Site icon SumutPos

IDI Pilih Hukuman Mati daripada Kebiri

Hukuman Kebiri-Ilustrasi
Hukuman Kebiri-Ilustrasi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penambahan hukuman kebiri yang rencananya menjadi hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual, masih menuai protes di sebagian kalangan. Oleh karenanya, ini dinilai masih perlu sosialisasi mengenai hukuman tersebut. Sebab, masih banyak yang beranggapan hukuman kebiri adalah memotong alat kelamin (pria).

Ketua Komnas Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait menjelaskan, hukuman kebiri itu harus disosialisasi kepada masyarakat. Bahwasanya, hukuman itu bukanlah memotong atau menghilangkan alat kelamin. Melainkan, mengendalikan hak seksualitas dan libido yang liar.

“Perpu ini sebenarnya memberikan peluang kepada hakim untuk memutuskan, apakah seorang terdakwa itu pantas dihukum kebiri atau tidak berdasarkan perbuatan yang dilakukannya. Jadi, tidak semata-mata langsung dihukum kebiri. Dan, tidak semua hakim akan memutuskan perkara dengan hukuman kebiri,” ungkap Aris ketika berada di Medan, akhir pekan lalu.

Menurutnya, apabila hukuman kebiri terus menjadi kontroversi dan belum terlaksana, maka ini menjadi pengabaian terhadap hak anak. Untuk itu, pemerintah segera diminta menerapkan hukuman kebiri itu.

“Hukuman kebiri ini merupakan Perpu perubahan kedua tentang UU Nomor 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Jadi, ini bukan Perpu Kebiri, dan ini gagasan Komnas PA sejak tahun 2013. Lalu, 2015 direspon oleh presiden dan negara menganggap bahwa seluruh kekerasan terhadap anak merupakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa),” jabar Aris.

Ia menjelaskan, karena bentuk kejahatannya luar biasa, maka pidana pokoknya yang mengatur tentu juga harus luar biasa. Akhirnya, setelah melihat UU Nomor 23/2002 itu hukuman maksimal 15 tahun dan minimal 5 tahun kurungan penjara tidak berkeadilan bagi korban. Maka dari itu, Perpu itu mengadopsi hukuman maksimal 20 tahun dan minimal 10 tahun, ditambah hukuman pemberatan baik itu fisik atau kebiri. Untuk hukuman fisik atau kebiri itu, bisa ditambahkan apabila terjadi secara bergerombol. Artinya, pelaku merupakan gerombolan orang yang melakukan pemerkosaan hingga mengakibatkan organ-organ seksualitas menjadi cacat secara permanen atau bahkan meninggal dunia. Sedangkan, bagi residivis pelakunya, maka bisa dihukum seumur hidup atau hukuman mati kalau Pasal 340 KUHPidana terpenuhi dan ditambahkan hukuman kebiri.

“Pada tahun ini terjadi fenomena mengerikan kejahatan seksual yang dilakukan. Pelakunya tidak lagi personal tetapi bergerombol antara 3 orang hingga lebih. Dari data Komnas Perlindungan Anak, ada sekitar 27 kasus ini yang terjadi dan 3 diantaranya meninggal dunia. Artinya, gerombolan pemerkosa ini menjadi fenomena yang sangat menakutkan. Oleh karenanya, Perpu ini penting diterapkan untuk ditujukan kepada mereka yang bergerombol melakukan kejahatan seksual,” pungkas Aris.

Sementara itu, terkait hukuman kebiri ini IDI Sumut menyarankan kepada pemerintah agar pelaku diberi hukuman mati. Alasan, hukuman kebiri kimia bukanlah suatu penyelesaian efek jera.

“Kita satu suara dengan IDI pusat untuk menolak menjadi eksekutor. Kita lebih setuju pelaku dihukum dengan seberat-beratnya ataupun dihukum mati saja biar memberi efek jera. Hukuman kebiri kimia itu bukan suatu penyelesaian,” kata Sekretaris IDI Sumut dr Khairani Sukatendel SpOG kepada wartawan.

Diutarakan dokter spesialis kandungan ini, dokter tidak bisa menjadi eksekutor karena pengabdian kepada prinsip profesi kedokteran yang tidak membeda-bedakan pasien. Hukuman kebiri kimia ini memaksa dokter untuk menyakiti manusia, sedangkan dokter tidak pernah diajarkan untuk menyakiti. Sebab, tugas dokter untuk mengobati orang yang sakit agar kembali sembuh

“Penyelesaian kejahatan seksual ini dapat diselesaikan dengan dilakukannya secara komprehensif oleh semua pihak. Pelaku kejahatan seksual kepada anak masih kebanyakan usia anak remaja. Dimana, anak remaja itu melakukannya disebabkan beberapa faktor seperti pengaruh minuman keras (miras), narkoba, suka menonton film ataupun melihat foto pornografi serta pendidikan moral sekarang dinilai lemah,” tuturnya.

Khairani menyebutkan, banyak orang tua yang tidak bisa memberikan panutan moral kepada anaknya baik di rumah, sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal. Hal itulah menjadi salah satu penyebab yang harus diatasi oleh pemerintah dan semua pihak.

Senada dengan Khairani dikatakan praktisi kesehatan dr Delyuzar. Dosen Fakultas Kedokteran USU ini menyatakan, sekalipun dipaksa oleh aturan di negara ini, dokter tetap tidak bisa menjalankannya. Karena, disumpah untuk tidak melanggar perbuatan perikemanusiaan.

“Para dokter memang tidak boleh mengkebiri, mengaborsi dan hal lainnya yang melanggar perikemanusiaan. Oleh karenanya, menjadi eksekutor kebiri melanggar sumpah dokter. Sekalipun itu diancam, kita tidak boleh melanggar sumpah kita,” cetus Delyuzar.

Ia mengungkapkan, Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) sudah mengeluarkan ultimatum tegas terkait hukuman kebiri dan akan memecat dokter dari IDI yang melakukannya.

Delyuzar menilai, hukuman kebiri pantas memang bagi mereka pelaku kejahatan seksual, bahkan hukuman mati. Sebab, pelaku sudah merusak masa depan anak bangsa. Namun, masalahnya dokter tidak bisa melaksanakan kebiri itu karena melanggar sumpah.

“Disarankan bukan dokter sebagai eksekutornya, dan instansi terkait yang lebih mengetahui siapa eksekutor hukuman kebiri itu,” tukasnya. (ris/ije)

Exit mobile version