Site icon SumutPos

Labora Sitorus Dikawal Pasukan Siap Mati

Aiptu Labora Sitorus.
Aiptu Labora Sitorus.

SORONG, SUMUTPOS.CO – Aiptu Labora Sitorus belum mau menyerah. Polisi pemilik rekening Rp1,5 triliun ini ngotot tak bersalah. Selain itu, jika dia dieksekusi, ratusan bahkan ribuan pasukan siap mati dipastikan membelanya.

Itulah sebab, ia kemudian mengancam akan menjalankan hukum rimba jika Kejaksaan Negeri Sorong, Papua Barat menjebloskannya ke bui. “Ada hukum rimba, saya ini tidak bersalah,” tegas Labora, kemarin.

Hukum rimba, menurut Labora, bisa saja bakal terjadi bentrok antara pendukungnya dengan aparat keamanan. “Saya tak akan mengerahkan massa saat eksekusi berlangsung. Tapi kalau ada warga yang membela saya, itu hak mereka. Saya tidak bisa paksa,” ujarnya.

Menurut Labora, ia telah memegang surat bebas dari hukuman. Ia pun membantah melarikan diri. “Saya tidak pernah melarikan diri, saya sementara ini sakit,” ujarnya

Adik angkat Labora, Freddy Fakdawer, mengatakan jumlah pendukung Labora ribuan orang. Pendukungnya akan mengawal Labora agar tidak dijebloskan ke bui. ” Kami siap mati, pasti akan ada bentrok dengan keamanan, tapi kami tidak akan menyerah,” ujarnya.

Pengadilan Negeri Sorong menghukum Labora bersalah dalam kasus ilegal loging, penyalagunaan bahan bakar minyak, dan tindak pidana pencucian uang.

Majelis hakim yang dipimpin Martinus Bala memvonis Labora dengan 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta pada 17 Februari 2014. Hukuman ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta hakim memvonis Labora 15 tahun bui dan denda Rp100 juta subsider 10 tahun bui.

Jaksa mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Sorong. Mahkamah Agung pada 17 September 2014 menjatuhkan vonis 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar subsider 1 tahun kurungan kepada Labora. Vonis ini sesuai dengan permohonan kasasi jaksa.

Hingga kini Labora masih berkukuh tak harus masuk bui karena dia memiliki surat bebas yang disebut pihak Kemenkumham tidak sah. “Kalau dibilang surat bebas itu tidak sah, saya pertanyakan sekarang, kenapa tidak sah? Lah, yang mengeluarkan itu, kan, pihak berwenang, seharusnya yang menandatangani surat itu yang mesti dipidana,” ujarnya.

Menurut dia, dirinya tak pernah melarikan diri. Ia selalu berada di rumah. “Saya tidak pernah melarikan diri dan ada di rumah,” ujarnya. Karena itu, ia menolak disebut masuk dalam daftar pencarian orang. ”Kenapa saya harus disebut DPO? Saya salah apa sampai harus dicari seperti koruptor?” katanya.

“Saya ini bukan aiptu seperti yang dikabarkan, saya masih berpangkat bripka,” dia menjelaskan.

Labora heran dengan sejumlah petugas penegak hukum yang mengunjunginya untuk bernegosiasi. Menurut dia, seorang terpidana tidak bisa dibujuk persuasif. “Kalau saya dianggap bersalah, seharusnya saya langsung ditangkap, kenapa harus ada negosiasi?” ujarnya.

Sebelumnya, soal surat saktinya, Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham Handoyo Sudrajad memastikan surat keterangan bebas hukum untuk Labora tidak sah. Surat tersebut dikeluarkan tidak sesuai dengan prosedur yang ada di Kemenkumham.

“Suratnya salah tidak sesuai prosedur, surat yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bebas demi hukum keluar dari lapas saya pastikan itu tidak sah,” kata Handoyo yang kemarin berada di Papua.

Dia mengatakan, saat ini Inspektorat Jenderal Kemenkumham sedang melakukan pemeriksaan terhadap Kepala Lapas Sorong. Jika terbukti salah, Handoyo memastikan yang bersangkutan akan mendapat sanksi berat. Namun, dia belum mau menyatakan sanksi apa yang bakal dikenakan. Sebab, hal itu tergantung hasil pemeriksaan sejauh mana kadar kesalahannya.

Handoyo menambahkan, upaya penangkapan terhadap Labora sedang dilakukan. Kemenkumham bersama Polda Papua Barat saat ini sedang berusaha untuk menangkap Labora kembali. Labora diketahui berada di rumahnya di Sorong, Papua Barat.

Handoyo mengaku, ada orang-orang yang menjaga Labora. Orang-orang tersebut sengaja dipersiapkan untuk mengamankannya dari berbagai hal, termasuk upaya penangkapan yang dilakukan petugas. “Kita tahu duitnya kan banyak,” ujarnya.

Seperti diketahui, Kejaksaan Negeri Sorong, Papua Barat menetapkan Labora sebagai buronan karena tidak berada di Lapas Sorong saat dieksekusi pada November 2014 lalu. Labora Sitorus dikabarkan menjalankan pengobatan ke rumah sakit Angkatan Laut Sorong, namun tak pernah kembali lagi ke Lapas Sorong, sejak (17/3).

“Tapi kami tetap berharap yang bersangkutan secara kooperatif menyerahkan diri ke kejaksaan,” ujar Brigjen Pol Paulus Waterpauw, beberapa waktu lalu.

Paulus mengakui, saat ini Labora masih berstatus sebagai anggota Polri meski sudah ada keputusan pengadilan atas kasus yang menyeretnya. Sebab, Polda belum menggelar sidang kode etik. Namun lanjut kapolda, sejak bergulirnya kasus, Labora sudah lama tidak menerima gaji sebagai polisi. Gajinya dihentikan dan dikembalikan ke negara.

“Sebelumnya sudah disiapkan di Polda Papua (Sidang kode etik,red) tetapi karena yang bersangkutan sedang dalam proses hukum sehingga masih diberi kesempatan dulu mengikuti proses pidananya,” kata jenderal bintang satu itu.

Sebelumnya, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan Labora memiliki rekening Rp 1,5 triliun. Dengan pangkatnya yang hanya pembantu perwira menengah, kekayaan ini memang sulit diterima nalar.

Dari penyidikan yang dilakukan Polda Papua, LS setidaknya memiliki dua bisnis. Selain mempunyai sawmil yang mengolah kayu untuk dikirim ke Surabaya, Jawa Timur, Bintara Tinggi yang kini bertugas di Polres Raja Ampat Papua Barat itu juga memiliki perusahaan yang menyuplai bahan bakar minyak (BBM).

Labora sendiri sudah pernah membantah temuan PPATK. Ia bingung dengan tuduhan memiliki banyak rekening, apalagi sampai transaksi mencapai triliunan. Menurutnya, ia hanya memiliki empat rekening. Tiga di Bank Mandiri dan satunya lagi di Bank Papua. “Saya tidak ngerti (tudingan adanya puluhan rekening),” kata LSabora saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat (17/5) lalu. (bbs/rbb)

Exit mobile version