Site icon SumutPos

Sebelum Keluarkan Izin Uji Klinis II, BPOM Tunggu Data Uji Vaksin Nusantara

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Tim Vaksin Nusantara bakal menggelar pertemuan. Pertemuan direncanakan pada 16 Maret 2021.

Terawan Agus Putranto.

Sesi pertemuan akan membahas kelengkapan data interim (laporan) hasil evaluasi uji klinis Vaksin Nusantara fase pertama. Hal ini bertujuan untuk memutuskan, apakah vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dapat berlanjut ke uji klinis fase kedua.

“Saya kira apa yang dilakukan sekarang adalah membahas data interim dari uji klinis fase pertama. Ini adalah upaya percepatan mendapatkan uji klinik fase kedua. Karena sebetulnya setiap uji klinik seharusnya 6 bulan, sedangkan Vaksin Nusantara ini kan baru satu bulan atau beberapa bulan (uji kliniknya),” kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Penny K Lukito, dalam Rapat Bersama Komisi IX DPR RI di Gedung DPR, Komplek Senayan, Jakarta, Rabu (10/3).

“Data interim ini akan di-review. Kalau memang memenuhi aspek validitas dan hasil uji klinik menunjukkan nilai baik dari aspek keamanan, tentunya bisa dilanjutkan ke uji klinik fase kedua,” katanya.

Hingga saat ini, BPOM belum memberikan lampu hijau terhadap keberlanjutan uji klinis fase kedua Vaksin Nusantara. Ini karena belum ada pembahasan lebih lanjut bersama tim peneliti terkait data interim laporan uji klinis fase pertama.

“Kenapa kami belum mengeluarkan keputusan uji klinis fase kedua? Karena kami belum selesai membahas bersama dengan tim peneliti hasil uji klinis fase pertama,” lanjut Penny.

“Data interim ini sebenarnya sudah kami minta sangat lama sekali. Tapi (Tim Vaksin Nusantara) tidak merespon dengan cepat. Jadi, kami baru akan ada pertemuan tanggal 16 Maret 2021.”

Untuk memberikan sinyal keberlanjutan uji klinis fase kedua Vaksin Nusantara, Penny K Lukito menegaskan, harus melihat lebih rinci data interim uji klinis fase pertama. Perlu ada pembahasan secara saintifik terkait data interim tersebut.

“Saya kira mohon bersabar. Berikan kami waktu berproses (pertemuan) dengan Tim Vaksin Nusantara dan Tim Peneliti Obat. Ini sebagai bagian dari proses kami mereview hasil uji klinik fase pertama, sebelum bisa berlanjut pada uji klinik fase kedua,” tegasnya.

“Pembahasan pada pertemuan tanggal 16 Maret nanti juga dikaitkan dengan data keamanan dan imunogenitas Vaksin Nusantara. Jadi, harus detail melihatnya kembali. Kemudian juga keamanan yang disebutkan mencapai 75 persen. Nah ini, apakah menunjukkan derajat efek samping yang sedang dan ringan atau berat.”

Penny memastikan pihaknya secara transparansi mengungkapkan pembahasan data interim laporan hasil uji klinis Vaksin Nusantara fase pertama.

“Tentunya, setelah kami melakukan pertemuan dengan tim penelitinya. Ini bagian dari suatu proses penelitian, yang mana dalam pertemuan nanti diberikan juga kesempatan Tim Vaksin Nusantara untuk menjelaskan laporannya,” pungkasnya.

Sebelumnya, Vaksin Nusantara menyelesaikan uji klinis tahap I dengan total relawan 30 orang. Proses dimulai dengan penetapan Tim Penelitian Uji Klinis Vaksin Sel Dendritik oleh Kemenkes KMK No. HK.01.07/MENKES/2646/2020 pada 12 Oktober 2020.

Kemudian penyuntikan uji klinis fase pertama hingga 11 Januari 2021, serta monitoring dan evaluasi pada 3 Februari 2021.

Vaksin Nusantara disebut akan membentuk kekebalan seluler pada sel limfosit T. Cara kerja vaksin ini dibangun dari sel dendritik autolog atau komponen dari sel darah putih, yang kemudian dipaparkan dengan antigen dari Sars-Cov-2.

