Site icon SumutPos

Dahlan Iskan Jadi Saksi Kasus WW

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

SURABAYA, SUMUTPOS.CO – Dahlan Iskan memenuhi panggilan penyidik Kejati Jatim kemarin. Mantan direktur utama PT Panca Wira Usaha (PWU) Jatim itu dimintai keterangan sebagai saksi terkait penyidikan dengan tersangka Wisnu Wardhana (WW).

Dahlan tiba di gedung Kejati Jatim pukul 10.12 Senin (17/10) dan langsung menuju ruang pemeriksaan di lantai 5. Mantan Dirut PLN itu menjalani pemeriksaan sekitar enam jam. Penyidik memutuskan menghentikan pemeriksaan dan melanjutkan pemeriksaan pada hari ini (18/10).

Pemeriksaan tersebut berkaitan dengan penyidikan kasus dugaan penyelewengan penjualan lahan milik PT PWU Jatim di Kediri dan Tulungagung. Kejati menganggap pelepasan itu melanggar Perda Nomor 5 Tahun 1999 tentang Penggabungan Lima Perusahaan Daerah dan digabung menjadi PT PWU. Alasannya, penjualan tersebut dilakukan tanpa meminta izin DPRD.

Kepala Kejati Jatim Maruli Hutagalung mengatakan, Dahlan diperiksa sebagai saksi. Penyidik menggali keterangan apa yang diketahui Dahlan mengenai penjualan dua lahan tersebut.

Mantan direktur penyidikan pidana khusus Kejagung itu menambahkan, Dahlan dipanggil lagi hari ini sebagai saksi. Materinya adalah lanjutan pemeriksaan kemarin.

Lain halnya dengan WW. Mantan ketua DPRD Surabaya itu kemarin dihadirkan untuk diperiksa sebagai tersangka. ”Karena kurang sehat, pemeriksaan ditunda lagi,” katanya. Sampai sekarang penyidik belum mengetahui kerugian negara secara resmi karena masih meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Sementara itu, Mursyid Murdiantoro, kuasa hukum Dahlan, menjelaskan bahwa mantan menteri BUMN tersebut tidak hadir dalam panggilan sebelumnya karena masih berada di luar negeri. Sejak jauh hari Dahlan berkomitmen menghadiri undangan Kejati Jatim. Hanya, masih dicari waktu yang tepat lantaran tidak sedang berada di Indonesia.

Menurut dia, pelepasan aset yang disangkakan kepada WW itu merupakan upaya restrukturisasi aset. Hal tersebut dilakukan untuk menghidupkan PT PWU Jatim yang saat itu hidup segan mati pun tak mau. ”Waktu itu banyak BUMD yang mati dan hidup pun tidak bisa,” ucapnya.

Kebanyakan aset PT PWU ketika itu berbentuk tanah yang telantar. Sebagian besar berstatus hak guna bangunan (HGB) dengan izin mati bertahun-tahun. Untuk bisa mengantongi izin HGB lagi, dibutuhkan dana yang sangat banyak. Dengan keadaan saat itu, PWU dipastikan tidak bisa memperpanjang izin HGB karena kondisi perusahaan yang sedang kembang kempis. Modal perusahaan juga sangat cekak.

Kebanyakan aset telantar itu merupakan bekas unit usaha perusahaan daerah yang gulung tikar. Misalnya, bekas pabrik keramik di Tulungagung. Perusahaan tersebut telah lama kukut (bangkrut). Tanah di lokasi itu kebanyakan ditempati keluarga mantan karyawan. Karena itu, untuk menguasai kembali, dibutuhkan dana besar. Dana, antara lain, dipakai untuk merelokasi orang yang menempati lahan tersebut. Tak hanya ditempati warga, ada juga aset yang dikuasai instansi pemerintah. Ada pula yang menjadi pasar.

Upaya menghidupkan PT PWU Jatim dilakukan dengan membentuk tim restrukturisasi aset. Dahlan memberikan warning keras saat membentuk tim restrukturisasi tersebut. Dia menekankan agar selama proses tersebut jangan sampai ada korupsi, ngobyek, maupun mengambil fee. ”Kalau ada yang melakukan itu, berarti mengkhianati saya,” ucap Mursyid menirukan ucapan Dahlan.

Di sisi lain, persoalan restrukturisasi aset tersebut sebenarnya sudah klir. Meski PWU telah berbentuk perseroan terbatas yang tunduk terhadap UU PT, mekanisme izin legislatif dan eksekutif tetap dilakukan direksi. Komisi C DPRD Jatim yang menjadi mitra PWU mengamininya.

Mantan Ketua Komisi C DPRD Jatim (1999–2004) Dadoes Sumarwanto mengatakan, aset PWU merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. Dengan begitu, segala prosesnya tunduk pada UU Perseroan Terbatas (PT) No 1 Tahun 1995. Keputusan tertinggi ada pada RUPS. ”Jadi, proses jual belinya tidak perlu lewat DPRD,” kata pria yang pernah menjadi anggota Komisi V DPR itu.

Dadoes ingat betul bahwa DPRD pernah menyetujui rencana kerja PT PWU terkait dengan restrukturisasi. Bahasa yang digunakan Dadoes, konsolidasi aset. Dokumen persetujuan yang ditandatangani ketua DPRD saat itu, Bisjrie Abdul Djalil, juga masih dipegang PT PWU hingga saat ini.

Dalam dokumen bernomor 38/PWU/02/II/2002 itu disebutkan, sesuai hasil rapat dengar pendapat antara komisi C dan PT PWU, diputuskan pelepasan aset diproses sesuai dengan UU PT. Juga, berpedoman pada UU tersebut.

”Jadi, konsolidasi aset itu menjual yang tidak produktif untuk digabungkan ke aset lain yang lebih produktif,” ujarnya. Menurut Dadoes, restrukturisasi tersebut membuahkan hasil positif. Misalnya, terciptanya Industrial Estate Wira Jatim. Kompleks industri itu berhasil diwujudkan karena aset PWU di Karang Pilang, Surabaya, bisa diperluas.

Sebelumnya, PT PWU memang punya aset seluas 14 hektare. Sayang, lokasi tanah seluas itu terpecah-pecah. Akibatnya, lahan sulit dikembangkan jika tidak digabung. Kalau digabung, ada lahan milik orang lain yang harus dibebaskan.

Nah, dari penjualan aset tak produktif di daerah lain, PWU akhirnya bisa membeli lahan 10,5 hektare di sekitar aset mereka di Karang Pilang. Jadilah aset di Karang Pilang utuh dan punya luas total 24,5 hektare. Kini aset tersebut sangat bernilai strategis dan produktif sebagai Industrial Estate. (gun/eko/c10/ang/jpg)

Exit mobile version