Site icon SumutPos

Demokrat Sebut PKS Oposisi

JAKARTA – Sikap berlawanan yang ditunjukkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terkait keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bakal berbuntut. Partai Demokrat sebagai partai terbesar dalam forum Sekretariat Gabungan (Setgab) mulai mempertegas posisi PKS dalam koalisi. Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarief Hasan bahkan sudah menyebut PKS sebagai partai oposisi.
“Kan sudah jelas, PKS memang partai oposisi,” kata Syarief di kompleks Istana Presiden kemarin.

Dia enggan berbicara lebih lanjut terkait nasib PKS. Menurut dia, yang penting saat ini, kebijakan kenaikan harga BBM dan kompensasinya diterima masyarakat. “PKS nomor sekian. Diterima oleh rakyat (kebijakan kenaikan BBM). Baru kita pikirkan diapain PKS,” ujar Menkop dan UKM itu.

Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin menjelaskan, nasib PKS setelah menolak RAPBN Perubahan 2013 berada di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga ketua Setgab. Termasuk, desakan agar posisi kader-kader PKS yang duduk sebagai menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II mundur. Menurut dia, kurang tepat kalau Partai Demokrat yang memutuskan.

“Walaupun berulang kali kita minta mundur, kalau PKS tidak mau melakukan itu, tentu akan kembali lagi ke ketua koalisi,” terang Amir yang menjabat Menkum HAM tersebut.

Pendapat senada dilontarkan partai mitra koalisi. PPP, misalnya, memilih tidak memberikan penilaian atas sikap berbeda PKS. “Kami tidak dalam posisi menilai. Semua kami serahkan kepada Pak SBY sebagai presiden dan ketua Setgab, baik posisi PKS dalam koalisi maupun menteri-menteri dari PKS di kabinet,” ujar Sekjen PPP M. Romahurmuziy.

Di bagian lain, para menteri dari PKS menyatakan siap dengan kemungkinan terburuk yang bakal terjadi. Yakni, jika Presiden SBY bakal mendepak tiga menteri dari jajaran KIB II.

“Silakan saja. Soal kementerian, diserahkan pada presiden. Diberi amanah, ya kita jalan. Kalau dicabut amanahnya, ya sudah, selesai,” tegas Menkominfo Tifatul Sembiring.

Tidak jauh berbeda dengan Mentan Suswono. Dia menegaskan, PKS telah menginstruksi dirinya untuk mengabdi sepenuhnya kepada presiden. “Saya lakukan itu. Selama saya diberi amanah, saya jalankan itu sebaik-baiknya,” ujarnya.

Dua menteri tersebut menekankan, meski PKS berbeda pendapat dengan pemerintah, mereka tetap loyal kepada presiden. Mereka mengaku siap menyosialisasikan kenaikan harga BBM sesuai tugas kementerian masing-masing. “Menteri tidak boleh berbeda dengan presiden. Sejak dulu sikap saya sama dengan presiden. Nanti kita sosialisasikan. Tadi pagi (kemarin) saya hadiri rapat bersama Wapres dan Menko-Menko yang lain untuk menyusun langkah-langkah penetapan (sosialisasi BBM),” ungkap Tifatul.

Terpisah, Ketua DPP PKS Mohammad Sohibul Iman mengaku pihaknya menunggu keputusan Ketua Sekretariat Gabungan (Setgab) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenai nasib PKS di koalisi.

Namun jika PKS akhirnya dikeluarkan dari Setgab maka harus ada surat cerai. Sebab saat bergabung dengan Setgab, mereka menandatangani kontrak koalisi. Sohibul mengibaratkan itu sebagai hubungan pernikahan.

“Kan seharusnya kita begitu mulai berkoalisi ada komitmen politik, kalau keluar, artinya kalau kita berpisah, tentu harus ada juga dong (surat cerai). Masa tidak ada apa-apa (surat cerai),” kata Sohibul di DPR, Jakarta, Rabu (19/6).

Meski begitu menurut Sohibul, untuk saat ini partai yang dipimpin Anis Matta itu masih menjadi bagian dari koalisi. “Iya. Karena kami bagian dari koalisi, enggak ada apa-apa,” ucapnya.

PKS, kata Sohibul, mengaku menunggu keputusan SBY terkait koalisi. Sebab koalisi antara SBY dengan PKS. “Itu semuanya keluar dari perkataan SBY sendiri. Karena itu, kami tunggu apa yang diputuskan Pak SBY,” ucapnya.

PKS berbeda sikap dengan koalisi terkait pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P). PKS menolak sementara koalisi menerima.

Menurut Sohibul, pihaknya berbeda karena punya sikap. Namun perlu dingat tak selamanya PKS berbeda dengan koalisi. Sikap berbeda itu kata dia, merupakan hal wajar karena koalisi presidensial.

“Koalisi presidensial itu, tidak harus selamanya sama. Tetapi kalau koalisi parlementer, itu harus selalu sama. Karena koalisi parlementer dibuat untuk membangun pemerintahan, kalau sekali saja tidak sama, bubar pemerintah,” pungkasnya. (ind/ken/fal/gir/jpnn)

Exit mobile version