Site icon SumutPos

Konstruksi Hukum Memuaskan, Tuntutan Malah Antiklimaks

Pakar Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Sidang kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir Yosua memasuki tahap akhir. Jaksa penuntut umum (JPU) telah membacakan tuntutannya terhadap lima terdakwa. Ferdy Sambo dituntut hukuman penjara seumur hidup, Putri Candrawathi dan kedua bawahannya Kuat Ma’ruf serta Ricky Rizal dituntut hukuman penjara delapan tahun.

Sang justice collabolator (JC) Bharada Richard Eliezer justru dituntut JPU hukuman penjara 12 tahun. Tuntutan yang lebih lama dari Putri yang disebut JPU melakukan perselingkuhan, sekaligus memicu pembunuhan terhadap Brigadir Yosua karena melaporkan ke suaminya terjadi pelecehan. Bagaimana tuntutan terhadap lima terdakwa tersebut menurut Pakar Hukum:

JPU telah membacakan tuntutannya terhadap lima terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua, bagaimana tanggapannya?
Hari ini (18/1) sudah lengkap semua tuntutan terdakwa dibacakan. Masyarakat dapat melihat semuanya. Ini merupakan persidangan kasus pembunuhan berencana, Pasal 340 KUHP. Kalau saya malah melihat ada ketidakseimbangan antara konstruksi hukum yang dibangun jaksa dengan penuntutannya.

Bagaimana ketidakseimbangan itu?
Berangkat dari Kuat ma’ruf, JPU menyimpulkan bahwa terjadi perselingkuhan antara Putri dengan Brigadir Yosua. Dari konstruksi perselingkuhan yang dibangun JPU itu sendiri, maka yang memiliki intensi atau kepentingan adalah Putri. Apa kepentingannya, tentu menyembunyikan perselingkuhan. Karena Kuat, Ricky, dan Susi diduga mengetahui perselingkuhan itu, maka harus ditutupi.

Caranya, dengan melaporkan atau menyampaikan ke Ferdy Sambo bahwa terjadi pelecehan seksual. Inilah yang menjadi pematik seluruh kejadian kasus dugaan pembunuhan berencana tersebut. Perselingkuhan itulah yang membuat Putri memiliki kepentingan yang akhirnya membunuh Brigadir Yosua.

Makanya, konstruksi hukum dengan tuntutan JPU itu berbeda jauh. Seharusnya Putri ini tuntutannya hukuman mati, lebih berat dari Sambo. Karena Putri pematik dari kejadian kejahatan tersebut. Pertama, Putri saat ada tembakan itu hanya menutup telinga di dalam kamar. Tutup telinga itu artinya sakit mendengar suara keras. Tidak ada rasa curiga, kenapa ada suara tembakan.

Setelah penembakan itu, Putri juga merasa tidak melihat apa-apa. Saat keluar kamar tidak melihat karena dirangkul Sambo. Padahal, seharusnya kalau tidak mengetahui apa-apa, tentunya ingin mengetahui kejadian apa yang terjadi di rumahnya sendiri. Putri adalah central dari kasus pembunuhan berencana ini. Dengan itu tuntutan JPU ini terlalu jauh dari hakikat Pasal 340 KUHP. Inilah ketidakseimbangan antara konstruksi hukum dengan tuntutannya. Konstruksi hukumnya bagus, tapi tuntutannya antiklimaks. Pembunuhan berencana itu ekstraordinary crime lho.

Bagaimana dengan tuntutan terhadap Bharada Eliezer yang lebih tinggi dari Putri, Kuat dan Ricky?
Ricky dan Kuat ini memiliki peran untuk mendukung pembunuhan. Kuat menutup korden agar tidak terdengar suara dari dalam rumah, Ricky menghalangi Yosua agar tidak bisa kabur. Sedangkan Eliezer kendati menembak namun, diperintahkan oleh Sambo. Eliezer polisi dengan pangkat terendah di Polri, diperintah Sambo seorang jenderal bintang dua. Eliezer ini juga berstatus JC dan hakim menyebut tanpa kesaksian Eliezer ini kasus ini tidak akan terbuka.

