Site icon SumutPos

Bonaran Terus Melawan

FOTO: HENDRA EKA/JAWA POS Bupati Tapanuli Tengah, Bonaran Situmeang, mengenakan rompi tahanan usai diperiksa 7 jam di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam putusan Akil, Bonaran disebut terbukti menyuap Akil sebesar Rp1,8 miliar. Uang tersebut diduga kuat terkait dengan pelaksanaan pilkada di Kabupaten Tapanuli Tengah. Pilkada Kabupaten Tapanuli Tengah dimenangkan oleh pasangan Bonaran dan Sukran Jamilan Tanjung. Namun keputusan KPUD Tapanuli Tengah digugat oleh pasangan lawan.
FOTO: HENDRA EKA/JAWA POS
Bupati Tapanuli Tengah, Bonaran Situmeang, mengenakan rompi tahanan usai diperiksa 7 jam di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam putusan Akil, Bonaran disebut terbukti menyuap Akil sebesar Rp1,8 miliar, diduga terkait pelaksanaan pilkada di Kabupaten Tapanuli Tengah.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Nasib berbeda dialami pasangan pemimpin Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng). Sang bupati, Bonaran Situmeang, ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan darahnya rawan membeku karena sulit mendapatkan obat. Di sisi lain, sang wakil, Sukran Jamilan Tanjung, resmi menjadi pelaksana (Plt) bupati Tapteng.

Itulah sebab Bonaran menganggap KPK memperlakukan dirinya secara sewenang-wenang. Bonaran pun berniat terus melakukan perlawanan dari balik jeruji tahanan Rutan Guntur. Sudah dua kali bentuk perlawanan dia lakukan.

Perlawanan pertama dilakukan saat tim pengacara dilarang membesuk ke rutan yang terletak di kompleks Markas Polisi Militer Komando Daerah Militer (Pomdam) Jaya itu. Sumber menceritakan, pada Selasa (7/10), atau selang sehari penahanan, tim kuasa hukum yang dipimpin Tommy Sihotang, hendak membesuk Bonaran. Sesuai prosedur, sebelum membesuk ke rutan, harus mengurus izin dulu ke KPK.

Izin pun sudah dikantongi, lantas tim kuasa hukum Bonaran bertandang ke rutan, yang bangunannya merupakan peninggalan jaman Belanda itu. “Tapi sampai di rutan, malah gak boleh masuk. Kata petugas di rutan, baru saja ada telepon dari KPK, katanya tidak boleh masuk, masa isolasi satu minggu tak boleh dibesuk. Tim pengacara langsung marah, protes, mengadu ke Komnas HAM. Rabu mereka baru bisa masuk ke rutan,” beber sumber yang merupakan orang dekat Bonaran, kepada Sumut Pos, kemarin (12/10).

Dia mewanti-wanti agar namanya tidak ditulis di koran ini. Alasannya, agar dirinya tidak dipersulit izinnya jika ingin menemui Bonaran di rutan. “Itu perlawanan pertama,” imbuhnya.

Yang kedua adalah mengirim surat ke Komnas HAM, Jumat (10/10) pekan lalu, karena Bonaran merasa dipersulit untuk menerima kiriman obat pengencer darah dari pihak keluarga. Sampai-sampai, suratnya yang dikirim ke Komnas HAM dan Ketua DPR itu diberi judul ‘Jangan Bunuh Saya’.

Sakit apakah yang diderita Bonaran? Sumber itu menjelaskan, Bonaran sudah lama mengidap penyakit jantung. Jauh hari sebelum menjadi bupati, yakni saat masih aktif sebagai pengacara, Bonaran sudah menjadi pasien rawat jalan sebuah rumah sakit di Singapura.”Kalau obatnya habis, ada kurir yang mengurus obatnya dari Singapura. Obat pengencer darah, itu bahasa awamnya. Setiap hari harus diminum,” bebernya.

