Site icon SumutPos

DPRD Sumut di Ujung Tanduk

triadi wibowo/SUMUT POS TERSENYUM: Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho tersenyum saat menghadiri sidang paripurna di gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol, Medan, beberapa waktu lalu.
triadi wibowo/SUMUT POS
TERSENYUM: Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho tersenyum saat menghadiri sidang paripurna di gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol, Medan, beberapa waktu lalu.

SUMUTPOS.CO- Pengusutan dugaan gratifikasi alias suap di balik batalnya hak interpelasi DPRD Sumut terhadap Gubsu Gatot Pujo Nugroho kian serius digarap KPK. Kasus ini bakal bikin nasib para wakil rakyat itu di ujung tanduk lantaran KPK segera menaikkan statusnya ke tahap penyidikan.

SOAL ini pertama kali diketahui publik justru dari mulut Gubsu Gatot Pujo Nugroho, seusai diperiksa pada Selasa (8/9). Saat itu Gatot mengaku dimintai keterangan sebagai saksi kasus interpelasi.

Pada Rabu (9/9), Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji tidak menampik pihaknya tengah mengusut kasus interpelasi. “Saat ini masih tahap pendalaman dan pengembangan tentang ada tidaknya keterkaitan kasus (suap, Red) hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan dengan interpelasi,” ujar Indriyanto di Jakarta, Rabu (9/9).

Kemarin, sejumlah wartawan yang biasa meliput di KPK mulai kasak-kusuk mencari kepastian kasus itu.

Informasi dari ‘orang dalam’ KPK menyebutkan, proses penyelidikan perkara interpelasi nyaris rampung. Dengan kata lain, tak lama lagi akan naik ke tahap penyidikan. Sumber juga menyebutkan, beberapa anggota DPRD Sumut akan menyusul dimintai keterangan. Sayangnya tak diperoleh nama-namanya.

Direktur Centre For Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi merasa yakin, KPK sudah mengantongi bukti awal adanya tindak pidana gratifikasi di balik batalnya interpelasi itu.

“Biasanya, KPK itu melakukan tangkap tangan untuk kasus suap atau gratifikasi. Nah, kalau sekarang sudah mulai melakukan penyelidikan, pasti KPK sudah punya bukti-bukti awal yang sudah cukup kuat. Ketua DPRD Sumut dimintai keterangan, sudah tentu dalam rangka memperkuat bukti awal itu,” ujar Uchok kepada Sumut Pos, kemarin.

Sebenarnya, lanjut Uchok, sudah sering terjadi penggunaan hak-hak dewan, baik itu angket atau pun interpelasi, akhirnya kempes karena dibarter dengan uang. “Seperti di Sumut, di Jakarta, semua kempes karena kewenangan dewan itu dibarter dengan uang,” ujarnya.

Pihak eksekutif sendiri, paparnya karena merasa bisa meredam dewan cukup dengan uang, mereka saat berkuasa dan berupaya mendapatkan harta sebanyak-banyaknya.

“Uang untuk melanggengkan kekuasaan. Uang untuk meredam perlawanan. Nah, sekarang, para anggota DPRD Sumut jangan senang dulu. Ini sudah ditangani KPK,” kata Uchok mengingatkan.

Di sisi dewan sendiri, lanjutnya, kewenangan yang dimiliki juga kerap dipakai sebagai senjata untuk menekan eksekutif agar mau mengeluarkan uang untuk mereka.

“Kasarnya, ini saya punya hak interpelasi. Makanya bagi-bagi dong rejeki. Kalau tidak ya kami gunakan interpelasi itu,” sebutnya.
Ketua DPRD Sumut Ajib Shah yang memenuhi panggilan KPK, Senin (7/9) lalu mengaku dirinya dimintai keterangan terkait dugaan penerimaan uang atau barang yang dilakukan Gubernur, Gatot Pujo Nugroho dari 2012-2015. Sehingga kehadirannya juga sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar periode 2009-2014.

”Saya menilai, banyak informasi bahwa ini sarat dengan muatan politis. Namun sebagai masyarakat yang taat hukum, kami menghadiri panggilan itu, karena kita harus kooperatif dengan lembaga (negara) manapun,” ujar Ajib Shah, Kamis (10/9) menjawab pertanyaan wartawan perihal kehadirannya di gedung KPK di Jakarta.