JC dalam Undang-Undang Nomor 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban itu mendapatkan penghargaan berupa keringanan tuntutan dan hukuman. Bentuk keringanan itu ada tiga penjelasan sesuai Pasal 10 a, yakni hukuman percobaan, hukuman bersyarat dan dituntut lebih rendah dari terdakwa lainnya. Ketiga-tiganya ini Eliezer tidak mendapatkannya.
Tidak ada bedanya antara menjadi JC atau tidak. Padahal, LPSK itu yang mengajukan status JC bisa mengevaluasi, kalau tidak kolaboratif bisa dicabut statusnya. Kalau bagus status dilanjutkan dengan direkomendasikan tuntutan lebih ringan dari terdakwa lainnya.

Apakah vonis hakim ini terikat dengan tuntutan jaksa?
Dalam KUHP tidak ada larangan atau pun kewajiban bagi hakim untuk memutus sama dengan tuntutan JPU. Diperbolehkan sama atau di bawah tuntutan JPU. Yang tidak diperbolehkan itu hakim memberikan vonis melebihi undang-undang. Misalnya dalam UU hukuman penjara paling lama 20 tahun, vonis tidak boleh 21 tahun.

Bisakah hakim memberikan vonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa?
Hakim bebas memberikan vonis selama tidak melebihi UU. Kebiasaannya hakim akan memutus 2/3 dari tuntutan jaksa bila merasa masih ragu. Tapi, saya melihat hakim ini sudah tegas. Tidak ragu-ragu. Salah satunya, Hakim sebut Eliezer yang membuka kasus ini. Tanpa kesaksian Eliezer, apa yang dilihat, apa yang didengar kasus tidak akan terbuka.

Apakah ada ketidakadilan dalam tuntutan ini?
Yang pasti sangat janggal. Terasa ada ketidakadilan. Kalau dilihat itu, Kuat, Ricky itu jelas pegawai Sambo. Ada relasi kuasa, kalau istilah Pak Mahfud M.D. itu Psiko Hirarki. Sebagai orang suruhan itu sulit menolak itu Kuat dan Ricky. Namun, berbeda dengan Putri, yang tidak masuk dalam konteks relasi kuasa. Justru kalau dilihat dalam relasi kuasa, Putri ini malah terlihat lebih berkuasa dari Sambo. Yang membuat Ferdy Sambo dituntutn hukuman penjara seumur hidup. Tapi, malah hanya dituntut delapan tahun. Dalam relasi kuasa ini, yang paling top atau atas itu Putri, bukan Sambo.

Bagaimana dampaknya bila vonis hakim tidak memuaskan rasa keadilan publik?
Kasus pembunuhan itu sangat banyak. Yang baru ada kasus Morowali dengan korban dua orang. Ada kasus lainnya juga. Tapi mengapa kasus ini antusiasme masyarakat begitu besar dan menuntut diselesaikan. Karena kasus ini antara orang besar dengan pangkat dan orang biasa dengan pangkat rendah.

Masyarakat ingin mengetahui bagaimana keadilan ditegakkan. Kalau putusannya nanti rendah semua, maka akan mempengaruhi rasa keadilan masayrakat. Seakan boleh melakukan pidana pembunuhan berencana karena hukuman sangat minim. Tidak ada hukuman yang memiliki efek deteren atau rasa jera.

Tidak apa-apa kalau ada perselingkuhan, tersinggung dan membunuh. Nanti paling dihukum penjara delapan tahun. Masih ada remisi, bebas bersyarat, yapi paling menjalani empat tahun. Itulah yang dikhawatirkan masyarakat akan pesimis terhadap keadilan. Ini berpotensi membuat masyarakat bisa melakukan kejahatan. (idr/jpg)

Exit mobile version