Site icon SumutPos

Irman Tersangka Suap, DPD Cari Ketua Baru

FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS Ketua DPD RI, Irman Gusman , memakai rompi tahanan Komisi Peberantasan Korupsi (KPK) usai diperiksa  oleh penyidik KPK, Jakarta, Sabtu (17/9).
FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS
Ketua DPD RI, Irman Gusman , memakai rompi tahanan Komisi Peberantasan Korupsi (KPK) usai diperiksa oleh penyidik KPK, Jakarta, Sabtu (17/9).

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah ancang-ancang untuk mendongkel Irman Gusman dari posisi ketua di lembaga para senator itu. Sebab, posisi Irman sebagai tersangka suap yang kini ditahan KPK tak memungkinkannya untuk tetap menjadi ketua DPD.

Menurut anggota DPD I Gede Pasek Suardika, Badan Kehormatan (BK) di lembaga negara pimpinan Irman itu akan segera menggelar pertemuan. Agenda utamanya adalah pemberhentian Irman dari posisi ketua.

“Prosesnya pemberhentian dulu IG (Irman, Gusman, Red) sebagai ketua karena berstatus tersangka lewat mekanisme BK. Lalu Panmus (Panitia Musyawarah DPD) segera menjadwalkan rapat pengesahan pemberhentian,” kata Pasek melalui pesan elektronik, Minggu (18/9).

Mekanisme berikutnya, kata senator asal Bali itu, adalah pemilihan ulang wakil unsur pimpinan dari wilayah Indonesia Barat tempat Irman terpilih. Irman memang naik ke Senayan setelah terpilih mewakili Sumatera Barat.

“Setelah ditentukan siapa yang mewakili dari wilayah Barat, maka dilanjutkan oleh paripurna memilih ketua DPD yang baru dari unsur wilayah timur, tengah dan barat. Siapa yang terpilih maka dialah yang menjadi ketua dan yang lainnya menjadi wakil ketua,” jelasnya.

Mantan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat itu memastikan musibah yang menimpa Irman tidak akan menghambat kinerja DPD. Sebab, kepemimpinan di lembaga itu bersifat kolektif kolegial.

Pasek menambahkan, tata tertib DPD tidak mengenal istilah pelaksana tugas (plt) ketua. Karenanya posisi wakil ketua juga sah menindaklanjuti hasil rapat-rapat di DPD.

Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu Demokrasi (SPD), August Mellaz mengusulkan agar DPD digabung menjadi satu oleh DPR.

Ini dikatakan setelah ditangkapnya Ketua DPD Irman Gusman oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan kasus kepengurusan kuota gula impor.

Menurut dia, DPD selama ini tidak bisa menjalankan fungsinya. Sebab, lembaga tersebut kewenangannya hanya sebatas mempertimbangkan, tanpa bisa membuat keputusan.

“Daripada DPD dibubarkan lebih baik digabung dengan DPR,” ujar Agus di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (18/9).

Namun kata dia, bergabungnya DPD ini akan menambah jumlah anggota DPR akan semakin banyak, dari 560 akan menjadi 692, lantaran pada periode 2014-2019 jumlah anggota DPD mencapai 132. “Berharap ini bisa menjawab keterwakilan,” katanya.

Sementara beberapa waktu lalu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar mengusulkan agar DPD dibubarkan. Karena kata dia, partainya tidak menginginkan DPD dibiarkan tidak berfungsi maksimal.


KUOTA IMPOR RAWAN KORUPSI
Susah memahami seorang Ketua DPD Irman Gusman sampai terjerat kasus suap kuota impor gula. Apa hubungannya?

Menurut Ketua Umum Dewan Pembina Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil, banyak kalangan yang ‘bermain’ dalam skandal impor gula.

Mereka menyasar pihak-pihak yang memiliki wewenang dalam pemberian izin impor gula. Yakni, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Pertanian (Kementan).

“Empat instansi itu memiliki posisi tawar dan kewenangan bagaimana izin impor gula bisa keluar. Di situlah tempat korupsinya,” kata Arum kepada Jawa Pos (grup Sumut Pos), kemarin (17/9).

