Site icon SumutPos

KY Cium Ada Keganjilan Promosi Tiga Hakim Ahok

Hakim yang mengadili kasus Ahok, tiga di antaranya langsung mendapat promosi jabatan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Komisi Yudisial (KY) RI mencium ada keganjilan dalam mutasi atau promosi jabatan terhadap tiga majelis hakim yang mengadili perkara penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Apalagi, kata Juru Bicara KY Farid Wajdi, promosi jabatan yang diberikan Mahkamah Agung (MA) itu satu hari setelah pembacaan vonis dua tahun penjara terhadap Ahok.

“Menanggapi pemberitaan promosi tiga hakim yang menangani sidang Ahok, semua pihak patut mencurigainya,” kata Farid Wajdi kepada Sumut Pos, Jumat (12/5) siang.

Diketahui, berdasarkan hasil rapat Tim Promosi dan Mutasi (TPM) Mahkamah Agung (MA) tanggal 10 Mei 2017, Ketua Majelis Hakim yang mengadili Ahok, Dwiarso Budi Santiarto yang sebelumnya ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, kini mendapat tugas sebagai hakim Pengadilan Tinggi Denpasar, Bali. Artinya Dwiarso tidak lagi menuduki posisi struktural. Tidak heran, banyak yang berpendapat bahwa keputusan itu berkaitan dengan putusan yang dia jatuhkan kepada Ahok. Namun demikian, MA membantah keputusan memindahkan Dwiarso terpengaruh putusan tersebut.

Kemudian, dua anggota majelis hakim lainnya, Jupriyadi, dipromosikan menjadi ketua Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat. Sedangkan Abdul Rosyad, turut mendapatkan promosi jabatan sebagai hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Jambi.

“Yang harus diperhatikan adalah, apa betul mereka telah memenuhi syarat formil untuk dipromosi sebagaimana SK KMA No. 139/KMA/SK/VIII/2013,” kata mantan Dekan Fakultas Hukum UMSU itu.

Farid mengatakan, sehubungan dengan itu, sebaiknya MA transparan atau membuka data rekam jejak karir ketiga hakim ini agar publik mengetahui, bahwa betul ketiga hakim ini dipromosi secara reguler sesuai dasar hukum yang ada. “Dengan demikian, opini publik perihal diskresi itu merupakan transaksional tidak bermunculan lagi dan membuktikan bahwa hal tersebut sudah sesuai prosedural,” tandasnya.

Sebelumnya, Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Humas MA D Y Witanto kepada Jawa Pos, kemarin (11/5) mengatakan, pemindahan Dwiarso termasuk promosi. Sebab, dia naik level dari pengadilan negeri ke pengadilan tinggi. ”Angkatan beliau juga sudah banyak yang menjadi hakim tinggi,” ujarnya. Soal pertanyaan yang muncul lantaran Dwiarso dipindah pasca memutus perkara Ahok, MA tidak banyak komentar. Menurut Witanto wajar bila hal itu menjadi perhatian publik. Sebab, putusan dengan pengumuman TPM Hakim Ditjen Badilum MA memang berdekatan. Hanya terpaut satu hari.

Tapi, Witanto menegaskan, keputusan TPM Hakim Ditjen Badilum MA tidak terpengaruh putusan yang sudah diketuk oleh hakim. Termasuk di antaranya Dwiarso. ”Tidak ada sangkut pautnya,” tegas dia. Lebih lanjut dia mengungkapkan, TPM Hakim Ditjen Badilum MA sudah bekerja sejak jauh hari. Setiap profil hakim yang akan dimutasi atau mendapat promosi juga sudah dipantau lama. Namun demikian, draf hasil rapatnya diumumkan selang sehari pasca sidang putusan Ahok.

Selain sudah lama dalam radar TPH Hakim Ditjen Badilum MA, hasil rapat yang menyatakan Dwiarso pindah tugas serupa dengan 388 hakim lainnya. Karena itu, kata Witanto, instansinya memastikan bahwa kepindahan pria kelahiran 14 Maret 1962 itu tidak terpengaruh putusan yang dia bacakan untuk menghukum Ahok. ”Dari segi kepangkatan, golongan, dan masa kerjanya, beliau sudah memenuhi untuk menjadi hakim tinggi,” jelas dia.

Selain itu track record yang positif juga turut menjadi pertimbangan. Witanto menjelaskan, setiap hakim yang bertugas di pengadilan negeri di ibu kota sudah pasti orang pilihan. Sebab, tidak sembarang hakim dapat bertugas di pengadilan negeri klas 1A khusus. Apalagi jika dipercaya sebagai ketua pengadilan negeri. Sudah pasti MA memilih hakim terbaik. ”Menjadi ketua (pengadilan negeri) di Jakarta itu sudah puncaknya,” ucap Witanto.

Berkaitan dengan masa kerja yang belum terlampau lama, Witanto menyebutkan, ketua pengadilan negeri di Jakarta memang tidak pernah bertugas lama. ”Jadi, durasinya paling lama satu sampai satu setengah tahun. Ada juga yang enam bulan,” ucap dia. Mutasi maupun promosi hakim oleh MA pun sudah biasa. Dalam setahun, bisa tiga sampai lima kali terjadi pergeseran posisi hakim. Itu dilakukan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Tidak terkecuali keputusan yang menyeret Dwiarso untuk bertugas di Pengadilan Tinggi Denpasar.

Senada dengan Witanto, Juru Bicara MA Suhadi juga menyebutkan, track record hakim yang bertugas di Jakarta pasti baik. Sebab, kompleksitas perkara di ibu kota lebih tinggi ketimbang wilayah lain. ”Oleh sebab itu, hakim yang ditugaskan di Jakarta hakim yang sudah professional. Dalam artian pengetahuannya cukup, jam terbangnya sudah tinggi, kemudian integritasnya juga bagus,” ungkap pria yang juga menduduki salah satu kursi hakim agung MA itu. Dwiarso sudah masuk kategori tersebut. (syn/tyo/jpg/gus/adz)

Exit mobile version