Dikatakan dia, saat berada diruangan KPK, pertanyaan tidak hanya soal interpelasi yang mencapai jilid 3 dan harus kandas di tengah jalan. Namun berbagai persoalan menyangkut penyelenggaraan pemerintah Pemprov Sumut yang menjadi sorotan publik sejak mencuatnya kasus OTT.

”Tak hanya soal interpelasi saja (pertanyaan KPK), tetapi beberapa hal lain juga. Karena memang mungkin dianggap aneh, 4 kali interpelasi gagal,” katanya yang menyebutkan jilid kedua pada 2014, berlangsung sampai dua kali pengajuan.

Disinggung mengenai dasar pertanyaan KPK yang diterimanya, Ajib mengatakan, sebagian sumber didapatkan lembaga antirasuah itu dari wacana di media massa dan isu yang beredar di kalangan tertentu serta laporan-laporan masyarakat. Sehingga, ia merasa perlu meluruskan apa yang menurutnya tidak benar kepada para penanya.

”Beredar informasi, adanya transaksional dalam pembahasan pengajuan interpelasi. Padahal kita tahu, itu kan hak setiap anggota dewan,” katanya yang menyayangkan adanya isu DPRD Sumut menerima dana Rp25 miliar dari Gatot Pujo Nugroho untuk menggagalkan interpelasi.

Politisi Golkar itu berharap proses hukum yang berjalan ini, dapat segera dituntaskan agar Sumut mendapatkan kepastian soal nasibnya kedepan. Pasalnya, pemeriksaan dengan memanggil sejumlah pejabat dan anggota dewan ini, telah banyak menyita waktu dan kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Selain itu, secara psikologis, mengganggu pelaksanaan pembangunan yang telah direncanakan.

“Harapan kita, cepatlah diproses, sehingga pemerintahan berlangsung dengan tenang dan kondusif. Memang kondisi kita sekarang ini terganggu,” sebutnya.

Bahkan untuk menjaga agar pelaksanaan pembangunan bisa berjalan, Ketua DPD Golkar Sumut ini pun mengungkapkan jika pihaknya telah meminta Pemprov Sumut dibawah kepemimpinan sementara Plt Gubernur Tengku Erry Nuradi, mengirimkan KUA PPAS Perubahan APBD 2015 yang selayaknya sudah mereka terima akhir Agustus lalu.

“Kita telah minta Pemprov Sumut mengirimkan KUA PPAS (P-APBD), tetapi sampai saat ini belum. Silahkan proses hukum berjalan, tetapi tugas dikerjakan. Kita tidak mau nanti dibilang sengaja memperlama pembahasan,” tegasnya.

Seusai pemanggilan oleh KPK, lanjutnya, pada Selasa (8/9), ia juga memenuhi panggilan Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait dugaan korupsi penyaluran dana hibah dan bantuan sosial (bansos) 2012-2013. Ia pun menjelaskan soal adanya isu yang beredar di masyarakat tentang keterlibatan legislator Sumut di periode lalu.

”Selasa (8/9) kami juga diundang ke Kejagung untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penyaluran hibah dan dana bansos 2012-2013. Itupun kita kasi penjelasan, supaya tidak ada fitnah,” katanya.
Dia yakin seluruh anggota DPRD Sumut akan dipanggil untuk dimintai keterangan. Termasuk para mantan anggota dewan yang lalu dan tidak lagi duduk di periode saat ini. Ia juga mengimbau kepada rekan dan mantan rekannya di legislatif, untuk menghadiri undangan lembaga hukum tersebut dan memberikan penjelasan.

“Kami yakin semua akan dipanggil (dewan). Bisa saja 100 (orang). Karena mereka (KPK dan Kejagung) kan perlu bahan. Maka hadiri saja dan beri penjelasan. Agar proses hukum bisa cepat selesai,” sebutnya.

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, 7 orang anggota dewan periode lalu telah memenuhi panggilan KPK. Dimana 4 orang diantaranya adalah mantan pimpinan dewan seperti Saleh Bangun, Chaidir Ritonga, Sigit Pramono Asri dan Kamaluddin Harahap. Kemudian dua mantan Ketua Fraksi yakni Budiman P Nadapdap dan H Ajin Shah sendiri serta mantan anggota dewan Zulkarnain.