Potensi korupsi dalam skandal impor gula sangat besar. Mencapai Rp4 triliun per tahun. Angka tersebut didapatkan dari kuota impor gula oleh pemerintah. Berdasar data dari Kemendag, impor gula pada 2015 tercatat sebesar 3,5 juta ton.

Arum menuturkan, fee yang dikantongi importer rata-rata Rp1.000 per kilogram (kg). “Jadi, kalau 3,5 juta ton, fee-nya sama dengan Rp3,5 triliun sampai Rp4 triliun,” ucapnya.

Dengan potensi korupsi sebesar itu, skandal impor gula sangat mungkin melibatkan orang-orang berpengaruh di republik ini. “Bahkan, ini dapat dijadikan cost untuk kepentingan-kepentingan politik mereka,” tutur Arum.

Dari sisi kebutuhan nasional, kuota impor gula sangat janggal. Sebab, produksi gula dalam negeri sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Konsumsi gula mencapai 2,3 juta ton per tahun. Sementara itu, produksi gula nasional 2,5 juta ton per tahun. “Sesungguhnya kita sudah surplus 300 ribu ton per tahun,” ujarnya.

Anehnya, pemerintah justru memberikan izin impor kepada pabrik gula rafinasi atau gula kristal putih dengan kapasitas di atas 5 juta ton.

“Padahal, kebutuhannya hanya 2,3 juta ton. Jadi, kita ini kebanjiran gula,” kata Arum. “Pemerintah sengaja membangun konspirasi dan persepsi masyarakat seolah-olah harga gula mahal agar mendapat legitimasi impor gula itu benar,” lanjut dia.

Arum mengatakan, skandal korupsi kuota impor gula yang menyeret Ketua DPD Irman Gusman terkait dengan temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) soal rekening gendut milik sejumlah direktur BUMN di Singapura beberapa waktu lalu.

“Makanya, kalau temuan KPK yang di Singapura diungkap, maka keluarlah semua, heboh republik ini,” ujarnya.


Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi Rauf mengatakan, kebijakan kuota impor komoditas pangan di Indonesia bermasalah dari sisi hukum pidana dan hukum persaingan usaha.

Syarkawi menjelaskan, secara pidana instrumen kebijakan kuota impor berpotensi menyebabkan persekongkolan dalam menentukan pemegang kuota impor. Ditambah lagi, disparitas harga hampir semua komoditas pangan sangat besar antara harga dalam dan luar negeri.

“Hal ini memberi insentif bagi calon pemegang kuota impor untuk menyuap dalam jumlah sangat besar,” kata Syarkawi, Minggu (18/9).

Syarkawi mencontohkan kuota impor gula. Menurutnya, harga pokok gula di dalam negeri mencapai Rp9 ribu per kilogram (kg), sementara harga swasta domestik sekitar Rp4.500 per kg, dan harga yang lebih murah lagi di pasar internasional.

Disparitas harga domestik- harga pokok pembelian yang ditetapkan pemerintah- dengan harga internasional yang sangat lebar, ditambah birokrasi yang tidak transparan dalam penentuan pemegang kuota impor juga memicu praktik korupsi.

“Bahkan bisa terjadi persekongkolan untuk mengendalikan harga komoditas pangan di dalam negeri (kartel) dan persekongkolan penetapan harga (price fixing). Hal ini menyebabkan harga di konsumen mahal dan fluktuatif, sementara keuntungan besar bagi pelaku kartel,” tutur Syarkawi.

Syarkawi menyoroti, kebijakan kuota impor yang hanya diberikan kepada pelaku usaha dengan afiliasi tertentu. Akurasi data yang lemah terkait besaran produksi gula, kebutuhan pasokan, dan tingkat konsumi per kapita per tahun, membuat kuota impor menjadi tidak jelas.

“Pola pemberian kuota yang diduga sarat korupsi akan bermuara pada kartel pangan, kelangkaan barang, dan harga tinggi yang merampas pendapatan masyarakat berpendapatan tetap dan rendah,” kata Syarkawi. (jpg/jpnn/bbs/val)

Exit mobile version