Site icon SumutPos

Presiden & DPR Saling Serang

Politikus PKS yang juga Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah.
Politikus PKS yang juga Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah.

SUMUTPOS.CO – Salah satu yang paling getol mempersoalkannya adalah Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Politikus PKS itu mengatakan, program-program tersebut harus sesuai azas legalitas.

Fahri mempertanyakan dari mana sumber dana pembiayaan ketiga program tersebut. Terkait pembuatan kartu KIS, KIP dan KJP, setiap program yang bernilai Rp1 milliar harus ditender, apalagi pembuatan ketiga kartu yang diperkirakan bernilai triliunan rupiah.

“Kartu itu kan mesti ditender. Coba bayangin misalnya satu pembuatan kartu harganya Rp5 ribu, terus dikali Rp15 juta, sudah berapa coba. Berapa triliun itu cuma kartu doang. Yang di atas Rp1 miliar saja harus ditender apa lagi yang triliunan. Kan tidak main-main ini,” ujar Fahri.

Politikus PKS itu mengingatkan Presiden Jokowi agar tidak tersandung masalah seperti kasus Bank Century. Kekhawatiran itu timbul karena ia melihat kasus Bank Century yang tidak melibatkan dewan yang terjadi beberapa waktu lalu.

“Anda ingat kasus Century kan, pemerintah bilang itu itikad baik menyelamatkan bangsa dari krisis ekonomi dunia. Tapi akhirnya apa? Orang masuk bui kok. Jadi itikad baik itu tidak satu-satunya, tapi legal prosedural harus dipenuhi. Itulah yang kita takutkan kalau enggak ngajak dewan, bisa tidak legal,” ujar Fahri.

Menurut anggota DPR asal Sumut dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Saleh Partaonan Daulay, sampai saat ini belum jelas apa yang menjadi dasar hukumnya.

Sehingga wajar jika banyak kalangan mempertanyakan. Apalagi program ketiga jenis kartu tersebut menelan biaya yang cukup besar.

“Pemerintahan ini kan hanya mewarisi APBN yang lalu. Artinya, program-program tersebut belum dicantumkan secara eksplisit di dalam APBN. Pertanyaannya, dari mana sumber anggaran untuk membiayai program-program itu,” katanya di Jakarta, Jumat (7/11).

Menurut Daulay, sejauh ini pemerintah memang telah mengatakan sumber pembiayaan untuk KIS diambil dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Sementara KIP diambil dari alokasi dana yang ada di kementerian pendidikan. Lalu ada juga anggaran yang diambil dari CSR BUMN.

“Apakah kementerian pendidikan memiliki program itu ketika mereka menyusun APBN? Kalau tidak, lalu bagaimana cara pemerintah mengalokasikan anggaran untuk program tersebut,” katanya.

Begitu juga dana yang ada di BPJS dan BUMN. Sebagai badan milik negara, kedua badan tersebut kata Ketua DPP PAN ini, tidak semestinya mengeluarkan anggaran tanpa perencanaan yang baik.

Para direksi dan komisioner yang ada, bertanggung jawab untuk mengelola aset sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Artinya, Daulay menilai boleh saja disebut pemerintah melakukan realokasi anggaran untuk membiayai ketiga program tersebut. Masalahnya, realokasi anggaran yang dilakukan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR.

“Kapan pemerintah mendiskusikan masalah ini dengan DPR? Sepanjang pengetahuan saya, belum ada pembicaraan tentang masalah ini di DPR,” ujarnya.

AFP PHOTO / ROMEO GACAD
Presiden RI, Joko Widodo.

Presiden Jokowi pun sigap menjawab kritikan. Terkait tidak adanya komunikasi dan koordinasi dengan DPR, Jokowi mengatakan hal itu karena kesalahan di DPR sendiri yang tidak segera menyelesaikan konflik internalnya.

“Lha, kalau harus lapor dulu ke DPR, lapor kemana? ketemu siapa? ke komisi yang mana? alat kelengkapan dewan-nya mana? Apa saya harus menunggu terus? Kita inginnya cepat,” katanya Jokowi menjawab wartawan, Jumat (7/11).

Jokowi juga menjawab rasa penasaran terkait dari mana dana untuk tiga kartu sakti itu berasal. Menurutnya ia berani meluncurkan tiga kartu sakti itu, karena memang sudah ada anggarannya.

“Pemerintah bekerja cepat karena ingin memenuhi harapan banyak orang, melayani rakyat. Seperti soal Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Keluarga Sejahtera, tentu sudah ada anggarannya dan ini bisa ditanyakan ke Menteri Keuangan,” ucapnya.

