Site icon SumutPos

AJI: Pers di Indonesia Belum Bebas

FOTO: MIFTAHULHAYAT/JAWA POS
Wakil Presiden Jusuf Kalla (ketiga kiri), Director-General UNESCO Irina Bokova (keempat kiri), Menkopolhukam Wiranto (kedua kanan), Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah (ketiga kanan), Menkominfo Rudiantara (kedua kiri), Mendikbud Muhadjir Effendy (kanan) dan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo (kiri) pada pembukaan World Press Freedom Day di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (3/5). WPFD yang diikuti sekitar 1.300 jurnalis dalam dan luar negeri itu dalam rangka memperingati hari kebebasan pers dunia.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO  – Kebebasan pers di Indonesia masih dipertanyakan. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Suwarjono menjelaskan bahwa sepanjang 2016, setidaknya ada 78 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Selama 2017, jumlah kasus kekerasan terhadap jurbnalis sudah mencapai 24 kasus per April lalu.

”Sejak 2014 trennya terus meningkat. Dari 42 kasus di 2014 jadi 44 kasus di 2015 dan naik hampir 100 persen di 2016,” kata pria yang akrab disapa Jono itu pada konferensi pers di World Press Freedom Day (WPFD) di Jakarta Convention Center, Rabu (3/5).

Kasus-kasus yang terjadi, kata Jono, didominasi bentuk kekerasan fisik yang jumlahnya mencapai 38 kasus. Pengusiran dan/atay pelarangan liputan juga masih marak terjadi. Jumlahnya mencapai 14 kasus. Dari data yang dihimpun AJI Indonesia, setidaknya ada sembilan kasus kekerasan yang dengan sengaja dilakukan untuk merampas atau merusak data, foto, rekaman video yang diperoleh jurnalis di lapangan.

Selain itu, ada juga kasus pemidanaan atau kriminalisasi. Termasuk kasus pelaporan situs berita tirto.id oleh Ketua Bidang Hukum dan Advokasi DPP Perindo Christophorus Taufik. AJI Indonesia juga mencatat masih banyaknya ancaman dan teror serius kepada jurnalis. Termasuk intimidasi secara lisan yang masih sering terjadi. Sayangnya, kata Jono, tindak kekerasan kepada jurnalis ini sepertinya masih belum mendapat perhatian khsusu dari penegak hukum. Yakni polisi.

”Hingga saat ini, tidak ada pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang dibaw ake pengadilan. Ini yang akan membuat kekerasan terhadap jurnalis jadi terus menerus terjadi. Karena lemahnya penegakan hukum,” ungkap Jono.

”Kasus yang terjadi dari 2015 sampai 2017 ini tidak ada yang ditindaklanjuti sampai pengadilan. Dan jumlahnya signifikan,” tambahnya.

Praktik-praktik impunitas itulah yang membuat warga negara semakin abai bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi. Abainya warga negara terhadap jaminan perlindungan hukum profesi jurnalis membuat munculnya aktor-aktor pelaku kekerasan yang baru.

Impunitas juga membuat sebaran kasus kekerasan terhadap jurnalis semakin meluas. DKI Jakarta menjadi salah satu lokasi dengan kasus kekerasan terbanyak (11 kasus), diikuti Provinsi Jawa Timur (delapan kasus) dan Provinsi Sumatera Utara (tujuh kasus). Ketua AJI Surabaya Prastowardoyo mencontohkan kasus yang terjadi di wilayahnya. Kekerasan yang menimpa Ghinan Salman, jurnalis Radar Madura Biro Bangkalan, menjadi bukti lemahnya penegakan hukum dari pihak kepolisian.

”Ghinan diminta menghapus foto para pegawai Dinas PU Bina Marga yang tengah bermain tenis meja di sela jam kerja mereka. Dia menolak lalu diancam dan dikeroyok oleh 10 orang. Tapi hingga saat ini kasusnya tidak juga selesai,” terang Prastowardoyo.

FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS
Wapres Jusuf Kalla (kanan) bersama Director General UNESCO Irina Bokova (kiri) meninjau pameran foto “80 Years in 80 Photos : Chronicling Indonesia in Images since 1937” saat pembukaan World Press Freedom Day 2017 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Rabu (3/5). Pameran foto jurnalistik tersebut bercerita tentang perjalanan pers Indonesia selama 80 tahun.

Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan semua pekerjaan pasti punya risiko yang harus dihadapi. Termasuk potensi kekerasan pada para jurnalis. Salah satu penyebabnya adalah ada jurnalis yang membuat berita tapi lebih mengarah sebagai fitnah.

”Kalau anda menulis hangat dengan fitnah pasti orang marah juga kan,” ujar dia usai membuka World Press Freedom 2017 di JCC kemarin (3/5).

Menurut JK, orang akan respek dengan berita yang ditulis bila disertai dengan fakta-fakta objektif yang didukung bukti yang lebih nyata. Bila melanggar ketentuan itu akan membuat pembaca atau masyarakat marah. ”Jadi ada hak anda bebas tapi kewajiban anda menjaga objektifitas,” tambah dia.

Meskipun begitu, dia juga berharap media tetap menjadi mitra yang kritis pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Sehingga arah kemajuan negara bisa tetap terus terjaga dengan baik.

”Negara tanpa kritik, negara tanpa pandangan-pandangan kritis tidak juga dapat menjalankan misi kenegaraannya, pemerintahannya yang baik dan adil,”  imbuh JK. Dia pun menjamin tidak ada intervensi pemerintah kepada media. Tapi, dia berharap media menjaga dirinya sendiri dengan tetap objektif. ”Sehingga menjaga keutuhan masyarakat. Itu harapan kita smua,” jelas dia.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menambahkan perlu dibedakan perlakuan antara media mainstream dengan media sosial. Di media sosial aturan yang dipakai adalah undang-undang informasi dan transaksi elektronik. Sedangkan untuk media mainstream menggunakan undang-undang 40/1999 tentang Pers.

”Di Indonesia yang tidak ada PP (peraturan pemerintah) dan tidak ada permen (peraturan menteri). Artinya tidak ada intervensi pemerintah terhadap landscape pers Indonesia,” tegas dia. (and/jun/jpg)

Exit mobile version