Site icon SumutPos

Bidikan KPK Pimpin DPR

Setya Novanto
Setya Novanto

JAKARTA, SUMUTPOS.CO-Ditetapkannya Setya Novanto, legislator Fraksi Partai Golongan Karya sebagai Ketua DPR RI periode 2014-2019, memantik reaksi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, Bendahara Umum DPP Partai Golkar itu adalah bidikan KPK. Dia memiliki catatan yang minus karena beberapa kali pernah dikaitkan dalam sejumlah kasus korupsi.

Beberapa kasus yang kerap dikaitkan dengan dia mulai dari kasus PON Riau yang menyeret mantan Gubernur Riau Rusli Zainal. Atas kasus itu, KPK pernah menggeledah ruang kerja Novanto. Di kasus Akil Mochtar, dia juga disebut punya kaitan. Gara-gara pesan lewat BlackBery Messenger (BBM) antara Sekjen Partai Golkar Idrus Marham dan Zainuddin Amali, ketua DPD Golkar Jatim ketika itu, dia harus memberikan kesaksian di sidang Akil. Terpidana kasus wisma atlet M Nazaruddin juga pernah menyebut keterlibatan Setya dalam proyek eKTP dan pengadaan seragam hansip.

Ketua KPK Abraham Samad mengaku kecewa dengan terpilihnya Setya sebagai ketua DPR. “KPK kecewa dengan terpilihnya ketua DPR baru. Namun demikian, kita tetap menghargai proses yang terjadi di DPR,” ujarnya.

Lebih lanjut, Samad mengatakan, kekecewaan itu juga didasarkan pada masih berjalannya kasus-kasus yang dikaitkan dengan Novanto. Lantaran belum selesai, pintu dibukanya tersangka baru masih terbuka lebar. “KPK sangat prihatin dan menyesalkan terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua DPR. Yang bersangkutan punya potensi mempunyai masalah hukum dan bisa merusak citra DPR sebagai lembaga terhormat,” jelasnya.

Koordinator ICW Ade Irawan menambahkan, pihaknya menolak dijadikannya orang-orang bermasalah sebagai pimpinan DPR. Menurut ICW, pemilihan pimpinan DPR yang berintegritas mutlak diperlukan. Untuk mengembalikan citra parlemen yang buruk, parlemen harus dipimpin orang-orang berintegritas dan bebas dari persoalan korupsi. “ICW menolak keras adanya politik dagang sapi dalam pemilihan pimpinan DPR antara koalisi partai sehingga menafikan aspek paling utama yakni integritas dan kapasitas,” jelasnya.

Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronald Rofiandri menyatakan, paket pimpinan DPR periode 2014-2019 meninggalkan catatan pada sisi pemberantasan korupsi. Ronald menyebut, sejumlah pimpinan DPR memiliki catatan negatif terkait dengan pemberantasan korupsi.

“Mulai dari keterkaitan dengan kasus korupsi berdasarkan saksi-saksi, persidangan, motor wacana pembubaran KPK, dan terhukum Badan Kehormatan dalam kaitan kasus korupsi,” ujar Ronald.

Ronald menilai ada titik rawan berdasarkan rekam jejak sejumlah pimpinan DPR tersebut. Hal ini menjadi seruan kepada masyarakat sipil dan publik untuk meningkatkan pengawasan dalam kerja-kerja DPR RI periode 2014-2019.

“Dengan penetapan ini, aparat penegak hukum untuk terus tetap bekerja secara profesional dan tidak terintimidasi dalam mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pimpinan dan anggota DPR,” ujarnya.

Sebelumnya, paket pimpinan DPR usulan Koalisi Merah Putih disepakati dalam sidang paripurna DPR yang berlangsung dini hari kemarin. Novanto terpilih sebagai Ketua DPR, sementara empat Wakil Ketua DPR lainnya adalah Fadli Zon dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Agus Hermanto dari Fraksi Partai Demokrat, Taufik Kurniawan dari Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fahri Hamzah dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Pemilihan pimpinan DPR itu diwarnai aksi walkout dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Nasdem.

