Site icon SumutPos

Loper Koran Tembus Kabinet Jokowi

President Joko Widodo (kanan) berjabat tangan dengan Menteri Sosial baru, Idrus Marham (kiri), didampingi istri, Ridho Ekasari (tengah), seusai pelantikan di Istana Presiden, Jakarta, 17 Januari 2018.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pergantian posisi menteri yang dilakukan Presiden Joko Widodo kemarin (17/1), tidak menyentuh Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto. Presiden hanya mengganti posisi Mensos Khofifah Indar Parawansa yang mundur untuk pencalonan gubernur di Jatim. Sementara, Airlangga yang merangkap sebagai Ketua Umum Partai Golkar tetap aman.

Sebagai pengganti Khofifah, Presiden Joko Widodo menunjuk Sekjen Partai Golkar Idrus Marham. ’’Ya karena cocok saja, cocok di situ (Kemensos) Pak Idrus,” kata Presiden setelah pelantikan. Pergantian dilakukan karena jabatan Mensos memerlukan perhatian ekstra.

Selain Idrus, Presiden juga melantik tiga pejabat lainnya. Masing-masing Kepala Staf Presiden Moeldoko yang menggantikan Teten Masduki. Teten dibuatkan jabatan baru, yakni kordinator staf khusus presiden. Kemudian, Agum Gumelar masuk menjadi anggota Wantimpres di posisi yang ditinggalkan Alm KH Hasyim Muzadi. Terakhir, Wakil KSAU Marsekal Madya Yuyu Sutisna dipromosikan sebagai KSAU dan langsung naik pangkat menjadi Marsekal.

Kemarin, Idrus hadir mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Tidak lupa, kacamata berwarna gelap melengkapi penampilannya. Sementara, sang istri, Ridho Ekasari, tampil anggun mengenakan setelan kebaya putih dipadu bawahan songket motif jumputan berwarna merah marun kombinasi benang keemasan.

Di balik reputasi, ketenaran, dan kontroversinya, pria kelahiran Pinrang, 14 Agustus 1962, ini, lahir dari keluarga yang sangat kontras dengan status sosial yang disandangnya kini. Berbagai pengalaman dan pekerjaan pernah dijajalnya. Termasuk menjadi loper koran sebuah media di Kota Makassar.

Sejak kecil, Idrus dipaksa mandiri oleh keadaan. Kehidupan keluarga yang serba kekurangan, menuntutnya harus mencari tambahan penghasilan. Semuanya demi menambal ekonomi keluarga.

Orang tua Idrus, Haming (ayah) dan Marjain (ibu) hanya petani penggarap sawah milik orang lain. Marham di belakang nama Idrus merupakan gabungan nama kedua orang tuanya. “Bapak sama ibu juga tidak tamat SD. Kami memang keluarga petani, tetapi tidak punya tanah sendiri untuk digarap. Jadi, cukup susahlah saat itu,” ucap Idrus kepada FAJAR (grup Sumut Pos), usai dilantik jadi Mensos, kemarin.

Kehidupan yang serba sulit ikut membentuk cara pandang Idrus. Terbiasa menerima tantangan dan cobaan sejak masih di sekolah dasar (SD), membuat mental dan kedewasaan Idrus dalam menyikapi setiap persoalan mulai terbentuk.

Dari situ, kehidupan Idrus yang lulus SMA di Parepare, tak bisa lepas dari dunia organisasi. Dia bertekad menyuarakan kebenaran dan lepas dari garis kemiskinan. Jadilah Idrus kerap berada di barisan terdepan dalam setiap kali terlibat di lingkungan organisasi. Kepiawaiannya berpidato atau menyampaikan pendapat kerap membuatnya mendapat pujian dari para lawan debatnya. “Dari remaja masjid dan di SMP, saya jadi pengurus OSIS,” ucapnya.

Sembari mengisi kesibukan di sekolah dan organisasi, Idrus juga tak luput menyisipkan waktu untuk mencari nafkah. Mulai dari menjual rumput untuk pakan ternak hingga menjadi buruh serabutan sebagai penambang pasir dilakoninya.

Tamat SMA, tekad Idrus mengejar mimpi menjadi politikus, membuatnya berani merantau ke Makassar. Di Kota Daeng, Idrus diterima di Kampus IAIN Alauddin Makassar (sekarang UIN Alauddin). Bagi Idrus hidupnya tak bisa dilepaskan dari kata tantangan. “Saya suka tantangan. Bagi saya, tantangan adalah jalan keluar dalam menapaki derajat hidup yang lebih baik. Ketika tantangan itu tidak ada, maka sesungguhnya kita sudah mati,” ucapnya.

Di lingkungan mahasiswa, Idrus dikenal sebagai aktivis yang mumpuni. Demi menopang biaya kuliah dan hidup di Makassar, Idrus pernah menjadi loper koran. Pundi-pundi rupiah juga diperoleh dengan menulis opini di beberapa koran lokal di Makassar. “Dari kecil memang saya bermimpi menjadi bagian dari perubahan bangsa ini. Untuk sampai ke situ, tak ada pilihan selain berpolitik,” ujar Idrus.

Mantan dosen Universitas Islam Attahiriyah (1986-1992) ini menilai, ada yang keliru dari pemahaman masyarakat soal politik. Politik kini kerap diidentikan dengan praktik haram dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan tujuan.

“Padahal, justru dengan berpolitik, kita bisa berjuang mengubah kebijakan bangsa atau menuangkan ide. Dan memang dinamika dalam politik sangat dinamis dan kita dituntut untuk bekerja keras dan bekerja cerdas,” tutur mantan Purek III UNIAT Jakarta (1987-1992) ini.

Kesibukan Idrus juga membuatnya melepas masa lajangnya di usia 47 tahun. Ia menikahi perempuan cantik bernama Ridho Ekasari yang saat itu masih berusia 28 tahun. Keduanya menikah di Masjid Dian Al Makhri, Depok, Jawa Barat, 4 Juni 2009 silam.

Kini Idrus tengah memasuki periode puncak karier dalam dunia politik. Di Istana Presiden, Jakarta, pagi kemarin, Presiden Joko Widodo memberikan mandat dan kepercayaan secara resmi kepada Idrus Marham menggantikan Khofifah Indar Parawansa sebagai Menteri Sosial.

Melanjutkan sisa jabatan menteri di kabinet Jokowi, Idrus siap melanjutkan program kerja yang sebelumnya telah dilakukan khofifah. “Saya tetap menjalin komunikasi dengan Beliau (Khofifah, red). Sesungguhnya saya melanjutkan apa yang Khofifah jalankan selama ini,” ucapnya.

Sinergi dengan kementerian lain juga menjadi prioritas Idrus. Dia tidak menampik program kerja kementerian yang akan dijalankan hampir sebagian besar berafiliasi dengan kementerian lainnya.

Masuknya Idrus dalam jajaran kabinet Jokowi juga turut melengkapi drama Partai Golkar setelah mengalami pasang surut akibat konflik internal. Menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Idrus kerap diperhadapkan dalam situasi dilematis. Puncaknya ketika Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar. Terpilihnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum menggantikan Setya Novanto, menghembuskan isu pencopotannya sebagai sekjen.

Banyak yang menilai Munaslub Golkar menjadi akhir dari karier perpolitikan Idrus. Tetapi, anggapan itu meleset. Situasi itu menunjukkan kepiawaiannya dalam menangani gejolak yang terjadi.     Setelah dinamika itu dilewati, Idrus berkata, soal prinsip hidup dia menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. (rdi-eby/rif-zuk/jpg/adz)

Exit mobile version