Site icon SumutPos

Trotoar Steril dari Tiang Reklame dan Lapak PKL

Foto: Pran Hasibuan/Sumut Pos
Salah satu infrastruktur di Bali, yakni Jalan Tol Bali Mandara yang dibangun di atas laut.

SUMUTPOS.CO – Kota Denpasar, Provinsi Bali sepertinya bisa dijadikan kiblat bagi seluruh daerah di Indonesia termasuk Medan, dalam hal penataan trotoar sebagai fasilitas umum (fasum) yang bebas dari papan reklame, pedagang kaki lima (PKL) dan lainnya.

==============================================================================

PRAN HASIBUAN, Medan

==============================================================================

Semangat Pemerintah Kota Medan mensterilkan trotoar melalui Perda Penyelenggaraan Reklame nantinya, diharapkan mampu menjadikan Ibukota Provinsi Sumut setara dengan Kota Denpasar dalam hal penataan trotoar.

Hampir sulit ditemukan gangguan pemandangan tak elok pada setiap trotoar yang ada di Kota Denpasar, baik adanya lapak-lapak PKL, tiang-tiang reklame, parkir kenderaan roda dua, dan lainnya. Trotoar yang merupakan fasum atau ruang milik jalan (rumija) di sana, begitu steril dari gangguan-gangguan tersebut.

Sangat kontras bila ingin dibandingkan kondisi itu di Kota Medan, Ibukota Provinsi Sumut. Trotoar yang harusnya menjadi hak pejalan kaki, justru digerus keberadaannya oleh lapak PKL dan tiang-tiang reklame yang banyak tanpa izin, serta tak memberi kontribusi pendapatan asli daerah (PAD).

Menilik lebih jauh, keberadaan trotoar sejatinya bermaksud mempercantik tata ruang dan wilayah dari suatu kota. Meski kondisi jalanan yang sempit, keberadaan trotoar yang tertata rapi justru menjadi kunci keindahan sebuah kota itu. Di Medan, luas jalan bisa dibilang dua kali lebih besar dari Kota Denpasar. Ya, mayoritas jalan di Provinsi Bali terutama Denpasar sebagai ibukota, sangatlah minimalis.

Tapi kebijakan pemerintah setempat terhadap fasum bebas dari semua gangguan tersebut, sangat membantu terbentuknya penataan sebuah kota yang selalu dikunjungi para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara setiap tahunnya. “Di Bali keseluruhan jalan memang kecil sekali. Mungkin masih lebih besar jalanan di Kota Medan,” kata Dewi, pemandu wisata sebuah travel di Bali.

Dewi menyebutkan, hanya terdapat tiga titik jalan by pass di Bali di mana selebihnya kondisi jalan begitu minimalis. “Satu titik ada di Kota Denpasar, Gianyar dan di daerah Kabupaten Badung yang sering kami sebut di sini sebagai lingkaran setan. Jalan yang terakhir itu biasanya tidak pernah sepi dari kepadatan arus lalu lintas,” katanya.

Untuk trotoar, dirinya mengakui kawasan itu wajib steril dari lapak PKL, pendirian tiang-tiang reklame maupun lokasi parkir kenderaan roda dua. Selain ada aturan tegas dari pemerintah daerah setempat, juga kuatnya budaya malu masyarakat Bali apabila melanggar aturan. “Jadi tidak mesti ada perda dan lainnya, kami di sini masih punya rasa malu yang begitu kuat. Malu untuk berbuat salah dan melanggar aturan,” katanya.

Denpasar juga memiliki Jalan Tol Bali Mandara yang mempunyai empat jalur dan dibuka untuk kalangan tertentu pada 23 September 2013. Dewi menjelaskan Jalan tol itu lalu dibuka untuk umum pada 1 Oktober 2013, di mana menghubungkan Pelabuhan Benoa, Bandara Ngurah Rai dan Nusa Dua. Jalan sepanjang 12.45 km ini juga dibangun dengan jalur khusus untuk motor. Di Bali juga ada tradisi atau kepercayaan bahwa pembangunan jembatan atau jalan layang itu tidak sopan karena ada orang-orang yang berlalu lalang di atas orang-orang yang berada di bawahnya.

“Di Bali itu ada juga peraturan, bahwa bangunan tidak boleh melebihi tinggi pohon kelapa dan harus mencerminkan arsitektur Bali. Maka dari itu, mana ada mall atau apartemen tinggi-tinggi kayak di Jakarta di sini,” katanya.

Diketahui, Pemko Medan saat ini sedang menggodok Perda Penyelenggaraan Reklame sebagai revisi atas Perda Pajak Reklame. Menurut Wakil Wali Kota Medan Akhyar Nasution, dirinya sudah mewanti-wanti dalam draf perda itu jangan masuk pasal karet yang masih membenarkan pendirian tiang reklame di atas trotoar. Artinya ke depan trotoar di Medan akan disterilkan dari hal-hal semacam itu, termasuk lapak-lapak PKL. Tiang reklame diharuskan berada di tanah milik masyarakat atau pihak ketiga, melalui sistem sewa yang mana terlebih dahulu sudah mendapat persetujuan dari tim ahli konstruksi. Mampukah kota ini belajar dari Denpasar dalam hal penataan trotoar sebagai rumija? Seharusnya tidak ada salahnya untuk meniru yang baik. (*/ila)

 

Exit mobile version