Teknisnya, setiap orang akan diambil sampel darahnya untuk kemudian dipaparkan dengan kit vaksin yang dibentuk dari sel dendritik. Sel yang telah mengenal antigen akan diinkubasi selama 3-7 hari.

Hasilnya kemudian akan diinjeksikan ke dalam tubuh kembali. Di dalam tubuh, sel dendritik tersebut akan memicu sel-sel imun lain untuk membentuk sistem pertahanan memori terhadap Sars Cov-2.

Terawan soal Vaksin Nusantara

Adapun Ketua Tim Pengembang Vaksin Nusantara, Terawan Agus Putranto, mengaku sudah mantap untuk terus mengembangkan Vaksin Nusantara.

Menurut dia, Vaksin Nusantara ini berbasis sel dendritik sehingga aman untuk digunakan. Dia mengaku telah mengembangkan pengobatan dengan metode sel dendritik di Cell Cure Center RSPAD Gatot Soebroto Jakarta sejak 2015.

Kemudian ketika ada ide dendritik vaksin untuk Covid-19, Terawan menyebut, hal itu seperti ‘gayung bersambut’. “Kemudian kami juga sudah mendapatkan uji binatangnya mengenai dendritik vaksin melalui pihak ketiga di Amerika sehingga ini semua bisa berjalan dengan baik, membuat mantap kami,” katanya dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (10/3).

Dia menerangkan, dendritik sel ini sebetulnya sudah dikenal di sejumlah kalangan masyarakat. Bahkan sudah publis di jurnal internasional.

“Dendritik sel sudah kita kenal dan kita sudah publis di internasional jurnal untuk dendritik sel vaksin. Tetapi memang waktu itu saya publiskan dendritik sel vaksin untuk cancer,” terangnya.

Nah, saat ini pihaknya tengah mengembangkan vaksin berbasis dendritik sel untuk melawan virus corona (Covid-19). “Dendritik sel ini karena sifatnya autologous, sifatnya adalah individual, tentunya adalah sangat sangat aman,” jelas mantan Menteri Kesehatan (Menkes) tersebut.

“Jadi saya memang senengannya memang untuk riset. Kebetulan ini saya bisa mendorong teman-teman dari Universitas Diponegoro untuk bisa ikut peran dalam kegiatan anak bangsa yang ingin mengembangkan Vaksin Covid-19 ,” sambungnya.

Dia pun berharap pengembangan vaksin Nusantara tersebut mendapat dukungan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

“Mudah-mudahan ini bisa dilanjutkan untuk menjadi fondasi yang baik, paling tidak kalau untuk mengatasi yang autoimun, ataupun yang komorbid berat, maupun yang memang terkendala untuk vaksin-vaksin yang lain, ini bisa menjadi solusi untuk alternatif yang bisa digunakan,” pungkas Terawan.

Tim Peneliti Legowo

Dalam kesempatan yang sama, tim peneliti Vaksin Nusantara mengaku pasrah jika kemudian pemerintah terpaksa menyetop proses uji klinis. Sikap itu diutarakan menyusul keputusan BPOM yang belum juga memberikan Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis II.

“Jadi kami sekarang hanya menunggu PPUK uji klinis fase II. Kalau itu bermanfaat kami lanjutkan, tapi kalau itu tidak bermanfaat, kami peneliti tidak ada pretensi apa-apa. Kami jujur, kalau tidak bermanfaat ya disetop kami legowo,” kata peneliti utama vaksin nusantara, Djoko Wibisono dalam agenda Rapat Kerja bersama Komisi IX yang disiarkan melalui kanal YouTube DPR RI, Rabu (10/3).

Menurut Djoko, sejauh ini timnya sudah memenuhi pakem-pakem klinis untuk penelitian dan pengembangan vaksin. Mulai dari uji pra-klinis pada binatang hingga uji klinis fase I yang menyasar manusia.

Namun demikian, ia mengakui bahwa uji pra-klinis pada binatang tidak dilakukan di Indonesia, melainkan dilakukan oleh pihak sponsor, yakni AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat.

