Site icon SumutPos

Ingin Menang, Jangan Sembarangan Bikin Slogan

Hingdranata Nikolay, Licensed Master Trainer of NPL Pertama di Indonesia

Masih ingatkah slogan unik Syamsul Arifin saat maju dalam pilgub 2008 silam? Rasanya hampir semua publik di Sumut masih ingat betul. “Rakyat tak lapar, rakyat tak bodoh, rakyat tak sakit’. Kalimat itu nampak tidak keren.

Soetomo Samsu, Jakarta

Namun faktanya, Syamsul bersama pasangannya saat itu, Gatot Pujo Nugroho, akhirnya memenangkan pilgub Sumut 2008. Adakah slogan tersebut punya andil atas kemenangan itu?

Hingdranata Nikolay, seorang peraih gelar Licensed Master Trainer of Neuro-Linguistic Progaming (NLP) dari perintis ajaran NLP Dr Richard Bandler, menyatakan, slogan yang diusung kandidat calon, baik capres maupun calon dalam pemilukada, punya pengaruh besar dalam memengaruhi publik.
Untuk slogan Syamsul itu, kekuatannya bukan pada kata ‘tidak’, tapi pada kata ‘lapar’, ‘bodoh’, dan ‘sakit’. “Karena menurut Hing, otak manusia cenderung tidak memproses kata ‘tidak’. “Buktinya, bila ada kalimat ‘tidak boleh merokok di sini’, tetap saja orang pada merokok di dekat kalimat yang ditempel di situ. Tidak boleh kencing di sini, malah kencing di situ,” ujar Hing, panggilan akrab pria kelahiran Maumere, Flores, 22 Desember 1972 itu, kepada koran ini di Jakarta, Sabtu (9/6).

NLP sendiri tergolong sebuah ‘ilmu’ yang relatif baru diperkenalkan di Indonesia. Lebih tepatnya, saat ini hanya sedikit publik Indonesia yang mengenalnya. Menurut Hing, orang yang sudah menguasai ilmu NLP akan memaknai sebuah kalimat.

“Bukan langsung memaknai satu kalimat itu. Sehingga, orang yang menguasai ilmu ini, dia akan pandai berdebat, dan tidak mudah dipengaruhi orang lain. Sebaliknya, dia pintar mempengaruhi orang lain,” urai peraih gelar Master Trainer di bidangnya itu, pada 19 Maret 2012 di Orlando, USA. Hing merupakan orang pertama di Indonesia, bahkan Asia Tenggara yang sudah sampai pada level kehormatan itu.

“Ilmu ini sangat cocok bila dipelajari para politisi. Karena ilmu ini juga mempelajari pola linguistik,” ujarnya. Menurutnya, kata ‘bodoh;, ‘sakit’, dan ‘lapar’, merupakan bagian linguistik yang sudah marasuk dalam publik Indonesia. Karenanya, gampang diingat dan cukup mengena.

Hing, alumni Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan Universitas Atmajaya Jakarta ini, memberi contoh slogan capres 2009, yakni dengan membandingkan slogannya SBY dengan slogannya Jusuf Kalla. Slogan SBY ‘lanjutkan!’. Sedang slogan JK saat itu, ‘lebih cepat lebih baik’.

Menurut Hing, selain karena lebih simpel, slogan SBY juga cocok dengan ‘pola linguistik’ masyarakat kebanyakan Indonesia, yang lebih suka kemapanan. “Rakyat Indonesia itu tipikalnya tak suka berspekulasi ke hal-hal baru, takut terjerumus pada ketidakpastian. Buktinya, Soekarno dan Soeharto bisa bertahan lama berkuasa,” ujarnya.

Bagaimana dengan slogan JK? Menurut Hing, slogan politisi senior asal Makassar itu tidak sejalan dengan ‘alam pikir’ rakyat Indonesia kebanyakan. Penduduk Jawa, sebagai mayoritas pemilik suara, tidak tersentuh dengan slogan JK itu.

Di Indonesia, kata Hing, sangat populer kalimat ‘biar lambat asal selamat’. “Entah berapa persen kalimat slogan mempengaruhi publik, tapi jelas sangat berpengaruh,” ujar Hing, yang mengaku sering diundang perusahaan untuk mendongkrak semangat SDM perusahaan-perusahaan kliennya itu. Hing, ayah tiga anak itu, sudah mendalami dan mengapilkasikan ilmu unik ini sejak 1997.

Tapi dia membantah dirinya berprofesi sebagai motivator, semacam Mario Teguh atau Ary Ginanjar. “Kalau motivator, lebih memberi imbauan dari luar agar merasuk ke dalam. Tapi NLP memberdayakan dari dalam, agar yang keluar bisa lebih semangat,” urainya. (*)

Exit mobile version