Site icon SumutPos

Calon Independen Semakin Dipersulit

Calon independen Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahaya Purnama alias Ahok.
Calon independen Gubernur DKI Jakarta, Basuki Cahaya Purnama alias Ahok.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi II DPR kembali membahas revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dari tujuh poin krusial yang dibahas, salah satunya ialah syarat minimal calon independen dan ambang batas partai politik mengusung calon.

Wakil Ketua Komisi II DPR Lukman Edy menyebutkan, sepuluh fraksi di Komisi II belum satu suara soal belum diturunkannya ambang batas partai politik mengusung calon. Sejumlah fraksi bahkan meminta syarat minimal calon independen dinaikkan dengan alasan demokrasi dan keadilan.

“Perdebatannya mau melakukan penyederhanaan Pilkada sebagai instrumen konsolidasi demokrasi atau membuka ruang seluasnya partisipasi publik,” ujar Lukman di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (19/4).

Poin krusial lainnya ialah keterlibatan semua unsur sebagai bakal calon kepala daerah. Berdasarkan draf revisi UU Pilkada yang diajukan pemerintah, TNI, Polri, PNS, anggota dewan diharuskan mengundurkan diri setelah ditetapkan menjadi calon kepala daerah.

Hal ini sesuai dengan Undang-Undang TNI Polri yang diperkuat putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu. Dalam rapat bersama pemerintah pekan lalu, Komisi II DPR menyarankan agar anggota dewan tidak perlu mengundurkan diri, melainkan hanya mengajukan cuti setelah menjadi calon kepala daerah.

Syarat calon petahana juga menjadi poin krusial rencana revisi. Lukman menuturkan, pemerintah harus memberikan rambu bagi petahana. Menurutnya, presiden perlu memberikan izin kepada petahana dengan ukuran keberhasilan membangun SDN, infrastruktur, penyerapan APBD, dan indeks pelayanan publik.

“Seharusnya negara ini tidak lagi memberi tempat kepada kepala daerah yang gagal membangun daerahnya mencalonkan kembali,” ucap Legislator PKB ini.

Selain itu, waktu tahapan Pilkada juga dinilai perlu dipangkas. Lukman berkata, panjangnya masa kampanye dan penanganan sengketa Pilkada perlu dipotong. Menurutnya, hal itu dapat mempercepat pemberian asas kepastian hukum kepada calon kepala daerah terpilih.

Penguatan peradilan Pilkada menjadi salah satu poin penting. Menurutnya, selma ini mekanisme Sentra Gakumdu (Penegakan Hukum Terpadu) menjadi titik lemah penegakan hukum, terutama menangani politik uang.

Sentra Gakumdu diharapkan dapat menangani politik uang secara dua dimensi yakni administratif dan pidana. “Seharusnya pelanggaran administratif efektif menangkal nakalnya pasangan calon. Sehingga ada efek jera,” tuturnya.

Dia juga menyoroti pengadaan alat peraga kampanye. Dalam draf revisi, hal itu ditanggung APBD yang dibantu APBN. Lukman menilai, alat peraga kampanye seharusnya ditanggung pasangan calon kepala daerah.

“Tugas-tugas tidak substansial dihilangkan, tidak membebani anggaran negara,” katanya.

Dia juga mengingatkan penerapan eKTP sebagai daftar pemilih tetap (DPT). Dia meminta pemerintah, Kementerian Dalam Negeri, dan penyelanggara Pilkada berhati-hati agar tidak terjadi komplain mengenai hal ini.

Lukman juga mengakui adanya wacana pemberian sanksi untuk partai politik yang tidak mencalonkan pasangan calon. Tapi kontroversi itu selesai begitu Mahkamah Konstitusi memutuskan calon tunggal bisa melawan ‘bumbung kosong’ atau membolehkan mekanisme referendum.

Lukman menjelaskan, secara mendasar fenomena calon tunggal juga sebenarnya akibat keputusan anggota legislatif wajib mundur ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

“Kalau norma ini dicabut, Insya Allah akan semarak lagi (calon tunggal),” katanya.

Sejatinya Pilkada bagi partai politik bukan hanya sekedar memenangkan pertarungan tetapi juga soal pendidikan dan pelatihan politik bagi kader-kadernya. Namun demikian, jelas dia, memaksakan agar Pilkada tetap diselenggarakan di tengah defisit pasangan calon juga berbahaya karena berpotensi melahirkan “calon boneka”.

“Seperti kejadian di Kutai Kartanegara, kemudian memunculkan calon boneka,” kata Lukman, mencontohkan.

“Idealnya harus ada sanksi, tapi sebelumnya kita harus coba kira-kira norma yang mengaturnya seperti apa,” imbuhnya.

Tak cuma DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga berencana memberlakukan aturan ketat bagi pasangan bakal calon kepala daerah yang hendak maju lewat jalur perseorangan. Diusulkan, dukungan masyarakat nantinya harus disertai pembubuhan tanda tangan di atas materai.

Usulan dimuat dalam draft perubahan kedua atas Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

“Kalau paslon mengumpulkan orang per orang, maka materai akan dibutuhkan. Kalau buat daftar, maka bisa dibagian akhir secara kolektif namun per daftar. Materai dibubuhkan perdesa jika dihimpun perdesa,” ujar Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, kemarin.

Jika aturan ini jadi disahkan, maka tak tertutup kemungkinan pasangan calon harus merogoh kocek lebih besar. Sebagai contoh untuk Pilkada DKI Jakarta, kalau Gubernur Basuki Tjahja Purnama jadi maju lewat jalur independen, dibutuhkan biaya sekitar Rp3 miliar lebih hanya untuk materai.

Hitungan mengacu pada syarat minimal 7,5 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT) pada pemilu legislatif lalu yang mencapai 7.096.168 jiwa. Yaitu 523.213 jiwa dikali harga materai Rp6000 per lembarnya.

“Jadi kalau dalam penelitian keabsahan surat dukungan formulir perseorangan itu tidak ada tanda tangan di atas materai, maka syarat harus dipenuhi pada masa perbaikan syarat pencalonan,” ujar Hadar.

Namun begitu Hadar menegaskan, ketentuan bermaterai bisa dilakukan secara kolektif. Misal, materai bisa dibubuhkan dalam satu surat dukungan perseorangan yang dihimpun per kelurahan atau desa.

“Jadi per kelurahan atau per desa yang kemudian dibuat oleh tim pasangan calon. Bukan oleh masing-masing masyarakat yang memberikan pernyataan dukungannya,” ujar Hadar.

Selain itu, Hadar juga mengatakan, usulan belum bersifat final. Karena masih berupa rancangan Peraturan KPU. Karenanya, dapat dipertimbangkan ulang setelah ada masukan dari berbagai pihak.

“Nanti akan kami cek kembali apakah kebijakan itu perlu seketat itu, tepat atau tidak, kan ada masukan kira-kira apakah perlu. Kalau toh iya bertahan saja kayak kemarin (tanpa dibubuhi materai, Red),” ujar Hadar. (bbs/gir/val)

Exit mobile version