Jokowi menyatakan, ia dan kabinetnya ingin melakukan pekerjaan dengan cepat. Tapi, Jokowi sangat menyayangkan kinerja DPR sangat lamban hingga saat ini. Menurutnya, pemerintah harus bisa bekerja cepat. Hal ini dilakukan agar bisa memenuhi keinginan dan kepentingan rakyat. “Untuk kepentingan rakyat kita jangan main-main,” katanya lagi.

 

Yusril Ihza Mahendra

Mantan Menteri Sekretaris Negara yang juga praktisi hukum, Yusril Ihza Mahendra, menilai Pemerintah Jokowi-JK masih perlu menjelaskan soal polemik tiga program kartu yang diluncurkan.

Sebab, pernyataan antara menteri di kabinet dengan unsur parpol pendukung Pemerintah, yakni PDIP, mengenai penerbitan ketiga kartu itu ternyata berbeda.

“Penjelasan mereka simpang siur. Pemerintah dan PDIP tampaknya tak saling berkoordinasi,” kata Yusril di Jakarta, Jumat (7/11).

Walau demikian, apabila diasumsikan bahwa pernyataan Mensesneg Pratikno yang lebih aktual, yakni bahwa pendanaan ketiga program dari CSR, maka Yusril menilai hal itu pantas dikritisi lebih lanjut.

Sebab, menurutnya, dana CSR adalah dana yang dialokasikan dari keuntungan perusahaan termasuk BUMN, digunakan sebagai kompensasi kepada masyarakat sekitar atas kegiatan perusahaan di daerah tersebut dengan segala dampaknya.

Karena itu, lanjutnya, dana CSR dikelola langsung oleh perusahaan untuk kepentingan masyarakat lokal. CSR Freeport, misalnya, digunakan untuk masyarakat Timika, Papua; dana CSR Newmont untuk masyarakat Sumbawa, NTB; atau PT Timah untuk masyarakat Bangka Belitung.

“Jadi bisa bermasalah kalau dana CSR BUMN itu diambil Pemerintah untuk membiayai program tiga kartu yang dijanjikan Presiden ketika kampanye dulu,” kata Yusril.

“Apalagi jika dana yang diambil dari CSR BUMN itu dianggap sebagai bukan uang negara sehingga bisa dikelola sebagai dana non-budgeter. Ini semua berkaitan dengan tertib penyelenggaraan negara, khususnya di bidang keuangan, yang sungguh-sungguh harus diperhatikan oleh Presiden.”

Menurut Yusril, kalau dana CSR BUMN itu diambil oleh negara, maka harus ada dasar hukumnya. Sebab dalam UU APBN sudah ditargetkan setoran keuntungan BUMN sebagai penerimaan negara.

“Kalau dana CSR akan diambil Pemerintah, maka UU APBN harus diubah, ada perubahaan sumber penerimaan negara dan ada perubahan alokasinya,” ujar Yusril.

Presiden Jokowi pun harus memikirkan dampak pengambilan dana CSR BUMN bagi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kegiatan perusahaan. Sebab dana CSR yang seharusnya untuk mereka, pasti berkurang atau malah habis tersedot untuk mendanai program tiga kartu Presiden Jokowi yang bersifat nasional.

“Daerah mereka rusak karena ditambang, tapi dana CSR-nya bukan untuk membantu masyarakat lokal, malah dipakai untuk danai progam tiga kartu. Apalagi program tiga kartu dikaitkan dengan kompensasi kenaikan BBM yang bakal dilakukan Pemerintah. Jelas tidak ada hubungannya,” bebernya.

“Presiden Jokowi mestinya menyadari dampak dari semua ini, serta kemungkinan kekecewaan masyarakat lokal akibat berkurangnya CSR BUMN. Sebagian besar dana CSR BUMN disalurkan di luar Jawa, sementara bagian terbesar penerima program tiga kartu ada di Pulau Jawa.”

Yusril menilai, Presiden Jokowi bisa belajar dari Presiden Soekarno, yang merupakan orang besar dan bapak bangsa.

“Namun salah satu kelemahan Presiden Soekarno adalah, beliau sering bertindak di luar Konstitusi dan hukum yang dibuatnya sendiri. Kelemahan itu membawa dampak yang besar, terutama menjelang akhir masa kekuasaannya. Presiden Jokowi jangan mengulangi lagi kelemahan itu,” ujar Yusril.

