan membuat daya juang masyarakat menjadi lemah.

Apalagi, harga minyak di RI jauh lebih rendah dari negara lain. Ada dua hal besar yang tidak dapat dihindari, yaitu pandemi dan perang Rusia-Ukraina. Efisiensi-efisiensi tersebut menjadi faktor penentu untuk bangsa ini agar tetap bertahan dan tidak menjadi bangsa gagal. “Penyesuaian harga BBM harus dilakukan untuk menyelamatkan masyarakat Indonesia. Jika harga BBM tidak disesuaikan, maka APBN akan jebol dan terjadi resesi ekonomi,” jelasnya.

Pada kesempatan yang berbeda, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) Wahyudi Anas mengatakan, kelebihan beban subsidi memang sudah terjadi. Menurutnya, prognosa yang dimiliki lembaganya terkait konsumsi BBM bersubidi tahun ini sudah lebih dari kuota yang ditetapkan. Misalnya, proyeksi konsumsi biosolar yang diperkirakan mencapai 16,8 juta – 17,3 juta kilo liter. “Perlu diketahui bahwa kuota biosolar tahun ini 15,1 juta KL. Saat ini prognosanya sudah kami kirim ke pemerintah,” jelasnya.

Kelebihan konsumsi tersebut bahkan lebih jelas untuk Pertalite. Prognosa dari komite BPH mencapai 30 juta kilo liter. Padahal, kuota pertalite nasional 23,5 juta kl. Karena itulah, pihaknya sudah mengirimkan usulan mengenai perbaikan ketentuan kendaraan yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi.

Karena itu, dia mengatakan bahwa upaya untuk mengidentifikasi kendaraan untuk subsidi yang tepat sangat penting. Dia juga mengatakan bahwa menggodok harga baru BBM memang harus hati-hati jika dilakukan. ’’Pertimbangan paling berat adalah soal disparitas harga. Kalau terlalu jauh bisa jadi konsumen migrasi,’’ paparnya.

Dia mencontohkan kenaikan harga solar nonsubsidi membuat harganya tiga kali lipat dari harga biosolar. Hal tersebut membuatnya mencatat temuan kendaraan solar pribadi dengan cc besar akhirnya membeli biosolar. Padahal, mesin mereka sudah masuk standar Euro 4 dan berbahaya jika diberi solar subsidi.

Yapit Sapta Putra, anggota komite lainnya, mengatakan hal tersebut juga bisa terjadi ke produk BBM gasoline. Karena itu, dia mengatakan bahwa pengaturan harga pada akhirnya memang harus dilakukan agar masyarakat masih terdorong membeli produk non subsidi. ’’Yang kami pastikan, BBM itu tidak habis. Masih ada yang subsidi dan umum. Soal my pertamina itu kami memang ingin merinci mana yang berhak,’’ jelasnya.

Terpisah, anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menolak kenaikan BBM. Menurut dia, pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM bersubsidi, sebab harga minyak dunia masih di bawah besaran asumsi makro yang tercantum dalam APBN 2022, yaitu sebesar 100 USD per barel.

Sehingga, kata Mulyanto, APBN 2022 masih dapat menutupi kebutuhan subsidi BBM hingga akhir 2022. Sebelumnya, Staf Khusus (Stafsus) Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyebutkan bahwa APBN tahun ini cukup untuk membiayai subsidi BBM dan kompensasi energi hingga Desember 2022. “Selama pergerakan harga minyak mentah dunia berada dalam rentang yang tidak terlalu jauh dari 100 USD per barel,” ungkapnya.

Jadi, lanjut politisi PKS itu, selama harga minyak mentah dunia berada dalam rentang 100 USD per barel, maka tidak ada urgensi bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.

Mulyanto mengatakan, berdasarkan data oilprice.com diketahui per 30 Agustus 2022 harga minyak mentah WTI crude maupun brent crude dalam 3 bulan terakhir terus turun dan sudah mendekati angka 90 USD per barel. “Kalaupun terjadi pergerakan, maka pergerakannya secara umum tetap dalam rentang 100 USD per barel,” urainya.

Karena itu, kata Mulyanto, pergerakan harga minyak mentah dunia masih sesuai dengan asumsi revisi APBN 2022. Jadi alasan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi memang kurang mendasar.

Mulyanto mendesak pemerintah untuk mengambil opsi kebijakan pembatasan dan pengawasan, agar distribusi BBM bersubsidi tepat sasaran, daripada menaikkan harga BBM bersubsidi yang penuh risiko. “Kebijakan pembatasan distribusi BBM bersubsidi kepada mereka yang berhak, memiliki resiko ekonomi dan sosial yang lebih ringan bagi masyarakat,” tandasnya. (lyn/mia/dee/bil/lum)

Exit mobile version