Sosok Novanto, dalam catatan PSHK, memiliki sejumlah keterkaitan dalam kasus korupsi di KPK. Di kasus korupsi PON Riau, Novanto dipanggil terkait dugaan suap Revisi Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau. Dalam kasus yang menyeret mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Novanto juga pernah dimintai keterangan terkait dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang terkait sengketa pemilihan kepala daerah di MK.

Tidak hanya itu, proyek e-KTP yang menyeret salah satu pejabat Kementerian Dalam Negeri, juga sempat membawa nama Novanto di dalamnya. Setya ditengarai mengutak-atik perencanaan dan anggaran proyek senilai Rp5,9 triliun tersebut. Sampai saat ini Novanto belum pernah dipanggil oleh KPK dalam kaitan kasus e-KTP.

Begitupun, dengan sosok Fahri. Masih berdasar catatan PSHK, di periode lalu yang bersangkutan adalah salah satu anggota DPR yang dinilai kontroversial. Fahri pernah menyuarakan pembubaran KPK karena dia menilai lembaga antirasuah itu bukanlah lembaga penegak hukum yang bersifat permanen. Di akhir masa jabatan periode lalu, Fahri mangkir dalam pemeriksaan Badan Kehormatan, terkait aduan dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta atas pencemaran nama baik.

Ketua Fraksi Partai Golkar Ade Komarudin menilai Novanto adalah sosok yang tepat untuk menjadi pimpinan DPR. Dia menilai adanya anggapan keterkaitan Novanto dalam urusan hukum tidak perlu dilebih-lebihkan.

“Kalau di Golkar itu urusan hukum kita serahkan ke aparat penegak hukum. Bukan urusan kita. Kita ini partai politik,” ujar Ade.

Ade yang juga mantan Sekretaris Fraksi Partai Golkar di DPR periode lalu menyatakan, terpilihnya Novanto menjadi salah satu target yang tercapai. “Semua agenda politik berjalan baik. Jadi tidak ada perdebatan apapun di Golkar soal itu,” tegasnya.

Sejumlah politisi PKB memberikan beberapa catatan terkait kepemimpinan DPR yang baru disahkan kemarin. Anggota Fraksi PKB Maman Imanulhaq, diantaranya, menganggap proses terpilihnya kelima pimpinan DPR periode 2014-2019, cacat secara moral politik. “Yang dipertontonkan hanyalah politik adu licik, bukan politik adu ide dan gagasan,” nilainya.

Rekannya sesama fraksi, Daniel Johan menambahkan, secara prosedural, sidang paripurna yang menjadi forum terpilihnya komposisi pimpinan DPR juga cacat. Menurut dia, hal itu berkaitan dengan belum terbentuknya seluruh pimpinan fraksi-fraksi yang ada di DPR.

Saat sidang paripurna, Rabu (1/10) dini hari, dari 10 fraksi yang ada, 3 fraksi tidak mengikuti agenda pengesahan fraksi. Meski hadir di ruang sidang, PDIP, PKB, dan Hanura, menolak mengikuti mata agenda tersebut. Sambil terus melakukan interupsi, mereka berkeyakinan, sidang paripurna itu sudah bermasalah lebih dulu sehingga harus dibatalkan.

Meski terus mendapat interupsi, pimpinan sidang sementara saat itu, Popong Otje Djundjunan tetap bergeming. Walau baru 7 fraksi yang bersedia menyampaikan nama dan pimpinan fraksi, agenda tetap dilanjutkan dengan penyampaian paket pimpinan DPR.

“Karena bermasalah, kami memandang hasil rapat paripurna tentang pemilihan pimpinana DPR tersebut menjadi tidak sah,” tegas Daniel di komplek parlemen kemarin. Dia menegaskan, pandangan tersebut tidak mewakili fraksinya, namun merupakan sikap pribadi sebagai anggota DPR.

“Untuk melakukan pembelajaran politik dan menegakkan etika kedewanan, kami akan menggugat pimpinan sementara DPR kepada rapat paripurna,” imbuhnya. Hal itu terpaksa menjadi satu-satunya yang bisa dilakukan, lanjut dia, karena Badan Kehormatan DPR masih belum terbentuk. (dim/bay/dyn/jpnn/rbb)

Exit mobile version