Apakah setelah kirim surat ke Komnas HAM, obat dimaksud sudah diterima dan dikonsumsi Bonaran? Dia belum berani memastikan. “Yang pasti kalau tak minum rentan pembekuan darah,” imbuhnya.

Dia juga memastikan, Bonaran akan terus melakukan perlawanan. Diakui, sudah banyak saran yang masuk ke Bonaran agar dia tak melakukan perlawanan. Pasalnya, bisa-bisa sikapnya itu berdampak pada tingginya tuntutan hukuman yang akan diberikan oleh jaksa KPK nantinya.

“Tapi Bonaran sudah bertekad melawan. Katanya, harus ada yang berani melawan kesewenang-wenangan KPK. Dia tidak takut karena merasa tidak bersalah,” beber dia.

Dari pihak KPK, tanggapan sudah disampaikan Juru KPK Johan Budi. Dengan nada enteng, Johan mengatakan, merupakan hak tersangka untuk menyampaikan kekecewaannya dan lapor ke Komnas HAM. “Tidak ada masalah. Silakan saja,” kata Johan.

Sementara, Wakil Ketua Komnas HAM M Imdadun Rahmat, menjelaskan, bahwa orang-orang yang dibatasi kebebasannya, seperti ketika ditahan atau dipenjara, tetaplah harus mendapatkan perlakuan yang manusiawi.

“Misalnya tetap boleh berkomunikasi dengan keluarganya, kuasa hukumnya, dan juga hak menjaga kesehatannya,” kata Imdadun kepada koran ini, kemarin.

Komnas HAM juga tidak tergesa-gesa untuk mengambil kesimpulan terhadap pengaduan Bonaran. Tahapannya, pengaduan dikaji dulu. Jika hasil kajian ditemukan indikasi pelanggaran HAM, tim dari Komnas HAM akan melakukan pengecekan ke lapangan.

“Kalau memang disimpulkan terjadi pelanggaran, barulah dibuat rekomendasi untuk instansi terkait,” tegasnya.

Di sisi lain, Sukran Jamilan Tanjung kini resmi menjabat sebagai Plt. Kepastian tersebut dikemukakan Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan di Jakarta, Minggu (12/10).

Menurutnya, Mendagri Gamawan Fauzi telah menandatangani Surat Keputusan (SK) penunjukan Sukran menjadi Pelaksana Tugas Bupati, Jumat (10/10) kemarin. Setelah sebelumnya menonaktifkan Bonaran agar dapat lebih fokus menghadapi kasus yang disangkakan.

“Iya betul, Jumat (10/10) kemarin, sudah ditandatangani surat nonaktif Bupati Tapteng (Bonaran,red), dan wakilnya (Sukran,red) dijadikan sebagai Plt Bupati,” katanya di Jakarta.

SK kata birokrat yang akrab disapa Prof Djo ini, pada hari itu juga (Jumat) telah langsung dikirim ke pihak-pihak terkait untuk dapat segera dijalankan sebagaimana mestinya.

“Prosedur penerbitan SK penonaktifan dan pengangkatan wakil kepala daerah menjadi pelaksana tugas dilaksanakan sesuai ketentuan pasal 65 dan pasal 66 UU 23 tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah,” katanya.

Pada pasal tersebut kata Prof Djo, diatur ketentuan kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan, dilarang melaksanakan tugas dan kewenangannya. Selanjutnya disebutkan, jika kepala daerah sedang menjalani masa tahanan, wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah.

Meski kewenangan dan tugas Bonaran yang ditahan diserahkan ke wakilnya, namun status Bonaran tetap sebagai kepala daerah. Dia diberhentikan sementara setelah status hukumnya ditingkatkan menjadi terdakwa.

“Kalau sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap, baru lah diberhentikan secara permanen,” terang Djohermansyah, beberapa waktu lalu. (sam/gir/rbb)

Exit mobile version