Site icon SumutPos

Lah Pai Amak dari Siko, Aden Kanai Tangan Liak Mak…

Tentang Ibu yang Dua Anaknya Tewas di Tahanan Polsek Sijunjung

Dua buah hati Yusmanidar tewas mengenaskan di dalam tahanan Polsek Sijunjung, Sumatera Barat (28/12). Polisi mengklaim keduanya meninggal karena bunuh diri. Namun, pihak keluarga tak percaya karena jenazah penuh lebam dan patah tulang.

Yusmanidar terlihat lunglai saat keluar dari gedung Bareskrim Mabes Polri, Kamis (12/1). Perempuan 50 tahun itu tidak terlalu antusias saat melayani wawancara sejumlah wartawan. Dia lebih banyak diam. Sesekali menghela napas panjang. “Ibu masih trauma,” kata Direktur LBH Padang Vino Oktavia yang mendampingi Yusmanidar.

Yusmanidar mendatangi Bareskrim untuk membuat laporan tentang kematian misterius dua anaknya, Faisal Akbar (14) dan Budri M Zen (17). Selain sejumlah pengacara dari LBH Padang, dia ditemani si sulung Didi Firdaus. Lelaki 27 tahun tersebut ikut mendampingi ibunya yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Karena itu, Vino dan Didi terkadang harus menjadi penerjemah agar komunikasi lancar.
Yusmanidar memiliki empat anak. Selain Faisal dan Budri, ada Didi Firdaus dan Rilpai Madaud (20). Setelah kematian dua putranya, Yusmanidar lebih banyak diam Perempuan single parent yang bekerja sebagai buruh tani itu belum bisa melupakan dua anak lelakinya tersebut. Yusmanidar kadang tidak percaya dua anaknya itu sudah meninggal Apalagi dengan cara yang tidak masuk akal seperti yang diungkapkan petugas dari Polsek Sijunjung. Yakni, dengan menggantung diri di kamar mandi tahanan. “Itu tidak mungkin,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

“Ibu ingin terus mencari kebenaran tentang bagaimana anaknya bisa meninggal. Tapi, itu justru membuat dia semakin sedih. Kadang-kadang saat kami sedang membahas kasus ini, dia suka menyendiri dan melamun,” tutur Vino.

Faisal mengalami nahas saat bermain ke Desa Nagari Pamatang Panjang pada 21 Desember lalu. Dia tidak mengetahui bahwa warga di kampung tersebut sudah dua kali kemalingan kotak amal. Faisal ditangkap warga dengan tuduhan mencuri kotak amal. Selanjutnya, dia diserahkan ke wali nagari sebelum kemudian dibawa ke kantor polisi.

Lain lagi kasus yang menjerat Budri. Didi menuturkan, Budri awalnya bekerja di sebuah tambang emas di Solok. Namun, melihat banyaknya kecelakaan di tambang, dia merasa khawatir. Suatu ketika Budri curhat kepada Yusmanidar. Dia khawatir mengalami celaka seperti yang sudah banyak terjadi pada teman-temannya. Akhirnya Budri pamit kepada ibunya untuk ganti pekerjaan.
“Dia ganti kerjaan jadi penjual rambutan di Padang. Katanya lebih nyaman dan aman. Dia juga bisa selalu pulang setiap minggu,” kata Didi.

Siapa sangka, bekerja sebagai penjual rambutan itu menjadi pekerjaan terakhir Budri. Hanya sebulan bekerja, dia ditangkap oleh petugas Polsek Sijunjung pada 26 Desember 2011. Dia dituduh terlibat berbagai kasus curanmor.

Kakak-adik itu pernah dibesuk oleh Yusmanidar pada 22 Desember. “Waktu ambo manganta nasi, sesudahnyo ditangkok, Faisal mengaku kanai tangan dek polisi (waktu saya mengantar nasi, setelah dia ditangkap, Faisal mengaku dipukul polisi, Red),” ucap Yusmanidar. Faisal sempat berujar kepada Yusmanidar, “Lah pai amak dari siko, aden kanai tangan liak mak (setelah ibu pergi dari sini, saya akan dipukul lagi, Red)?”

Itu adalah pertemuan terakhir Yusmanidar dengan dua anaknya. Pada 28 Desember malam dia dikabari bahwa dua anaknya tewas. Polisi mengklaim bahwa mereka bunuh diri dengan menggantung diri di kamar mandi.

Keanehan terus bermunculan setelah meninggalnya Faisal dan Budri. Dalam kantong mayat Budri ditulis keterangan mayat bernama ‘Gepeng’. Padahal, Gepeng bukan nama Budri. Selama ini Gepeng dikenal sebagai salah seorang pemimpin sindikat pencurian kendaraan bermotor di kawasan Sijunjung. Karena itu, para pengacara yang mendampingi Yusmanidar menduga bahwa Budri adalah korban salah tangkap.

Keanehan lainnya adalah kondisi jenazah Faisal dan Budri. Ditemukan banyak lebam di sekujur tubuh. Juga, leher patah, rahang patah, gigi rontok, tangan patah, paha kanan patah,  pinggul membiru, dan dua jempol kaki pecah.

Setelah mereka dikubur pada 30 Desember 2011, sejumlah polisi, rupanya, berniat ‘membereskan’ perkara tersebut. Caranya, memberikan sejumlah uang kepada Yusmanidar. Mereka mendatangi mamak dan ninik (sebutan untuk pemuka adat di Padang) dan memberikan duit Rp1,5 juta agar diserahkan kepada Yusmanidar. Uang itu, kata polisi tersebut, merupakan uang dukacita. “Kalau masih butuh duit lagi, nanti akan ditambah,” ucapnya.

Yusmanidar mengungkapkan, duit itu tak cukup untuk menghapus kesedihannya. Uang tersebut juga tidak bisa membuat dua anaknya kembali hidup. Karena itu, dia memutuskan untuk terus berupaya membongkar kebenaran penyebab kematian anaknya.
Hasil otopsi dari Rumah Sakit M Djamil, Padang, pada 4 Januari lalu menyatakan bahwa penyebab kematian Faisal dan Budri bukan bunuh diri. “Mereka meninggal karena lemas. Istilahnya asfiksia,” kata Didi.

Didi mengharapkan keadilan akan didapatkan keluarganya. Dia ingin kebenaran penyebab kematian dua adiknya terungkap. Jika memang mereka meninggal karena penyiksaan saat diinterogasi oleh polisi, dia berharap supaya para pembunuh itu mendapat ganjaran yang setimpal. “Kami berharap agar semuanya diusut tuntas. Kalau memang polisi yang bersalah, semoga mereka dipecat dan dihukum sewajar-wajarnya,” tuturnya. (*)

Exit mobile version