Saya tidak usah sebutkan namanya, tidak etis. Yang jelas kalau ada yang belum dipanggil, tidak perlu takut atau galau. Silahkan hadiri saja,” katanya.

Sebelumnya, para pengusung hak interpelasi jilid 3 pada April lalu, menegaskan tidak ada unsur transaksional dalam pengajuannya. Mereka menilai, ada yang salah dalam pengelolaan pemerintahan di Sumut. Sehingga muncul berbagai masalah yang berimbas pada terhambatnya pembangunan.

”Karena kita melihat ada yang salah dalam penyelenggaraan pemerintahan ini. Tidak ada unsur gratifikasi didalamnya,” kata Ketua Fraksi Persatuan Keadilan Bangsa (PKB) DPRD Sumut Robi Agusman Harahap yang juga politisi Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Sementara penasihat Fraksi Partai Gerindra DPRD Sumut Astrayuda Bangun menegaskan jika sikap mereka yang mundur ditengah jalan saat interpelasi hendak digulirkan dalam paripurna, adalah atas perintah langsung dari pimpinan partainya di pusat. Sehingga mereka harus mengikuti apa yang menjadi ketentuan organisasi.

“Kalau itu kita langsung diperintahkan pusat, ya harus kita ikuti sebagai kader. Apalagi kita juga sebagai penggagas waktu itu. Kita siap mempertanggungjawabkan. Karena memang tidak ada kami menerima,” katanya.

Sedangkan anggota fraksi PDIP DPRD Sumut Sutrisno Pangaribuan sebagai pendukung interpelasi yang pada akhirnya keluar saat pelaksanaan voting pada sidang paripurna April lalu, mengatakan dirinya tidak pernah menerima suap dari siapapun terkait dukungan penggunaan hak untuk anggota dewan tersebut. Menurutnya pilihan itu untuk perbaikan Sumut.

“Kita harus solid mengusir para koruptor yang menyengsarakan rakyat dari seluruh lembaga- lembaga pemerintah. Saya minta dukungan gerakan mahasiswa, ulama, masyarakat dan pers untuk secara bersama mengawal proses ini,” katanya.

Terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Sumut, Hasban Ritonga mengaku sampai kemarin, belum ada pejabat Pemprovsu yang diperiksa KPK dalam kasus interpelasi DPRD Sumut. “Setahu saya sampai saat ini pejabat kita masih diperiksa seputar dan hibah dan dana bantuan sosial (bansos). Sampai sekarang belum ada diperiksa. Mudah-mudahan tidak ada lagi lah yang diperiksa soal interpelasi,” kata Hasban saat ditemui wartawan di Kantor Gubsu, Kamis (10/9).

Hasban kembali menegaskan, dirinya tidak mengetahui apa yang menjadi penyebab KPK mendalami soal batalnya interpelasi yang diajukan DPRD Sumut. Sebagai warga negara yang taat hukum pihaknya hanya mengikuti saja proses yang dilakukan KPK.

“Kita dalam posisi mengikuti saja prosesnya. Saya juga belum dapat info kenapa KPK menyelidiki interpelasi,” ujarnya.

Begitu juga saat disinggung soal adanya keterangan Ahmad Fuad Lubis, Kepala Biro Keuangan, yang menyeret nama sejumlah mantan Anggota DPRD Sumut diperiksa oleh KPK, mantan Inspektur Provsu ini pun mengaku tidak mengetahui hal tersebut. “Saya belum dengar soal itu (keterangan Fuad Lubis) Adinda. Saya pikir hal itu bisa langsung ditanya saja ke yang bersangkutan,” terangnya.

Sementara itu, Ahmad Fuad Lubis yang coba dikonfirmasi soal ini tidak berada di kantornya, lantai II Kantor Gubsu Jalan Diponegoro Medan. Coba dihubungi melalui sambungan seluler, nada sambung dinomornya terdengar tidak aktif. Begitu juga dengan pesan singkat yang dilayangkan, gagal terkirim. (bal/prn/sam/ril)

Exit mobile version