 

Jusuf Kalla

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sebaliknya membantah pernyataan Yusril yang menganggap payung hukum KIS, KIP, dan KKS yang diluncurkan Presiden Jokowi belum jelas.

“Kalau ada anggaran sudah ada payung hukum. Karena anggaran itu dalam bentuk APBN. APBN itu dalam bentuk UU. Tidak ada masalah,” kata JK di kantornya, Jumat (7/11).

JK mengatakan ketiga ‘kartu sakti’ yang diluncurkan Jokowi sudah memiliki dasar hukum, dimana anggaran masing-masing kartu sebenarnya sudah ada lebih dulu. Seperti Kartu Indonesia Sehat, menurut JK, anggaran KIS sudah ada di BPJS Kesehatan.

Begitu juga dengan Kartu Indonesia Pintar yang menggunakan anggaran pendidikan di Kementerian Pendidikan Nasional, dan Kartu Keluarga Sejahtera di bawah tanggung jawab Kementerian Sosial.

“Ini hanya sistem aja. Jadi Undang-Undangnya ada di situ,” ujar JK yang menyebut anggaran pengadaan ‘kartu sakti’ Jokowi sekitar Rp5 triliun.

Mantan ketua umum Partai Golkar ini tidak membantah bila ketiga ‘kartu sakti’ yang diluncurkan Jokowi hanya mengganti nama dengan program yang telah ada sebelumnya. Namun bedanya ketiga kartu ini segera didistribusikan untuk kepentingan masyarakat.

“Nama kan boleh saja dan sistem juga boleh dirubah. Apa yang menurut pandangan kita lebih baik. Lebih cepat. Itulah sebabnya itu hanya sistem aja. Jadi tidak perlu UU. Karena UU sudah ada,” terang JK.

 

Penjelasan terbaru yang menegaskan legalitas ketiga kartu itu datang dari mantan anggota Panitia Khusus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dari Fraksi PDI-P periode 2009-2014, Surya Chandra Surapaty.

Berbeda dengan pendapat Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani, yang menyatakan dasar hukum ketiga kartu akan dikeluarkan selanjutnya dengan Keputusan Presiden (Keppres) dan atau Instruksi Presiden (Inpres), Surya menyatakan bahwa dana untuk ketiga kartu berasal dari APBN.

Yakni dari porsi dana program yang sudah ada sebelumnya. Misal untuk KIP, dananya dari Bantuan Siswa Miskin (BSM), atau KIS dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang jelas alokasi dan payung hukumnya.

Penjelasan itu berbeda dengan pernyataan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno yang menyatakan pembiayaan ketiga program menggunakan dana tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/CSR) Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bukan APBN.

Lain pula Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa yang sempat mengatakan anggaran KIS berasal dari dana bansos senilai Rp 6,2 triliun. Yang terbaru, Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro menyatakan anggaran KIS ada pada anggaran Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Sementara, anggaran KIP adalah anggaran yang dialokasikan untuk bantuan Beasiswa Siswa Miskin (BSM)

 

Ruhut Sitompul

Terpisah, anggota DPR asal Sumut dari Fraksi Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan, ramainya persoalan mengenai dasar hukum akan kedua program tersebut kemungkinan karena statement Puan Maharani. Namun, kata Ruhut, program KIS dan KIP merupakan kebijakan yang membela kepentingan rakyat kecil.

“Apa yang menjadi perdebatan, saya meminta begini kan pemerintah sudah berjalan. Mungkin karena statement dari Ibu Puan Maharani menjadi ramai, karena menyebut dasar hukum yang dikatakan,” kata Ruhut kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (7/11).

Ruhut berujar, jika Presiden Jokowi adalah sosok orang yang kooperatif. Maka dari itu, ia menambahkan, tidak mungkin jika seorang Jokowi akan melakukan kebijakan yang melanggar perundang-undangan.

“Kita tahu Pak Jokowi sangat kooperatif. Kita enggak usah debatkan dasar hukumnya tapi Pak Jokowi janji kampanyenya mau realisasi,” tegasnya.

Ruhut mengklaim, bila program KIS dan KIP ala Presiden Jokowi merupakan bentuk kelanjutan program mantan Presiden SBY.

“Kartu ini penjelmaan dari (pemerintahan) Pak SBY yang dulu, bagi kami enggak ada masalah. Apa arti sebuah nama, tapi program rakyat itu masih diharapkan kartu itu kelanjutan program Pak SBY,” tandasnya. (gir/bbs/val)

Exit mobile version