JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kasus dugaan kebocoran data masyarakat kembali terjadi. Kali ini, kebocoran diduga datang dari data yang dikelola Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI). Tak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai 105 juta data pemilih.
INFORMASI kebocoran itu terungkap setelah data ditawarkan pada situs breached.to. Data tersebut dibandrol seharga USD 5.000 atau sekitar Rp74 miliar. Pada sampelnya, Bjorka selaku akun penjual mencantumkan sampel data secara lengkap.
KPU RI langsung merespon cepat. Komisioner KPU RI Idham Holik mengatakan, pihaknya sudah melakukan analisa. Kesimpulannya, data bukan dari KPU. ‘’Ini bukan data dari KPU. Itu bukan data milik KPU. Dan data KPU tetap aman,’’ ujarnya dikonfirmasi, kemarin (7/9).
Meski demikian, upaya untuk mengintensifkan keamanan tetap dilakukan. Terlebih, ada banyak sistem digital yang dimiliki KPU. Antara lain sidalih, sipol, silon, silog, dan sidapil.
Idham Holik mengatakan, dari segi infrastruktur keamanan, pihaknya sudah memiliki dukungan pengamanan yang memadai. Sebab, sudah dibentuk gugus tugas yang melibatkan berbagai elemen institusi negara.
Dia memastikan, peningkatan keamanan menjadi fokus utama. “Jadi persoalan isu hari ini bukan hal baru, sudah kita antisipasi,” ujarnya ditemui disela persidangan di Kantor Bawaslu RI Jakarta kemarin (8/9).
Idham meminta masyarakat tidak terlalu khawatir. Sebab, pengelolaan data dilakukan secara ketat. “Saya pikir masyarakat dapat memahami bahwa itu (kebocoran) bukan data KPU,” imbuhnya.
Jika ada keraguan, publik bisa mengecek sistem pengurutan data KPU yang diatur di pasal 6 dan lampiran model a.1 PKPU nomor 11 tahun 2018. Di sana, tidak dicantumkan usia pemilih.
Hal itu berbeda dengan data yang diklaim akun Bjorka. Selain itu, data Bjorka tidak mencantumkan status pernikahan. Padahal, status pernikahan ada dalam data KPU. “Jadi data KPU aman,” tuturnya.
Komisioner KPU RI Betty Epsilon Idroos menambahkan, pihaknya akan menindaklanjuti beredarnya isu kebocoran data. “KPU akan bekerjasama dengan Kepolisian RI khususnya siber polri untuk mengusut pelaku tersebut,” ujarnya.
Pengusutan, kata Betty, akan dilakukan baik dari sisi penjual ataupun penyebar isu. ’’(Akan ditelusuri) orang yang dengan sengaja membuat seolah-olah (itu) merupakan data pemilih Pemilu,’’ kata mantan komisioner KPU DKI Jakarta itu.
Di luar data pemilih, isu kebocoran data pribadi masyarakat justru lebih masif. Salah satunya, kebocoran data para pendaftar kartu prabayar. Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar pun mempertanyakan kinerja pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Institusi itu dinilai paling bertanggungjawab atas bocornya data pribadi ini. “Kominfo harus melindungi warganya melalui berbagai cara teknologi yang bisa dipilih,” terang Muhaimin.
Dia mendorong pemerintah untuk serius menangani kasus kebocoran data. Caranya, lanjut dia, Indonesia harus mengupgrade teknologi pengamanan yang lebih canggih agar kasus tersebut tidak terulang.
Sementara itu, Chairman Lembaga Keamanan Siber CISSRec Pratama Persadha mengatakan, perlu ada penelusuran dari institusi terkait atas bocornya data pemilih. Sebab, yang memiliki keterkaitan dengan data tersebut bukan hanya KPU. ‘’Ada beberapa institusi yang memiliki data ini, yaitu KPU, Dukcapil, Bawaslu, bisa jadi juga partai politik dan lembaga lain. Sepertinya perlu diaudit satu per satu agar tahu dimana kebocorannya.’’ imbuhnya.
Apalagi, data yang disampaikan berbasiskan data lintas provinsi. Meski demikian, untuk dapat dipastikan dari mana sumber kebocoran, Ibnu menyarankan pemerintah harus melakukan digital forensik. Sehingga klir dan tidak saling curiga.
Dia menambahkan, kasus ini memperpanjang rentetan kasus-kasus kebocoran data yang kian masif. Dia mendesak agar Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) bisa segera disahkan. Sehingga upaya perlindungan jauh lebih kuat. ‘’Kalau ada UU itu kewajiban negara untuk mengejar, bukan hanya peretas tapi sumber kebocoran. Nanti pihak yang menjadi pemegang harus tanggungjawab bahkan bisa pidana,’’ imbuhnya.
Terhitung sejak awal 2021 hingga saat ini, setidaknya ada 11 kasus dugaan kebocoran data, antara lain data BPJS pada Mei 2021, data BRI Life pada Juni 2021, data eHAC pada Juli 2021, sertifikat vaksin Presiden Joko Widodo, data nasabah Bank Jatim, hingga data KPAI.
Terbaru, kebocoran kembali terjadi dan kali ini menimpa 3.000 pegawai negeri sipil (PNS) Indonesia. Kejadian tersebut terjadi berselang beberapa hari dari dugaan kebocoran data registrasi SIM Card. (far/lum/bay/jpg)