Site icon SumutPos

Tak Diberitahu Soal Kasus Dahlan, KPK Protes Kejagung & Polri

Johan Budi
Johan Budi

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) protes terhadap Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) karena pihaknya tidak diberitahu terkait penanganan dan tindak pidana korupsi yang menjerat mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Dahlan Iskan.

Dahlan diduga terlibat kasus antara lain pembangunan 21 gardu listrik, proyek cetak sawah, dan terakhir proyek mobil listrik. Ketiga kasus itu tengah ditangani Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Bareskrim Mabes Polri, serta Kejaksaan Agung.

Pasalnya, Dahlan baru ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pada pembangun 21 Gardu Induk (GI) di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara oleh Kejati DKI Jakarta. Sementara pada dua perkara lainnya, Dahlan masih berstatus saksi.

“Seharusnya KPK juga dikirimi Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (Dahlan) kalau Kejaksaan dan Kepolisian mengusut kasus korupsi,” kata Plt Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johan Budi SP, Jumat (12/6).

Johan melanjutkan, pihaknya hingga saat ini juga belum diminta untuk melakukan tugas koordinasi dan supervisi terkait tiga kasus yang tengah dihadapi mantan Dirut PLN itu. “Belum ada permintaan (untuk koordinasi dan supervisi),” ungkap Johan.

Johan menjelaskan, pihaknya juga belum melakukan penyelidikan maupun penyidikan perkara-perkara korupsi yang diduga melibatkan Menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu. “KPK belum ada penyidikan soal Dahlan,” tandas Johan.

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendar yang baru saja ditunjuk Dahlan sebagai kuasa hukumnya justru menyoroti kejanggalan surat panggilan Dahlan. Menurutnya, dalam surat itu, tidak disebutkan pasal dan undang-undang apa yang disangkakan telah dilanggar oleh Dahlan. Ini menyebabkan kuasa hukum kesulitan dalam mempersiapkan jawaban selama proses pemeriksaan.

Humas Kejati DKI Jakarta Waluyo membenarkannya. Menurut Waluyo, Kejati sudah menerima surat permohonan Dahlan. “Bahwa Pak Dahlan Iskan tidak bisa hadir karena beliau belum didampingi pengacara,” ujarnya di Gedung Kejati DKI, kemarin.

“Kita langsung layangkan untuk diperiksa 17 Juni,” ujarnya. Sebetulnya, Dahlan dijadwalkan menghadapi pemeriksaan di tiga tempat berbeda, dalam waktu yang sama.

Penyelidik Kejati Jawa Timur juga gagal memeriksa Dahlan sebagai saksi dalam kasus hilangnya aset perusahaan daerah PT Panca Wira Usaha, yang pernah dipimpin Dahlan, Senin (8/6) lalu. Dahlan, sedianya juga diperiksa penyidik Kejagung, Rabu (10/6), dalam kasus dugaan penyimpangan pengadaan 16 unit mobil listrik di tiga BUMN senilai Rp32 miliar. Ia hendak diperiksa sebagai saksi. Dahlan mengajukan permohonan penundaan. Penjadwalan ulang ketiga kasus itu, datang di hari yang sama, 17 Juni mendatang.

Untuk itu, Kejagung telah berkoordinasi dengan Kejati DKI dan Kejati Jawa Timur untuk mencegah bentrok. “Kasus Dahlan, pemeriksaan akan dilakukan 17 Juni di Kejagung. Saya akan koordinaskan dengan Kejati agar mereka mengganti jadwal pemeriksaan,” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Maruli Hutagalung di Kejaksaan Agung, kemarin.

Kejagung, juga berencana mengambil alih dua kasus dugaan korupsi itu. Pengambil alihan kasus itu untuk mempermudah proses pemeriksaan terhadap mantan Menteri BUMN itu.

“Lebih baik diambil alih oleh Kejagung semuanya. Penyidiknya gabungan dari Kejati DKI dan Jawa Timur,” ungkap Maruli.

Sebelumnya, juga berbicara di gardudahlan.com, Dahlan menjelaskan sedikit soal prosedur proyek gardu induk PLN. Menurut Dahlan, proyek ini ditangani oleh satu organisasi yang disebut P2K (Pejabat Pembuat Komitmen).

P2K itu didampingi oleh bendahara, tim pemeriksa barang, tim penerima barang dan tim pengadaan. Menurut Dahlan, seluruh pejabat di situ pegawai PLN, tapi yang mengangkat mereka adalah menteri ESDM.

“Mengapa? Karena Pengguna Anggarannya (PA) adalah menteri ESDM. Dalam hal ini, Dirut PLN (waktu itu saya), sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),” jelas Dahlan. Ini sesuai dengan bunyi Keppres No 54 tahun 2010.

Dijelaskan Dahlan, P2K memiliki wewenang luar biasa besar. Merekalah yang melakukan lelang/tender, termasuk menentukan pemenang tender. Mereka juga yang membuat dan menandatangani kontrak. Merekalah yang melaksanakan pekerjaan. Dan mereka pulalah yang melakukan pembayaran. Untuk melakukan semua itu, P2K tidak perlu meminta persetujuan KPA/Dirut PLN. Ketentuannya memang begitu.

“Jadi kalau saya tidak mencampuri lelang, siapa pesertanya, siapa pemenangnya dan bagaimana pengadaan barangnya, memang karena mereka tidak perlu minta persetujuan KPA/Dirut PLN. Demikian juga saat mereka membayar. Tidak perlu minta persetujuan KPA/Dirut PLN,” jelasnya.

Apalagi, kata Dahlan, dirinya hanya 22 bulan menjadi dirut PLN. “Dengan demikian, saya sudah tidak di PLN ketika kontrak-kontrak ditandatangani. Saya juga sudah tidak di PLN ketika pembayaran-pembayaran dilakukan,” pungkasnya. (jpnn/val)

Exit mobile version