Hal itu juga ia sampaikan sekaligus merespons Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito yang menyoroti pengembangan vaksin nusantara yang langsung melakukan uji klinis I terhadap manusia, tanpa proses uji pra-klinis pada binatang.

“Pasti semua uji klinis di dunia selalu didahului uji klinis pada binatang. Jadi sudah ada di investigator brosur, kami sudah baca, kami yakin, kami buat protokol uji klinis I,” jelas Djoko.

Lebih lanjut Djoko lantas mempertanyakan pelbagai sorotan BPOM. Sebab pasalnya menurut dia, tim peneliti bisa melangsungkan uji klinis fase I tentu atas restu BPOM.

Tapi mengapa kini BPOM justru mempermasalahkan proses pra-klinis. Padahal kata dia, tim peneliti telah rampung menyerahkan laporan uji pra-klinis pada binatang ke BPOM. “Itu sudah di-submit ke BPOM, dan sudah pasti kami tidak akan melakukan uji klinis I tanpa izin dari BPOM,” pungkas Djoko.

BPOM sebelumnya menyinggung proses uji klinis I vaksin nusantara yang dinilai tidak memenuhi kaidah klinis dalam proses penelitian dan pengembangan vaksin. Penny menjelaskan terdapat perbedaan tempat lokasi penelitian dengan pihak yang sebelumnya mengajukan diri sebagai komite etik.

Dalam hal ini, penelitian dilakukan di RSUP dr Kariadi Semarang, sementara komite etik berasal dari RSPAD Gatot Soebroto Jakarta.

Tak hanya itu, Penny juga menyinggung soal perbedaan data yang diberikan tim uji klinis vaksin nusantara dengan data yang dipaparkan pada rapat kerja hari ini. Padahal menurut dia, BPOM telah rampung menyelesaikan review uji klinis I vaksin nusantara.

DPR Tak Terima Kritik BPOM

Dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX, anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay meminta BPOM menghentikan pemberian izin penggunaan darurat (EUA) untuk vaksin hasil produksi luar negeri.

Hal ini dikarenakan alotnya pemberian Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis tahap II dari BPOM pada vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan RI dr Terawan Agus Putranto.

“Saya minta, setiap vaksin yang datang ke RI ini protokolnya dibuat sama. Tolong itu AstraZeneca jangan dipakai dulu, kalau perlu buang saja itu lalu dipulangkan, walaupun itu vaksin gratis. Karena protokolnya tidak sama dengan kemarin Sinovac itu,” kata Saleh dalam raker Komisi IX yang disiarkan melalui YouTube, Rabu (10/3).

Saleh menilai, BPOM tidak konsisten dalam memberikan izin penggunaan vaksin. Ia juga menyorot vaksin AstraZeneca yang belum lama lolos masuk, meski tidak melalui uji klinis di Indonesia. Sementara, ia merasa vaksin Nusantara ini cenderung dipersulit dalam hal perizinannya.

“Ini giliran vaksin Nusantara kenapa ini harus begono-begini, sementara pada saat vaksin asing datang ke Indonesia, EUA dipercayakan kepada negara lain,” lanjutnya.

Selain itu, Saleh juga menuding bahwa BPOM tidak lagi independen dan memiliki dasar ganda. Sebab, dalam pemaparan BPOM salah satu alasan pemberian PPUK uji klinis fase II vaksin Nusantara tidak diberikan, karena uji pra klinis pada binatang dilakukan pihak sponsor dari AIVITA Biomedical, Amerika Serikat.

Menanggapi hal ini, Kepala BPOM Penny K Lukito menegaskan BPOM mendukung pengadaan vaksin Nusantara. Namun seluruh proses pengembangan vaksin, termasuk vaksin Nusantara ini harus lolos tahapan yang berbasis ilmiah.

“BPOM akan transparan, kami tidak memiliki kepentingan untuk menutupi apapun. Tapi, ini merupakan sebuah proses yang berbasis scientific,” tegasnya. (cnn/kps/bbs)

Exit mobile version