Site icon SumutPos

Ada Mushaf Alquran Berukuran Jumbo, Mikro, sampai yang Terindah

MUSHAF WONOSOBO: Petugas mengecek Alquran raksasa di Bayt Al-Qur'an dan Museum Istiqlal di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.Imam Husein/Jawa Pos .

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Berkeliling di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) belum lengkap jika tidak berkunjung ke Bayt Alquran dan Museum Istiqlal (BQMI). Di dalam museum berlantai dua itu, disuguhkan beragam informasi terkait perkembangan Alquran.

MULAI sejarah penulisan mushaf Alquran pada masa Nabi Muhammad, sahabat, hingga keberadaan kitab suci umat Islam tersebut di Tanah Air. Di lobi museum saja pengunjung langsung disambut mushaf Alquran berukuran raksasa. “Mushaf ini salah satu koleksi primadona di sini,” kata Ibnu A’thoillah, petugas tim edukator BQMI, Selasa (4/4) pekan lalu.

Alquran mushaf Wonosobo itu memiliki dimensi halaman 150 x 200 cm dengan bobot mencapai 165 kg. Sesuai namanya, mushaf Alquran itu merupakan hadiah dari Pesantren Al-Asy’ariyah Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah, untuk Presiden Soeharto.

Isinya lengkap 30 juz. Jika dibuka, mushaf Alquran itu memiliki ukuran total 2 x 3 meter. Atho’, sapaan Ibnu A’thoillah, menyatakan, semula Alquran raksasa tersebut ditempatkan di area pameran sehingga pengunjung bisa menyentuh langsung mushaf Alquran yang ditulis tangan oleh dua santri berkeahlian khusus, H Hayatuddin dan H Abdul Malik, itu.

Tetapi, ternyata setelah sekitar satu tahun lebih dipajang secara terbuka, beberapa lembar bagiannya robek.

Atho’ menyebutkan, beberapa halaman Alquran raksasa itu robek karena ulah pengunjung. “Mungkin karena penasaran, mereka memaksa membuka lembaran Alquran-nya,” ujarnya.

Sampai akhirnya, saat ini Alquran mushaf Wonosobo itu pun ditempatkan di ruangan khusus. Pengunjung hanya bisa melihat dari luar kaca. Tepat di samping Alquran berukuran jumbo, dipajang Alquran berukuran mikro alias sangat kecil.

Alquran seukuran dadu itu merupakan hibah dari Istanbul dan memiliki dimensi 4 x 4 x 1,5 cm yang diterbitkan pada 1401 H/1980 M. Alquran tersebut dibuat dengan teknik cetakan.

Selanjutnya, pengunjung museum bisa masuk ke ruang inti pameran. Koleksi item museum ditata menyesuaikan dengan storyline (alur cerita) Alquran dari masa Nabi Muhammad hingga masuk ke Indonesia.

Storyline diawali dengan replika surat pada masa Nabi Muhammad. Kemudian dilanjutkan replika mushaf Alquran yang dibuat pada masa Dinasti Umayyah pada abad ke-8 Masehi. Aksara Arab yang digunakan pada mushaf tersebut sangat berbeda dengan aksara Arab pada Alquran saat ini. “Hurufnya memang seperti ini. Tidak ada tanda bacanya. Tidak ada titiknya juga,” katanya.

Penggunaan aksara Arab pada mushaf Alquran terus berkembang. Sampai pada 666 Masehi, huruf Arab mulai diberi keterangan titik sebagai tanda baca atau harakat (naqt al-irab). “Dipicu banyaknya orang salah baca Alquran saat itu,” terang Atho’.

Dia lantas menunjukkan koleksi di bagian pengujung dari Bayt atau Rumah Alquran. Di ruangan ini ada Alquran mushaf Istiqlal yang dibuat pada masa Presiden Soeharto.

Ceritanya, setelah menerima mushaf raksasa dari Wonosobo, Soeharto ingin membuat mushaf Alquran terindah di dunia. Alquran mushaf Istiqlal tersebut terdiri atas tiga kotak kayu. Masing-masing terdiri atas sepuluh juz. “Alquran-nya berupa lembaran. Tidak dijilid,” terang Atho’.

Yang membuat Alquran mushaf Istiqlal itu indah adalah hiasan pinggir atau iluminasinya. Desain iluminasi mencerminkan kekhasan budaya daerah-daerah di seluruh Indonesia.

Di bagian itu pula dipajang mushaf pusaka atau Quran pusaka. Mushaf ini adalah mushaf Alquran resmi negara yang pertama. Disebut demikian karena disusun atas kebijakan pemerintah.

Mushaf pusaka itu dibuat pada masa revolusi mempertahankan kemerdekaan atas inisiasi langsung Presiden Soekarno. Dikutip dari penjelasan H Aboebakar dalam Al-Mushaf: Risalah Chusus Mengenai Alquran (1952), salah satu tujuan pembuatan mushaf pusaka itu adalah melawan propaganda NICA.

Mushaf pusaka diresmikan pada 27 Juli 1948 atau bertepatan dengan 17 Ramadan. Peresmian ditandai dengan penulisan huruf ba oleh Bung Karno dan huruf mim di bagian akhir oleh Bung Hatta pada kalimat bismillahirrahmanirrahim.

Agak terpisah, masuklah pengunjung ke Museum Istiqlal. Meskipun namanya Istiqlal, museum itu tidak memajang koleksi-koleksi terkait dengan Masjid Istiqlal.

Atho’ menceritakan, Museum Istiqlal dibangun untuk menampung koleksi-koleksi setiap gelaran Festival Istiqlal. “Istiqlal artinya kemerdekaan. Festival Istiqlal adalah festival untuk memperingati kemerdekaan,” katanya.

Setiap kali digelar Festival Istiqlal, delegasi dari daerah membawa replika perkembangan kebudayaan Islam masing-masing. Mulai batu nisan tokoh penyebar agama Islam hingga masjid-masjid legendaris.

Atho’ mengatakan, pada hari-hari tertentu, jumlah pengunjung BQMI bisa mencapai 1.500 orang dalam sehari. “Kebanyakan siswa,” ujarnya.

Beberapa kali juga ada pengunjung dari luar negeri. Misalnya, Afrika Selatan, Turki, Malaysia, dan Singapura. BQMI juga menjadi salah satu rujukan mahasiswa untuk melakukan penelitian tentang Alquran. (*/c19/ttg/jpg)

Exit mobile version