Site icon SumutPos

Jaksa Tidak Berhasrat, Kuasa Hukum Ngebet

Massa mengamankan seorang pria yang diduga provokator saat aksi unjuk rasa di luar ruang persidangan kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama di depan Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (10/1). Sempat terjadi kericuhan akibat peristiwa tersebut. FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS

JAKARTA, SUMUTPOS.CO — Sidang kelima kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama kembali bergulir, kemarin (10/1). Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi pelapor itu berjalan dengan seru, belasan kuasa hukum Ahok-panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama- begitu ngebet mengejar keterangan saksi pelapor.

Sayang, di sisi lain, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tampak tidak berhasrat dalam mendalami keterangan saksi pelapor. Hanya dua jaksa yang paling sering bertanya, yakni Ali Mukartono yang juga ketua Tim JPU dan Lyla Agustina. Sembilan jaksa sisanya, tampak hanya mengikuti sidang untuk formalitas dan sesekali melihat barang bukti di depan hakim.

Sidang kelima kasus dugaan penistaan agama itu dimulai pukul 09.00. Ada tiga saksi yang dihadirkan, yakni Perdi Kasman, Irene Handono dan M Burhanuddin.  Saksi kali pertama yang memberikan keterangan adalah Perdi Kasman. Awalnya, Majelis Hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto bertanya pada Perdi.

Hakim Ketua Dwiarso Budi bertanya secara umum soal darimana Perdi mengetahui adanya dugaan penistaan agama. Saat itu Perdi menjelaskan bahwa dirinya mengetahui dari pembahasan di grup whatsapp, yang kemudian dicari video aslinya dari channel milik Pemprov DKI Jakarta.

”Setelah dilihat video berdurasi lebih dari satu jam itu, maka kami melaporkan ke kepolisian. Saya melaporkan atas perintah Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak,” tuturnya.

Giliran JPU yang bertanya, Ali Mukartono langsung bertanya terkait apa yang mendorong Pedri untuk melaporkan dugaan penistaan agama itu ke polisi. Saat itu, Pedri mengaku bahwa sebagai umat Islam, merasa dihina dengan pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu. Kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah SWT melalui rasulnya dihina.

”Saya merasa tersinggung. Tapi, apapun terjemahan itu tidak masalah, yang penting tidak boleh menafsirkan ajaran agama lain,” ujarnya.

JPU Lyla Agustina juga bertanya beberapa kali pada saksi Pelapor. Tidak lama, giliran kuasa hukum Ahok. Mereka langsung mencecar saksi pelapor, pertanyaan penting yang diajukan salah satu kuasa hukum adalah soal mengapa tidak bertanya atau klarifikasi ke masyarakat di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu soal pernyataan Ahok. Pedri Kasman menjawab, merasa tidak perlu untuk bertanya ke masyarakat Pulau Pramuka. ”Tidak perlu karena sudah melihat video berkali-kali,” ungkapnya.

Dalam kesempatan itu, Kuasa Hukum Ahok juga menunjukkan sejumlah selebaran yang menukil ayat Al Maidah 51 untuk menjatuhkan Ahok. Salah satu kuasa hukum Ahok menyebutkan selebaran semacam ini menyebar saat pilkada di Belitung. ”Ini salah satu bukti bahwa ada politikus yang menggunakan ayat Al Maidah,” tuturnya.

Saksi selanjutnya adalah Irena Handono. Setelah ditanya beberapa kali oleh hakim giliran JPU yang bertanya. Ali Mukartono lagi-lagi berinisiatif untuk bertanya. Ada beberapa pertanyaan yang diajukan. Salah satu yang paling penting adalah soal perbedaan penerjemahan dan penafsiran kitab suci. Irena menjawab bahwa penerjemahan itu mengalih bahasa berdasar bahasa. ”Tapi, kalau menafsir itu hasil pemikiran sendiri,” ujarnya.

Pertanyaan Ali Mukartono itu merujuk pada pernyataan Ahok terkait Al Maidah 51 yang dianggap menafsirkan ayat suci agama lainnya. Ali Mukartono juga sempat beberapa kali mengajukan keberatan terkait pertanyaan Kuasa Hukum Ahok yang terkesan mengarah-arahkan jawaban saksi pelapor. Beberapa kali keberatannya diterima dan ada pula yang ditolak majelis hakim.

Yang paling utama dalam puluhan pertanyaan kuasa hukum Ahok pada Irena adalah soal dasar hukum Irena mewakili sekitar 16 ribu orang untuk melaporkan Ahok. Dalam bukti yang dibawa Irena untuk perwakilan itu hanya ada KTP. Namun, tidak ada surat kuasa dari 16 ribu orang untuk Irena.

Hakim Ketua Dwiarso Budi menuturkan, seharusnya ada surat kuasa dari semua orang yang diwakili. Seperti yang dilakukan saksi pelapor sebelumnya. ”Tentu ini akan menjadi pertimbangan Majelis Hakim,” ungkapnya.

Dalam sesi itu Irena juga sempat menyebut bahwa Ahok memiliki kebencian terhadap Islam bila dilihat dari salah satu video. ”Dalam video lain itu Ahok ada yang sebut iman iman, sembahyang. Percuma,” ujarnya. Ada juga ucapan Irena yang menuding bahwa Ahok melarang menggunaan Monumen Nasional (Monas) untuk ibadah. Tapi, justru Ahok pernah mengizinkan penggunaan Monas untuk perayaan paskah.

Hal itu direspon Ahok dalam sesi pengajuan keberatan,  ada sejumlah hal yang ditolak Ahok. Ahok mengatakan, pihaknya tidak menafsirkan sendiri AL Maidah 51. Namun, tafsiran surat tersebut justru berasal dari saudara dan kawan-kawannya. Salah satunya, Gus Dur. ”Yang terjemahkan begitu Gus Dur,” ungkapnya.

Tidak hanya itu, Ahok juga meluruskan terkait tudingan Irena soal salah satu video. ”Salah satu video yang menyebut soal iman itu tidak lengkap disebutkan Irena. Yang lengkap itu iman buat apa iman, sembahyang. Percuma punya iman tapi korupsi dan tidak melayani masyarakat,” tuturnya.

Dengan keberatan itu, Kuasa Hukum Ahok Trimoelja D Soerjadi meminta Majelis Hakim untuk memberikan instruksi penuntutan pada Irena. Hal itu dikarenakan Irena dinilai memberikan keterangan palsu saat persidangan. ”Banyak tudingan yang tidak benar, mohon untuk meminta jaksa menuntut,” jelasnya.

Hakim Ketua Dwiarso langsung merespon, permintaan itu akan dipertimbangkan. Namun, akan dilihat semua itu merupakan hal prinsip atau tidak. ”Sekarang saksi boleh keluar,” ungkapnya. (idr/jpg/adz)

Exit mobile version